“Kenapa diam? Kamu benar mau dipecat?!”
Bentakan keras itu kembali mengguncang lobi hotel, menarik perhatian para staf dan tamu yang sedang melintas. Beberapa orang mulai berbisik, menoleh penasaran ke arah sumber keributan.
Alih-alih merasa takut, Arnold berdiri tenang. Sebelum ia memberikan respon, suara lantang Sherin telah menggema, menarik semua mata ke arahnya.
“Kalau Anda ingin menyalahkan seseorang, Anda sudah salah sasaran, Tuan!” cetus gadis itu seraya melangkah cepat ke sisi Arnold. Tatapan tajamnya tertuju lurus ke arah pria yang berlagak garang di tengah lobi saat ini.
Pria berambut cokelat tembaga itu lantas mengamati Sherin dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Keningnya langsung berkerut.
‘Apa dia baru saja diterpa badai?’ pikirnya, terheran-heran melihat penampilan kacau gadis itu.
“Sebagai seorang atasan,” lanjut Sherin, tidak peduli dengan sorot mata yang tampak merendahkannya tersebut. “bukankah alangkah baiknya kalau Anda mendengar penjelasan dulu sebelum memarahi bawahan Anda di depan umum?”
Alis Oliver Hudson pun terangkat naik. “Siapa Anda, Nona?” tanyanya, nada suaranya tidak terdengar bersahabat.
Sherin tahu jika ucapannya terkesan menggurui, tetapi ia tidak bisa membiarkan pria itu menindas Arnold. Walau bagaimanapun, Arnold adalah suaminya secara hukum dan lagi … kesalahan Arnold terjadi karena dirinya.
“Maaf kalau saya sudah ikut campur. Tapi, saya adalah istrinya.”
Pengakuan Sherin membuat Oliver terperangah. Refleks, tatapan Oliver berpindah cepat ke arah Arnold, seakan menuntut klarifikasi atas pernyataan gadis itu.
Namun, Arnold tidak merespon sehingga pandangan Oliver kembali tertuju pada Sherin. Ia pun mengulurkan tangannya dan berkata dengan tergagap, “Per-perkenalkan … saya Oliver Hudson. Saya—”
“Ehem!” Dehaman keras Arnold memotong ucapannya.
Oliver sontak membeku. Ia buru-buru menarik kembali tangannya yang belum sempat disambut Sherin, lalu tertawa hambar.
“Sa-saya manajernya,” lanjut Oliver, mencoba memulihkan wibawanya kembali.
Sherin mengernyitkan dahinya. Ia menatap Arnold dan Oliver secara bergantian. Ada sesuatu yang jelas terasa aneh dari interaksi keduanya.
Namun, sebelum ia sempat bertanya, Oliver kembali menatapnya dengan tajam dan berkata dengan nada serius, “Bagaimanapun juga, Nona Scarlet, suami Anda telah membawa mobil tanpa izin dan merusaknya. Sesuai aturan, saya harus—”
“Saya akan bertanggung jawab soal kerusakan itu,” potong Sherin dengan cepat.
Oliver tampak ragu. Matanya melirik ke arah Arnold yang masih membisu.
Namun, fokus Oliver teralih kembali saat Sherin berkata, “Tuan Hudson, tolong jangan pecat dia. Saya mohon.”
Oliver hendak menanggapi, tetapi gadis itu kembali menginterupsinya, “Kami baru menikah. Kalau Anda memecatnya, bagaimana dengan hidup saya ke depannya nanti. Tuan?”
“Ehm, Nona─”
“Saya tahu biayanya sangat mahal. Tapi, tolong berikan saya kesempatan,” sela Sherin, menatap pria itu dengan mata memelas dan tak berdaya. Ia menggenggam tangan Oliver kuat-kuat. “Saya mohon, Tuan.”
Panik langsung menjalari Oliver saat mereka bersentuhan. “N-Nona–!”
“Atau kalau Anda khawatir dan tidak percaya, bagaimana kalau─”
Tiba-tiba lengan Sherin ditarik Arnold dengan kasar hingga genggamannya di tangan Oliver terlepas. Gadis itu tersentak kaget dan menoleh, mendapati tatapan Arnold yang dingin.
“Dia akan membayar biaya perbaikannya besok,” tukas Arnold kemudian.
Gadis itu pun terbelalak. “Besok!? Tapi─!”
“Hal lainnya … kita bahas lagi nanti,” potong Arnold. Suara tegasnya tidak memberikan ruang untuk dibantah.
Tanpa memberi kesempatan untuk protes, Arnold menarik lengan Sherin dan membawanya pergi. Sherin yang terkejut hanya bisa terpaksa mengikuti langkah cepat pria itu, sementara Oliver berdiri terpaku di tempatnya.
“Tu-Tuan Muda ternyata ... sudah menikah?” gumam Oliver setelah beberapa saat dengan mata yang berbinar cerah.
Jemarinya lantas menggulir layar ponselnya cepat. “Nyonya besar pasti akan senang mendengar kabar ini.”
Sementara itu, di dalam lift, Sherin berusaha mengatur napasnya yang memburu. Wajahnya jelas masih terlihat kesal dengan cara Arnold menyeretnya pergi sebelum ia sempat menyelesaikan pembicaraannya dengan Oliver.
“Kenapa kamu bilang aku yang akan membayarnya besok?!” seru Sherin, memecah kesunyian dengan nada meninggi.
Arnold hanya menoleh santai, menatapnya sekilas dari ujung mata. “Memangnya salah? Bukankah memang kamu yang akan membayarnya?”
Kepala Sherin rasanya nyaris meledak. Kalau saja ia tidak ingat masih butuh bantuan pria itu, mungkin wajah tampannya sudah jadi sasaran cakarnya.
"Kamu sendiri tahu kan, biaya perbaikannya itu tidak main-main? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk bayar semua itu besok!?”
“Jadi, Nona Scarlet yang terhormat tidak sanggup membayarnya?” Sudut bibir Arnold terangkat, suaranya terdengar santai namun penuh sindiran.
Sherin terperangah. Sedetik lalu, ia masih sempat berpikir pria ini punya sisi baik—meski menyebalkan. Tapi, sekarang?
“Kalau tahu seperti ini, seharusnya kubiarkan saja kamu dipecat!" sembur Sherin dengan sorot mata penuh emosi, menatap pria di depannya yang tampak sama sekali tidak terusik.
“Tidak masalah,” balas Arnold dengan santai. “Bukankah aku punya seorang istri luar biasa yang bisa membiayaiku?”
Sherin terbelalak, nyaris tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut pria itu.
“Kau—!”
Pintu lift terbuka tepat waktu, seakan menyelamatkan Arnold dari luapan emosi Sherin yang siap meledak lagi. Pria itu melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Sherin yang masih terbakar amarah.
“Bisa-bisanya dia ingin aku menafkahinya?” geram Sherin.
“Kenapa bisa ada pria tidak tahu malu seperti dia di dunia ini?!” teriak gadis itu dengan frustrasi. Ia pun menendang dinding lift untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi lupa jika dirinya tengah bertelanjang kaki.
“A-aaaakh!” Sherin memekik tertahan sambil melompat kecil, memegangi kakinya sendiri. “Sialan! Sakit!”
Meski nyeri menjalar dari ujung kaki hingga ke lutut, ia tidak ingin ketinggalan jejak Arnold. Dengan langkah terseok dan wajah meringis, Sherin menyeret kakinya keluar dari lift, mengejar pria menyebalkan itu.
“Berhenti, Paman! Kita belum selesai bicara!” seru Sherin seraya berlari kecil dengan bersusah payah.
Namun, Arnold tetap tak menggubris hingga langkahnya berhenti di depan kamar di ujung koridor. Ia menempelkan kartu akses pada panel pintu tersebut.
Beep. Klik.
Pintu terbuka. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Arnold melangkah masuk.
Sherin buru-buru menyusul, berhasil menahan pintu sebelum tertutup otomatis. Begitu masuk, hawa sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu tubuhnya, membawa sedikit rasa lega. Namun, rasa itu segera tergantikan oleh kekaguman.
Pandangannya mengelilingi seluruh ruangan; lantai marmer berkilau, lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya temaram, mini bar dengan deretan minuman mahal, jacuzzi yang menghadap langsung ke jendela kaca raksasa serta sofa panjang empuk yang dilengkapi dengan perabotan lengkap yang mewah.
Matanya kemudian tertumbuk pada balkon kaca melingkar dengan panorama kota yang gemerlap bagaikan lautan bintang. Bibirnya perlahan-lahan menganga lebar.
"Apa ini ... suite eksklusif yang dirumorkan itu?" bisiknya, tak percaya.
Gadis itu pernah mendengar bahwa tidak sembarang orang bisa menginap di kamar itu. Selain karena tarifnya yang selangit dan hanya tersedia satu, pihak hotel hanya memberikan hak reservasi kepada pelanggan istimewa mereka saja. Namun, sekarang Sherin bisa memasukinya dengan mudah.
'Ternyata punya suami karyawan hotel tidak buruk juga,' batinnya, tersenyum bangga.
Namun, senyumnya mendadak memudar saat pandangannya jatuh ke ranjang king-size di tengah ruangan. Sprei putih licin yang tertata rapi itu dipenuhi taburan kelopak mawar merah, menciptakan keintiman yang membuat imajinasi gadis itu seketika bergerilya.
Napas Sherin nyaris tertahan. Cepat-cepat ia memalingkan pandangan, berusaha menepis pikiran aneh yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Namun, justru saat itu matanya menangkap Arnold yang tengah melepas jas seragamnya. Gerakan pria itu terlihat santai, tetapi berhasil membuat jantungnya berdegup tidak karuan.
‘Apa yang dia lakukan? Kenapa dia malah buka baju?’ batinnya seraya membuang pandangannya dengan panik.
Namun, tatapannya malah kembali tertuju ke arah ranjang. Tubuhnya pun membeku seketika.
‘Ja-jangan bilang ... malam ini dia ingin …?!’
Hayooo ... Arnold mau apa nih? wkwkwkwk
“Seperti dugaanmu, Bernard Murray memang orang yang cukup licik dan serakah. Sudah banyak beredar rumor buruk tentangnya, tetapi berkat seseorang, semua isu itu berhasil dialihkan. Dan kamu pasti tahu siapa orangnya,” imbuh Sophia lebih lanjut.Arnold memutar pelan gelas whiskey di tangannya. Jelas siapa yang Sophia maksud, kemungkinan besar Frans Langdon-lah yang yang berada di balik pergerakan calon politisi itu.Arnold menatap cairan keemasan di dalam gelasnya, seolah bisa membaca jejak langkah lawannya di sana. Alih-alih menggali informasi lebih lanjut, ia menyoroti Alvin yang tengah asyik bersenang-senang dengan para bawahannya yang lain.“Apa bocah itu masih sering memberikan masalah untukmu selama aku pergi, Madam Nolan?” tanya Arnold seraya menunjuk pemuda itu dengan dagunya.Sophia mengikuti arah pandang Arnold, lalu mendengus kecil. “Tiada hari dia tidak berulah. Bukannya bekerja, dia malah sibuk menggoda semua wanita yang ditemuinya. Entah mau jadi apa dia nanti.”“Walaupun
Musik hingar bingar memenuhi ruangan VIP Diamond. Terdengar suara tawa dari beberapa pria dan wanita yang sedang menikmati minuman berkelas, ditemani alunan musik live yang memekakkan telinga.Lampu kristal berpendar lembut, memantulkan kilau dari botol-botol champagne yang berjajar di atas meja marmer. Asap cerutu tipis menari di udara, bercampur dengan aroma alkohol yang menusuk.Tampak Alvin yang tengah memasang wajah serius, tangannya menggenggam stik biliar dengan penuh konsentrasi. Ia membungkuk, menatap bola putih seolah ingin menembusnya dengan sorot matanya. Satu kali pukulan, bola meluncur cepat namun berhenti beberapa sentimeter sebelum mengenai target.“Ah, sial!” gerutunya sambil mengumpat kecil, membuat pria-pria lain di sekitar meja tertawa.King, yang sejak tadi hanya berdiri santai dengan tangan terlipat di dada, melangkah maju dengan tenang. Ia mengambil stik biliarnya tanpa banyak bicara.Dengan gerakan sederhana, bola putih melesat mulus, memantulkan sisi meja, dan
Sherin masih terpaku di depan pintu hingga salah satu pria mengisyaratkannya untuk masuk. “Kemarilah, Kucing Manis. Ayo temani Kakak minum.”Tamu pria itu menepuk tempat kosong di sampingnya. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi yang sudah tak lagi rapi dan menguning.Mendengar tawaran itu, satu alis Sherin menukik naik. ‘Dasar tua bangka tidak tahu diri. Dia bilang apa? Kakak? Apa dia tidak berkaca dulu sebelum keluar rumah tadi?’Ia menahan lidahnya agar tidak menyemburkan umpatannya. Demi pekerjaannya, ia memilih diam. Dengan penuh keengganan, gadis itu mendorong trolinya dan berdiri di tengah ruangan.Ketiga tamu paruh baya itu tidak mengenakan topeng mereka sesuai aturan kelab sehingga Sherin bisa melihat jelas wajah mereka. Kening Sherin langsung mengernyit saat tatapannya tertuju pada salah seorang tamu.Pria berperut buncit itu duduk sambil memeluk pinggang dua wanita pendamping kelab berpakaian seksi di kedua sisinya. Terlihat beberapa bekas lipstik di wajah gempalnya
“Jack! Apa yang kamu lakukan di sana? Kemarilah!” Sophia Nolan tiba-tiba berteriak lantang padanya.Alvin mendengus kesal karena kesenangannya lagi-lagi diusik. “Dasar tante-tante cerewet,” gerutunya. Namun, ia tetap berjalan ke arah wanita itu.Sementara, Sherin masih terpaku di tempat, menatap King yang kini berdiri tegak di tengah ruangan dengan dikerumuni oleh para pengagumnya. Ia tidak dapat melepaskan tatapannya dari pria bertopeng perak itu.Aura yang terpancar dari sosok itu begitu kuat, hampir terasa seperti magnet yang memaksa semua mata menatap ke arahnya. Ketika tatapan dingin King tiba-tiba beradu dengan matanya, bulu kuduk Sherin meremang seketika.Napasnya nyaris tercekat saat melihat pria itu tersenyum tipis. Senyuman samar yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk menimbulkan ribuan tafsir bagi siapa pun yang melihatnya.Ucapan Alvin sebelumnya bergema di dalam kepalanya, memunculkan ketakutannya. Namun, di sisi lain, Sherin merasa tatapan dingin pria itu sangat
Sherin mendorong troli minuman keluar dari ruang ganti, melangkah pelan menyusuri koridor. Setiap langkah terasa berat—bukan hanya karena pakaian yang membuatnya tidak nyaman, tetapi juga nyeri yang masih menusuk di kaki kanannya.Ia berhenti sejenak di depan pintu besar yang memisahkan area internal karyawan dengan ruang hiburan utama kelab. “Hei, Kucing Seksi,” goda penjaga yang berdiri di dekat pintu tersebut sembari bersiul. Namun, Sherin tidak menggubrisnya.“Pulang kerja nanti ikut denganku, bagaimana?” Pria berotot kekar tinggi itu masih mencoba merayunya.Sherin hanya melototinya dari balik topengnya dan segera mendorong pintu di depannya dengan punggungnya.Begitu pintu terbuka, dunia di hadapannya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Cahaya lampu berwarna-warni menari liar di langit-langit, musik berdentum keras hingga terasa mengguncang dadanya, dan riuh tawa para tamu langsung menyergap telinganya.Jantung Sherin berdegup kencang, telinganya berdengung karena kebi
“Apa kamu belum selesai? Lama sekali!”Ketukan keras menggema dari balik pintu ruang ganti, disusul suara bentakan bernada kesal.Sherin hanya bisa menghela napas panjang, mengabaikan kemarahan Clara─hostess senior yang akan ia gantikan malam ini. Saat ini perhatiannya tersita sepenuhnya pada penampilannya sendiri.Keningnya mengernyit. Matanya menelusuri pantulan dirinya di depan cermin. Ia hampir tak percaya, gadis seksi di hadapannya ini adalah dirinya.Balutan kostum kucing serba hitam yang menempel ketat di tubuhnya, stoking jaring yang menutupi kaki jenjangnya, ekor panjang buatan yang menjuntai di belakang, serta telinga kucing yang bertengger manis di atas kepalanya membuatnya merasa ... tidak mengenal dirinya sendiri.Sherin meremas ujung rok mini ketat yang menempel di pinggangnya, berusaha menutupi rasa canggung yang kian menyesakkan. Napasnya terasa berat, seakan ruangan sempit itu menutup seluruh jalan keluar untuk bernapas.Gadis itu meneguk salivanya dengan bersusah paya