Share

Bab 8

Author: AliceLin
last update Last Updated: 2025-08-02 18:03:00

“Kenapa diam? Kamu benar mau dipecat?!”

Bentakan keras itu kembali mengguncang lobi hotel, menarik perhatian para staf dan tamu yang sedang melintas. Beberapa orang mulai berbisik, menoleh penasaran ke arah sumber keributan.

Alih-alih merasa takut, Arnold berdiri tenang. Sebelum ia memberikan respon, suara lantang Sherin telah menggema, menarik semua mata ke arahnya. 

“Kalau Anda ingin menyalahkan seseorang, Anda sudah salah sasaran, Tuan!” cetus gadis itu seraya melangkah cepat ke sisi Arnold. Tatapan tajamnya tertuju lurus ke arah pria yang berlagak garang di tengah lobi saat ini.

Pria berambut cokelat tembaga itu lantas mengamati Sherin dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Keningnya langsung berkerut. 

Apa dia baru saja diterpa badai?’ pikirnya, terheran-heran melihat penampilan kacau gadis itu.

“Sebagai seorang atasan,” lanjut Sherin, tidak peduli dengan sorot mata yang tampak merendahkannya tersebut. “bukankah alangkah baiknya kalau Anda mendengar penjelasan dulu sebelum memarahi bawahan Anda di depan umum?” 

Alis Oliver Hudson pun terangkat naik. “Siapa Anda, Nona?” tanyanya, nada suaranya tidak terdengar bersahabat. 

Sherin tahu jika ucapannya terkesan menggurui, tetapi ia tidak bisa membiarkan pria itu menindas Arnold. Walau bagaimanapun, Arnold adalah suaminya secara hukum dan lagi … kesalahan Arnold terjadi karena dirinya.

“Maaf kalau saya sudah ikut campur. Tapi, saya adalah istrinya.”

Pengakuan Sherin membuat Oliver terperangah. Refleks, tatapan Oliver berpindah cepat ke arah Arnold, seakan menuntut klarifikasi atas pernyataan gadis itu. 

Namun, Arnold tidak merespon sehingga pandangan Oliver kembali tertuju pada Sherin. Ia pun mengulurkan tangannya dan berkata dengan tergagap, “Per-perkenalkan … saya Oliver Hudson. Saya—”

“Ehem!” Dehaman keras Arnold memotong ucapannya.

Oliver sontak membeku. Ia buru-buru menarik kembali tangannya yang belum sempat disambut Sherin, lalu tertawa hambar. 

“Sa-saya manajernya,” lanjut Oliver, mencoba memulihkan wibawanya kembali.

Sherin mengernyitkan dahinya. Ia menatap Arnold dan Oliver secara bergantian. Ada sesuatu yang jelas terasa aneh dari interaksi keduanya.

Namun, sebelum ia sempat bertanya, Oliver kembali menatapnya dengan tajam dan berkata dengan nada serius, “Bagaimanapun juga, Nona Scarlet, suami Anda telah membawa mobil tanpa izin dan merusaknya. Sesuai aturan, saya harus—”

“Saya akan bertanggung jawab soal kerusakan itu,” potong Sherin dengan cepat.

Oliver tampak ragu. Matanya melirik ke arah Arnold yang masih membisu. 

Namun, fokus Oliver teralih kembali saat Sherin berkata, “Tuan Hudson, tolong jangan pecat dia. Saya mohon.”

Oliver hendak menanggapi, tetapi gadis itu kembali menginterupsinya, “Kami baru menikah. Kalau Anda memecatnya, bagaimana dengan hidup saya ke depannya nanti. Tuan?” 

“Ehm, Nona─”

“Saya tahu biayanya sangat mahal. Tapi, tolong berikan saya kesempatan,” sela Sherin, menatap pria itu dengan mata memelas dan tak berdaya. Ia menggenggam tangan Oliver kuat-kuat. “Saya mohon, Tuan.”

Panik langsung menjalari Oliver saat mereka bersentuhan. “N-Nona–!”

“Atau kalau Anda khawatir dan tidak percaya, bagaimana kalau─”

Tiba-tiba lengan Sherin ditarik Arnold dengan kasar hingga genggamannya di tangan Oliver terlepas. Gadis itu tersentak kaget dan menoleh, mendapati tatapan Arnold yang dingin.

“Dia akan membayar biaya perbaikannya besok,” tukas Arnold kemudian.

Gadis itu pun terbelalak. “Besok!? Tapi─!”

“Hal lainnya … kita bahas lagi nanti,” potong Arnold.  Suara tegasnya tidak memberikan ruang untuk dibantah. 

Tanpa memberi kesempatan untuk protes, Arnold menarik lengan Sherin dan membawanya pergi. Sherin yang terkejut hanya bisa terpaksa mengikuti langkah cepat pria itu, sementara Oliver berdiri terpaku di tempatnya.

“Tu-Tuan Muda ternyata ... sudah menikah?” gumam Oliver setelah beberapa saat dengan mata yang berbinar cerah.

Jemarinya lantas menggulir layar ponselnya cepat. “Nyonya besar pasti akan senang mendengar kabar ini.”

Sementara itu, di dalam lift, Sherin berusaha mengatur napasnya yang memburu. Wajahnya jelas masih terlihat kesal dengan cara Arnold menyeretnya pergi sebelum ia sempat menyelesaikan pembicaraannya dengan Oliver.

“Kenapa kamu bilang aku yang akan membayarnya besok?!” seru Sherin, memecah kesunyian dengan nada meninggi.

Arnold hanya menoleh santai, menatapnya sekilas dari ujung mata. “Memangnya salah? Bukankah memang kamu yang akan membayarnya?”

Kepala Sherin rasanya nyaris meledak. Kalau saja ia tidak ingat masih butuh bantuan pria itu, mungkin wajah tampannya sudah jadi sasaran cakarnya.

"Kamu sendiri tahu kan, biaya perbaikannya itu tidak main-main? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk bayar semua itu besok!?”

“Jadi, Nona Scarlet yang terhormat tidak sanggup membayarnya?” Sudut bibir Arnold terangkat, suaranya terdengar santai namun penuh sindiran.

Sherin terperangah. Sedetik lalu, ia masih sempat berpikir pria ini punya sisi baik—meski menyebalkan. Tapi, sekarang?

“Kalau tahu seperti ini, seharusnya kubiarkan saja kamu dipecat!" sembur Sherin dengan sorot mata penuh emosi, menatap pria di depannya yang tampak sama sekali tidak terusik.

“Tidak masalah,” balas Arnold dengan santai. “Bukankah aku punya seorang istri luar biasa yang bisa membiayaiku?”

Sherin terbelalak, nyaris tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut pria itu.

“Kau—!”

Pintu lift terbuka tepat waktu, seakan menyelamatkan Arnold dari luapan emosi Sherin yang siap meledak lagi. Pria itu melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Sherin yang masih terbakar amarah.

“Bisa-bisanya dia ingin aku menafkahinya?” geram Sherin.

“Kenapa bisa ada pria tidak tahu malu seperti dia di dunia ini?!” teriak gadis itu dengan frustrasi. Ia pun menendang dinding lift untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi lupa jika dirinya tengah bertelanjang kaki.

“A-aaaakh!” Sherin memekik tertahan sambil melompat kecil, memegangi kakinya sendiri. “Sialan! Sakit!”

Meski nyeri menjalar dari ujung kaki hingga ke lutut, ia tidak ingin ketinggalan jejak Arnold. Dengan langkah terseok dan wajah meringis, Sherin menyeret kakinya keluar dari lift, mengejar pria menyebalkan itu.

“Berhenti, Paman! Kita belum selesai bicara!” seru Sherin seraya berlari kecil dengan bersusah payah.

Namun, Arnold tetap tak menggubris hingga langkahnya berhenti di depan kamar di ujung koridor. Ia menempelkan kartu akses pada panel pintu tersebut.

Beep. Klik.

Pintu terbuka. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Arnold melangkah masuk. 

Sherin buru-buru menyusul, berhasil menahan pintu sebelum tertutup otomatis. Begitu masuk, hawa sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu tubuhnya, membawa sedikit rasa lega. Namun, rasa itu segera tergantikan oleh kekaguman.

Pandangannya mengelilingi seluruh ruangan; lantai marmer berkilau, lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya temaram, mini bar dengan deretan minuman mahal, jacuzzi yang menghadap langsung ke jendela kaca raksasa serta sofa panjang empuk yang dilengkapi dengan perabotan lengkap yang mewah.

Matanya kemudian tertumbuk pada balkon kaca melingkar dengan panorama kota yang gemerlap bagaikan lautan bintang. Bibirnya perlahan-lahan menganga lebar.

"Apa ini ... suite eksklusif yang dirumorkan itu?" bisiknya, tak percaya.

Gadis itu pernah mendengar bahwa tidak sembarang orang bisa menginap di kamar itu. Selain karena tarifnya yang selangit dan hanya tersedia satu, pihak hotel hanya memberikan hak reservasi kepada pelanggan istimewa mereka saja. Namun, sekarang Sherin bisa memasukinya dengan mudah.

'Ternyata punya suami karyawan hotel tidak buruk juga,' batinnya, tersenyum bangga.

Namun, senyumnya mendadak memudar saat pandangannya jatuh ke ranjang king-size di tengah ruangan. Sprei putih licin yang tertata rapi itu dipenuhi taburan kelopak mawar merah, menciptakan keintiman yang membuat imajinasi gadis itu seketika bergerilya.

Napas Sherin nyaris tertahan. Cepat-cepat ia memalingkan pandangan, berusaha menepis pikiran aneh yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Namun, justru saat itu matanya menangkap Arnold yang tengah melepas jas seragamnya. Gerakan pria itu terlihat santai, tetapi berhasil membuat jantungnya berdegup tidak karuan.

‘Apa yang dia lakukan? Kenapa dia malah buka baju?’ batinnya seraya membuang pandangannya dengan panik.

Namun, tatapannya malah kembali tertuju ke arah ranjang. Tubuhnya pun membeku seketika.

‘Ja-jangan bilang ... malam ini dia ingin …?!’

AliceLin

Hayooo ... Arnold mau apa nih? wkwkwkwk

| 26
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (12)
goodnovel comment avatar
LuckyStar
sepertinya si Oliver hanya akting
goodnovel comment avatar
LuckyStar
hahaha.... jangan mikir yg mecum-mecum kamu sher Arnold hanya mau ganti baju wkwkwk....
goodnovel comment avatar
Vha Candra
wahh ternyata Arnold tuan muda .. wkwkwk Sherin udh kemana2 nih pikirannya liat ranjang ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 240

    Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki kawasan vila elit di kaki gunung. Jalanan sangat lengang, tetapi hanya diterangi cahaya lampu temaram yang berderet di kedua sisi, menciptakan suasana sunyi dan dingin.Sherin menoleh ke sekeliling. Keningnya lantas berkerut. “Arnold, kenapa kamu membawaku ke sini?”Arnold tetap menatap lurus ke depan. “Bukankah kamu bilang ingin bicara?”“Iya, tapi—” Sherin terhenti, rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. ‘Jangan bilang dia mau ….’Glek!Sherin menelan salivanya dengan kasar. Ucapan yang pernah Alvin katakan mengenai sosok “King” yang merupakan sosok pembunuh berdarah dingin, tiba-tiba saja melintas di dalam kepalanya.‘Astaga, aku ini ngelantur apa sih .…’Sherin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyolnya sendiri. Namun, kewaspadaannya tetap terjaga. Terlalu banyak rahasia tentang Arnold yang belum ia ketahui.Meskipun Arnold belum menjelaskan apa pun tentang identitasnya yang sebenarnya, tetapi kini, Sher

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 239

    Tangan Arnold yang baru saja membuka pintu mobil seketika terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Leon dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.“Apa ucapanku tadi kurang jelas?” cibir Arnold dengan dingin, “atau kamu memang terlalu bodoh untuk memahaminya, Leonard Hale?”Rahang Leon mengeras. Urat di pelipisnya tampak menegang, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.“Tidak usah berpura-pura, Arnold. Aku tahu kalau kamu dan Sherin hanya menikah pura-pura,” cetusnya dengan tegas.Genggaman tangan Arnold pada pintu mobil perlahan mengencang. ‘Sherin yang memberitahunya?’ terkanya di dalam hati.Memikirkan keakraban istrinya dengan pria itu sampai membicarakan tentang rahasia pernikahan mereka membuat hati Arnold terasa panas. Namun, ia tidak ingin memperlihatkannya secara nyata, tidak untuk membuat Leon merasa senang.“Berpura-pura atau tidak, faktanya aku adalah suaminya, Leonard Hale,” desis Arnold seraya mendengus sinis. Tatapannya menyoroti pria itu dengan remeh, menunjukkan

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 238

    'Ck! Pasti Hailey yang sudah membocorkannya,' sungut Sherin di dalam hati. 'Dasar mulut ember!'Ia mendengus pelan, menahan kekesalan yang mendadak memenuhi dadanya. Meski kecewa, Sherin tahu ia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sahabatnya itu.“Apanya yang benar?”Suara berat Arnold memecah keheningan yang menyesakkan. Tatapannya langsung tertuju pada Leon, dingin dan penuh tekanan.“Aku adalah suami Sherin,” ucap Arnold dengan tegas, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan penekanan yang disengaja, “sah secara hukum.”Kata "sah" itu meluncur seperti pisau, menghunjam tepat ke sasaran. Dari sorot mata Leon, ia bisa melihat amarah yang tidak lagi mampu disembunyikan.Tanpa memberi Leon celah untuk menyela, Arnold kembali berbicara. Nada suaranya tetap tenang, tetapi setiap katanya mengandung tekanan yang menusuk.“Aku tidak keberatan jika tidak dianggap sebagai keluarga. Tapi kalau begitu, apakah itu berarti kalian juga menganggap Sherin sebagai orang luar?”Arnold sengaja me

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 237

    “Kamu kenal dengan Tuan Muda Windsor, Leon?” tanya Natasha seraya menatap putranya dan Arnold secara bergantian. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab pertanyaannya.Rasa penasaran membuat Sherin ikut menoleh ke arah suaminya. Baru saja ia hendak membuka mulut, suara Arnold telah lebih dulu menyelanya, “Oh?” Arnold melirik Leon sekilas—dingin dan singkat—lalu beralih menatap Sherin. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, “Jadi … dia Kakak Leon yang sering kamu ceritakan itu, Sayang?”Mata Sherin terbelalak. Ucapan Arnold terdengar ringan, tetapi sindiran dingin yang terselip di dalamnya membuat Sherin salah tingkah.Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia yakin Leon pasti sangat bingung dan syok dengan situasi saat ini. Ia mengira pria itu sama sekali tidak tahu bahwa dirinya telah menikah.Sherin hanya bisa menjawab dengan anggukan. Ia tahu jika Arnold masih belum bisa menerima kedekatannya dengan Leon. Sungguh, ia tidak menyangka jika keduanya terny

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 236

    Arnold hanya tersenyum tipis, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Maaf kalau aku keras kepala. Tapi, kita bersaing dengan adil. Bukankah begitu, Tuan Callen?”George berdeham, jelas masih kesal, tetapi ia hanya bisa mengangguk membenarkan.“Kalau begitu … kamu juga punya lukisan Mama?” selidik Sherin, menatap Arnold dengan tajam.Arnold terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Ia tahu ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan apa pun.Melihat ekspresi kesal Sherin, Natasha yang sejak tadi tidak mencampuri pembicaraan, tiba-tiba menyipitkan matanya dengan tajam, menatap Arnold dengan penuh curiga. “Kenapa? Dia tidak pernah cerita padamu, Sherin?”Sherin menggigit bibir dengan erat, bingung harus menjawab apa. Sepemahamannya terhadap sikap Natasha, ia yakin wanita itu akan meledakkan amarahnya lagi jika tahu Arnold telah “menipu” identitasnya selama ini darinya.Sebelum Natasha menginterogasi lebih lanjut, para pelayan kembali masuk dengan membawakan hidangan penutup. Mereka meleta

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 235

    Pelayan yang sebelumnya keluar melapor kembali masuk bersama tiga orang pria, dua di antaranya adalah staf keamanan internal dan satu lainnya adalah manajer restorannya.Namun, sebelum manajer itu sempat menanyakan apa pun, suara Arnold sudah lebih dulu memotong tajam, “Kalian … bawa pengacau ini keluar!”David terperanjat saat telunjuk Arnold mengarah padanya.Manajer restoran tampak hendak berbicara, tetapi Arnold kembali menyambar dengan nada dingin penuh wibawa, “Saya Arnold Windsor. Orang ini telah mengacaukan acara makan malam keluarga saya. Keluarkan dia… dan pastikan dia membayar semua tagihannya sebelum pergi.”Seketika ruangan diliputi keheningan yang menegang. Semua orang saling berpandangan dengan kaget sekaligus bingung dengan sikap otoriter Arnold.David langsung tergelak. “Arnold Windsor, aku tahu kamu hebat dan punya banyak uang. Tapi, jangan sok berlagak seperti pemilik restoran ini. Kamu pikir mereka akan menuruti perintahmu begitu saja?”“Kenapa tidak?” Arnold menye

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status