“Sherin, hentikan suami gilamu ini!”
Bentakan Penelope menggema di dalam ruangan, menampar ketegangan yang tengah mengudara. Wanita itu berdiri di samping David, menatap tajam ke arah putri tirinya dengan penuh kecaman. Wajah David sudah sepucat kertas. Peluh membanjiri keningnya. Rahangnya mengatup rapat, menahan nyeri hebat di pergelangan tangannya yang masih dicengkeram kuat oleh Arnold. Namun, tidak ada setitik pun belas kasihan di wajah Arnold. Justru ketenangannya terasa semakin mengintimidasi."Bisa-bisanya kamu diam saja melihat Papa disakiti seperti ini sama suamimu, Kak!" Paula ikut menyerukan kepeduliannya terhadap sang ayah.
Akan tetapi, Sherin tahu pasti, setiap kata yang meluncur dari mulut Paula tak lebih dari sandiwara murahan. Jelas hanya ingin memperburuk hubungannya dengan ayahnya.
“Kamu benar-benar keter—!"
Ucapan Paula mendadak terhenti saat tatapan dingin Arnold mengarah padanya. Hanya sekejap, namun cukup membuat nyalinya menciut. Wajahnya memucat, bahunya mengerut, dan ia spontan menunduk, tidak berani menatap pria itu lebih lama.
Sherin menoleh pada Arnold. Saat ini perasaannya masih sangat kacau. Ia tengah berjuang menenangkan diri, meredam ketakutan yang sempat muncul karena sikap Arnold yang sulit ditebak sebelumnya.
“Arnold,” panggil Sherin akhirnya.
Tak peduli seberapa kecewanya ia pada sang ayah, Sherin tidak bisa menutup mata dari penderitaan yang terpampang jelas di wajah pria paruh baya itu. Ia datang bukan untuk membuat keributan—hanya untuk menuntut haknya.
Namun, Arnold tetap bergeming. Sorot matanya tertuju tajam ke arah David yang kini menggertakkan gigi, menahan malu lebih dari rasa sakit.
“Sudah cukup, Sayang,” ucap Sherin pelan sambil menyentuh lengan suaminya yang masih menegang.
Arnold sempat mengerutkan kening, terkejut oleh panggilan mesra yang ditujukan padanya. Namun, tanpa banyak bicara, ia mengendurkan cengkeramannya, lalu menyentakkan tangannya dengan satu gerakan kasar.
David pun terhuyung, hampir terjatuh ke lantai. Mulutnya hendak mengumpat kasar, tetapi tertahan karena Arnold kembali menatap tajam ke arahnya seperti bilah pisau dingin yang siap menggorok lehernya. “Astaga, pergelangan tanganmu … sampai memar begini!” seru Penelope dramatis saat memeriksa luka di tangan suaminya. Ia mendelik Arnold dengan tajam seakan meminta pertanggung jawabannya, tetapi pria itu malah membuang pandangan darinya. Rahang Penelope terkatup rapat, menahan amarah yang sudah nyaris meledak karena sikap acuh tak acuh pria itu. Tatapannya pun beralih pada Sherin. “Lihat apa yang sudah dilakukan suami berandalanmu, Sherin! Bisa-bisanya kamu memilih laki-laki semacam ini! Sungguh memalukan!” Sherin mendecakkan lidahnya. Belas kasihannya ternyata malah dibalas dengan hinaan. Begitu juga dengan Paula. Adik tirinya itu turut mencelanya, “Gadis pemberontak dan pria rendahan yang tidak tahu etika … Bukankah mereka sangat serasi, Ma?” Penelope menyeringai sinis. “Sepertinya kamu benar, Putriku. Dia malah membuang berlian seperti Marco hanya untuk memungut kotoran menjijikkan.” Tangan Sherin terkepal erat. Darahnya terasa mendidih. Tidak peduli apa pun status dan latar belakang Arnold, pria itu sekarang adalah suaminya. Ia tidak bisa diam saja membiarkan orang-orang menghinanya. Namun, sebelum ia sempat membalas ucapan mereka, Arnold telah lebih dulu angkat bicara. “Jangan buang waktumu untuk meladeni orang bermulut sampah seperti mereka, Istriku,” ujar pria itu.Satu alis Sherin terangkat saat mendengar panggilan sayang dari pria itu. Arnold tidak terlihat gugup sedikit pun. Ia tidak menyangka pria itu benar-benar mendalami perannya.
'Dia ternyata sangat berbakat,' puji Sherin di dalam hati, merasa sangat puas.
Sementara itu, kata-kata Arnold telah membuat wajah Penelope dan Paula memerah karena murka. Namun, kilatan dingin berbahaya yang terpancar dari sorot mata Arnold membuat semua makian yang menggantung di ujung lidah mereka pun tertelan kembali.
Bahkan Paula sampai bersembunyi di balik tubuh ibunya, khawatir menjadi sasaran kekerasan pria itu.
“Aku rasa kamu benar. Kalau begitu, ayo kita pergi, Sayang,” ucap Sherin seraya mengamit lengan Arnold, mengajaknya pergi dari tempat itu.Akan tetapi, baru saja mereka hendak berbalik badan, David berseru dengan penuh amarah, “Kamu mau ke mana? Kita belum selesai bicara, Sherin!”
Sherin menghela napas kasar. Ia menoleh dengan malas. “Apa lagi yang mau dibicarakan, Pa? Aku rasa semua sudah jelas. Aku tidak akan pernah meminta maaf dan menikah dengan Marco. Karena aku …."Sherin menoleh ke arah Arnold dan tersenyum lembut. "Karena aku sudah memilikinya," sambungnya seraya menggelayut lengan suaminya itu dengan manja, sengaja mengaduk emosi ayahnya.
Keheningan menggantung selama beberapa saat di dalam ruangan tersebut. David melirik Arnold dengan tajam sebelum akhirnya pandangannya beralih kembali pada putri sulungnya. “Baiklah. Kalau memang itu keputusanmu, Sherin. Tapi, kamu hanya memiliki waktu enam bulan," tukasnya. Kening Sherin mengernyit. Sebelum ia sempat berkata-kata, David melanjutkan, “Kamu tidak lupa kan kalau ibumu juga memberi syarat tambahan di dalam surat wasiatnya?” Sherin terdiam. Tentu saja ia tidak melupakan hal tersebut. Bukan hanya sekadar mendaftar pernikahan saja yang diinginkan ibunya, tetapi Sherin dituntut untuk mempertahankan pernikahannya dan mengembangkan Clover dalam waktu enam bulan. Apabila ia gagal, seluruh warisan galeri itu akan disumbangkan ke yayasan sosial yang telah ditentukan oleh mendiang ibunya. Sherin tahu jelas jika sang ayah telah melakukan antisipasi. Sebulan lalu David telah mengambil alih yayasan sosial yang dimaksud dan itu berarti ayahnya yang akan menguasai galeri tersebut jika ia gagal memenuhi syarat itu. “Tenang saja,” ucap Sherin dengan santai. “Aku pasti akan membuat nama Clover terkenal hingga ke seluruh negeri hingga tidak ada siapa pun memiliki kesempatan untuk menjatuhkannya.” Sikap pantang menyerah putri sulungnya itu membuat David mengertakkan giginya. Dengan wajah penuh amarah, ia berkata, “Karena kamu memilih menikah dengan pria rendahan ini, mulai detik ini, kamu bukan putriku lagi!"Untuk beberapa detik, dunia di sekeliling Sherin terasa membisu. Sebelumnya ia sudah menduga ayahnya akan mengambil tindakan keras atas keputusannya tersebut. Namun, ia tidak pernah menyangka pria paruh baya itu akan memutuskan hubungan darah di antara mereka.
"Apa pun yang kamu lakukan di luar sana nanti … tidak ada hubungan lagi dengan keluarga Scarlet!” tegas David lebih lanjut.
Tidak ada bantahan. Tidak ada permohonan ampun. Hanya senyum getir yang muncul di sudut bibir Sherin. Tanpa berkata apa pun, gadis itu pun berbalik pergi bersama Arnold. Dari sudut matanya ia menangkap senyuman penuh kemenangan dari wajah Penelope dan Paula. Kepergiannya adalah harapan mereka sejak lama. Namun, Sherin menyadari bahwa saat ini dirinya belum memiliki kemampuan untuk melawan mereka.Di saat dirinya tengah berjuang untuk menyembunyikan rasa perih yang menggerogoti hatinya, samar-samar Sherin merasakan genggaman jari-jari Arnold sedikit menekan tangannya, seperti isyarat diam yang terasa lebih menenangkan daripada seribu kata. Namun, pria itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat Sherin menoleh padanya.
‘Mungkin hanya perasaanku saja,’ batin Sherin seraya menghela napas pelan.
Detik berikutnya, gadis itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa babak baru hidupnya baru saja dimulai. Sesulit apa pun jalannya, ia tidak akan mundur. Sherin akan membuktikan kepada ayahnya bahwa ia tetap dapat hidup dan bernilai meskipun tidak menyandang nama besar Scalet!
Halo, Kakak. Maaf lama update karena masih ada beberapa revisi di bab sebelumnya dan tetap sabar menanti kelanjutannya ya, Kak ^^ Jangan lupa berikan dukungan dengan komentar ataupun gems dan gift jika berkenan. Terima kasih ^^
“Seperti dugaanmu, Bernard Murray memang orang yang cukup licik dan serakah. Sudah banyak beredar rumor buruk tentangnya, tetapi berkat seseorang, semua isu itu berhasil dialihkan. Dan kamu pasti tahu siapa orangnya,” imbuh Sophia lebih lanjut.Arnold memutar pelan gelas whiskey di tangannya. Jelas siapa yang Sophia maksud, kemungkinan besar Frans Langdon-lah yang yang berada di balik pergerakan calon politisi itu.Arnold menatap cairan keemasan di dalam gelasnya, seolah bisa membaca jejak langkah lawannya di sana. Alih-alih menggali informasi lebih lanjut, ia menyoroti Alvin yang tengah asyik bersenang-senang dengan para bawahannya yang lain.“Apa bocah itu masih sering memberikan masalah untukmu selama aku pergi, Madam Nolan?” tanya Arnold seraya menunjuk pemuda itu dengan dagunya.Sophia mengikuti arah pandang Arnold, lalu mendengus kecil. “Tiada hari dia tidak berulah. Bukannya bekerja, dia malah sibuk menggoda semua wanita yang ditemuinya. Entah mau jadi apa dia nanti.”“Walaupun
Musik hingar bingar memenuhi ruangan VIP Diamond. Terdengar suara tawa dari beberapa pria dan wanita yang sedang menikmati minuman berkelas, ditemani alunan musik live yang memekakkan telinga.Lampu kristal berpendar lembut, memantulkan kilau dari botol-botol champagne yang berjajar di atas meja marmer. Asap cerutu tipis menari di udara, bercampur dengan aroma alkohol yang menusuk.Tampak Alvin yang tengah memasang wajah serius, tangannya menggenggam stik biliar dengan penuh konsentrasi. Ia membungkuk, menatap bola putih seolah ingin menembusnya dengan sorot matanya. Satu kali pukulan, bola meluncur cepat namun berhenti beberapa sentimeter sebelum mengenai target.“Ah, sial!” gerutunya sambil mengumpat kecil, membuat pria-pria lain di sekitar meja tertawa.King, yang sejak tadi hanya berdiri santai dengan tangan terlipat di dada, melangkah maju dengan tenang. Ia mengambil stik biliarnya tanpa banyak bicara.Dengan gerakan sederhana, bola putih melesat mulus, memantulkan sisi meja, dan
Sherin masih terpaku di depan pintu hingga salah satu pria mengisyaratkannya untuk masuk. “Kemarilah, Kucing Manis. Ayo temani Kakak minum.”Tamu pria itu menepuk tempat kosong di sampingnya. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi yang sudah tak lagi rapi dan menguning.Mendengar tawaran itu, satu alis Sherin menukik naik. ‘Dasar tua bangka tidak tahu diri. Dia bilang apa? Kakak? Apa dia tidak berkaca dulu sebelum keluar rumah tadi?’Ia menahan lidahnya agar tidak menyemburkan umpatannya. Demi pekerjaannya, ia memilih diam. Dengan penuh keengganan, gadis itu mendorong trolinya dan berdiri di tengah ruangan.Ketiga tamu paruh baya itu tidak mengenakan topeng mereka sesuai aturan kelab sehingga Sherin bisa melihat jelas wajah mereka. Kening Sherin langsung mengernyit saat tatapannya tertuju pada salah seorang tamu.Pria berperut buncit itu duduk sambil memeluk pinggang dua wanita pendamping kelab berpakaian seksi di kedua sisinya. Terlihat beberapa bekas lipstik di wajah gempalnya
“Jack! Apa yang kamu lakukan di sana? Kemarilah!” Sophia Nolan tiba-tiba berteriak lantang padanya.Alvin mendengus kesal karena kesenangannya lagi-lagi diusik. “Dasar tante-tante cerewet,” gerutunya. Namun, ia tetap berjalan ke arah wanita itu.Sementara, Sherin masih terpaku di tempat, menatap King yang kini berdiri tegak di tengah ruangan dengan dikerumuni oleh para pengagumnya. Ia tidak dapat melepaskan tatapannya dari pria bertopeng perak itu.Aura yang terpancar dari sosok itu begitu kuat, hampir terasa seperti magnet yang memaksa semua mata menatap ke arahnya. Ketika tatapan dingin King tiba-tiba beradu dengan matanya, bulu kuduk Sherin meremang seketika.Napasnya nyaris tercekat saat melihat pria itu tersenyum tipis. Senyuman samar yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk menimbulkan ribuan tafsir bagi siapa pun yang melihatnya.Ucapan Alvin sebelumnya bergema di dalam kepalanya, memunculkan ketakutannya. Namun, di sisi lain, Sherin merasa tatapan dingin pria itu sangat
Sherin mendorong troli minuman keluar dari ruang ganti, melangkah pelan menyusuri koridor. Setiap langkah terasa berat—bukan hanya karena pakaian yang membuatnya tidak nyaman, tetapi juga nyeri yang masih menusuk di kaki kanannya.Ia berhenti sejenak di depan pintu besar yang memisahkan area internal karyawan dengan ruang hiburan utama kelab. “Hei, Kucing Seksi,” goda penjaga yang berdiri di dekat pintu tersebut sembari bersiul. Namun, Sherin tidak menggubrisnya.“Pulang kerja nanti ikut denganku, bagaimana?” Pria berotot kekar tinggi itu masih mencoba merayunya.Sherin hanya melototinya dari balik topengnya dan segera mendorong pintu di depannya dengan punggungnya.Begitu pintu terbuka, dunia di hadapannya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Cahaya lampu berwarna-warni menari liar di langit-langit, musik berdentum keras hingga terasa mengguncang dadanya, dan riuh tawa para tamu langsung menyergap telinganya.Jantung Sherin berdegup kencang, telinganya berdengung karena kebi
“Apa kamu belum selesai? Lama sekali!”Ketukan keras menggema dari balik pintu ruang ganti, disusul suara bentakan bernada kesal.Sherin hanya bisa menghela napas panjang, mengabaikan kemarahan Clara─hostess senior yang akan ia gantikan malam ini. Saat ini perhatiannya tersita sepenuhnya pada penampilannya sendiri.Keningnya mengernyit. Matanya menelusuri pantulan dirinya di depan cermin. Ia hampir tak percaya, gadis seksi di hadapannya ini adalah dirinya.Balutan kostum kucing serba hitam yang menempel ketat di tubuhnya, stoking jaring yang menutupi kaki jenjangnya, ekor panjang buatan yang menjuntai di belakang, serta telinga kucing yang bertengger manis di atas kepalanya membuatnya merasa ... tidak mengenal dirinya sendiri.Sherin meremas ujung rok mini ketat yang menempel di pinggangnya, berusaha menutupi rasa canggung yang kian menyesakkan. Napasnya terasa berat, seakan ruangan sempit itu menutup seluruh jalan keluar untuk bernapas.Gadis itu meneguk salivanya dengan bersusah paya