Share

Jatuh Cinta

Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan. 

"Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa." 

Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya.  

Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah.

"Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri."

Hani menajwab asal. Dia masih fokus pada makanan di hadapannya. Enak sekali menu hari ini. Nasi rawon dengan banyak taoge dan telur asin.

"Iya, tapi kan dia udah tuwir. Masa mau empat puluh tahun belum nikah juga." Si mulut bawel ini memang kadang sulit mengerem kata-katanya.

"Hus! Jaga mulut kamu. Mana tau dia udah punya pacar diem-diem. Orang kayak mereka itu jaga privasi. Enggak suka ngumbar sama orang lain kehidupan pribadinya. Sekalipun dekat, semua kan gak harus di ceritain, Nes."

"Coba dia ramah dikit. Aku aja yang udah jadi sekretarisnya bertahun-tahun, malah jarang ngobrol, tuh."

"Mungkin dia cuma bicara seperlunya aja. Dia kan sibuk. Mana sempat mau gosip kayak kita."

Hani mengaduk nasi dan kuah rawon, lalu menyuapnya dengan lahap. Rasanya satu porsi masih kurang dan dia ingin menambah lagi. 

Mereka asyik berbincang hingga sesosok lelaki tampan masuk ke cafetaria. 

"Eh, eh. Dia datang, Mbak. Tumben nongkrong di kantin. Biasanya makan siang di restoran," bisik Agnes. Dia menyenggol bahu Hani. 

Hani melihat ke arah pintu masuk. Reza terlihat tenang dan santai saat memilih menu makanan. Padahal suasana semakin berisik, karena karyawan wanita sibuk membicarakannya. Bahkan Hani melihat waitress yang mengantar makanan, sempat berhenti saat Reza lewat.

Reza meliriknya sekilas kemudian tersenyum.

"Eh, dia senyum sama kita." Agnes bersorak kegirangan. Dengan percaya dirinya membalas senyuman Reza.

"Sama kamu kali. Kamu kan cantik, single lagi." Dia cuek saja, masih belum move-on dari semangkok rawon yang super enak ini. Rasanya ingin dimintakan resepnya biar bisa dimasak di rumah untuk suami dan anaknya. 

"Pasti sama kamu, Mbak. Aku lihat dia seneng banget kalau mbak datang habis ngantar dokumen. Senyum-senyum  enggak jelas."

"Oh ya?" Mengapa hatinya jadi berbunga-bunga begini.

"Iya. Mbak ini imut banget, deh. Aku enggak nyangka udah nikah terus punya anak. Apa jangan-jangan Pak Reza seleranya yang kecil-kecil kayak mbak ini kali, ya. Gemesin gitu."

Hani terbahak, kemudian menutup mulutnya menahan malu. Rasanya tak pantas jika perempuan tertawa seperti itu, apalagi ini di tempat umum. Tidak sopan. 

Tanpa disadari, ternyata Reza berhenti makan dan melihat saat mereka tertawa. 

Tak disengaja juga, di saat yang sama, Hani menoleh ke arahnya. Mata mereka bertatapan entah untuk yang ke sekian kalinya. Wanita itu menunduk. Sekilas terlihat Reza menahan senyum sambil melanjutkan makan.

"Tuh, kan. Dia ngeliat ke sini. Senyum-senyum lagi." Agnes mulai menggoda sahabatnya. Senang sekali dia melihat Hani yang menjadi salah tingkah karena perbuatannya.

"Udah, ah. Aku udah selesai makannya. Duluan, ya." 

Hani berjalan menuju keluar. Sebelumnya dia menanggukkan kepala ke arah Reza sebagai tanda pamit. Lelaki itu membalasnya dengan senyuman.

***

"Hani bisa antarkan dokumen ini ke ruangan Pak Reza," kata Ibu Maya, atasannya di departemen ini. 

"Ada lagi, Bu?" Dia bertanya. Hari ini dia sudah tiga kali bolak balik mengantarkan berbagai macam berkas sejak pagi. Belum lagi yang harus diantar ke divisi lain. Kenapa coba dia ditempatkan di posisi ini?

"Iya. Ini besok akan ada rapat dengan klien penting diluar kota. Semua harus selesai hari ini."

"Baik, Bu."

Dia melangkahkan kaki menuju dimana ruangan lelaki itu berada. Entah mau bicara apalagi jika bertemu. Malah kadang diantar saja tanpa bicara, setelah selesai dia langsung ke luar ruangan.

"Bapak ada?" Dia bertanya. 

Agnes terlihat sibuk, entah sedang mengerjakan apa. Hani melihat rambut yang tadinya terurai, kini digelung ke atas. Itu berarti pekerjaan Agnes sedang banyak. 

"Masuk aja, Mbak." Dia mengangguk tanpa melihat. Matanya fokus menatp layar di depan. 

Tok tok tok!

Wanita itu mengetuk pintu sebelum masuk. 

"Ya." Suara berat menyahut dari dalam. Sungguh terdengar sangat maskulin bagi telinga wanita.

"Permisi, Pak." Dia masuk dengan sopan. Harus formal, karena Reza adalah atasannya, walaupun secara tidak langsung.

"Eh, Mbak Hani. Ada lagi?" Lelaki itu tersenyum senang saat wanita ini datang dan mengetuk pintu ruangannya.

"Iya, Pak. Kata Bu Maya ini penting karena besok Bapak akan meeting dengan klien luar kota." Dia meletakkan berkas itu di meja.

"Duduk."

"Tapi, saya cuma sebentar, Pak. Ada beberapa laporan yang harus saya selesaikan," tolaknya halus. 

"Duduk aja dulu. Kamu enggak pengen ngobrol sama aku sebentar aja?" Suara beratnya kali ini melunak. 

Aku? Biasanya dia mengucapkan kata "saya".

"Iya, Pak."Hani mengambil tempat di sofa seberang meja. Dia tidak berani duduk berhadapan dengan Reza. Selain grogi, harum parfumnya benar-benar menggoda.

Lelaki ini mengambil gagang telepon dan men-dial beberapa angka.

"Halo, Bu Maya. Tolong laporan yang mau dikerjakan Hani dialihkan sama yang lain dulu. Ada beberapa hal yang mau saya diskusikan, jadi sampai jam pulang kantor, Hani berada di ruangan saya."

Telepon terputus. Reza segera menanda-tangani berkas dan dokumen di mejanya.

Hani tercengang mendengar apa barusan dia dengan. Diskusi? Apa yang Reza mau bicarakan? Bukannya dia hanya staf administasi biasa. Tapi dia memilih diam, dan ... menunggu. 

"Halo Agnes. Pukul empat nanti kamu boleh pulang. Tidak ada lembur atau pekerjaan tambahan karena besok saya mau keluar kota."

Setelah selesai, Reza berjalan mendekati sofa dan duduk di sebelah Hani. Dengan santainya dia meletakkan tangan di belakang sandaran, yang jika Hani merapat sedikit seolah-olah akan berpelukan dengannya.

"Cape’nya." Dia melonggarkan dasi.

"Kalau cape' Bapak pulang aja, kan bisa istirahat di rumah."

"Aku masih kangen sama kamu." Reza mendekatkan wajahnya menatap wajah cantik itu.

Hani terkejut sambil menutup mulut.

"Kenapa?" Suaranya melembut tapi tubuhnya bergerak mendekat. Kini Hani terpojok di ujung sofa.

"Bapak ada yang mau didiskusikan dengan saya?" tanya Hani dengan wajah ketakutan. 

"Diskusi apa? Cuma mau ngobrol biasa ajalah," ucapnya santai. 

"Mau ngobrol apa, Pak?" Dia menunduk, malu ditatap Reza seperti itu.

"Kalau ngomong jangan nunduk gitu. Liat matanya, dong." Reza mengangkat dagu Hani.

Hani menepis tangannya. Lancang, tapi malah dipegang balik oleh lelaki itu.

Reza menatapnya tajam. Dia ingin sekali menyentuh wajah ini. Tapi niatnya urung. Tangannya malah bergerak melepas gelungan rambut Hani, kemudian membelainya.

"Jangan, Pak." Hani menolak. Tidak pantas seorang pimpinan memperlakukan staff-nya seperti itu.

"Kenapa?"

"Saya istri orang."

Reza tersadar. 

"Cuma ngobrol biasa boleh, kan?"

"Tapi jangan pegang-pegang." Hani tersenyum. Dia takut lelaki ini tersinggung, karena dia menolak dengan cara halus. 

"Iya." Lirih suaranya, tapi raut wajahnya tampak kecewa. Apakah Reza sudah jatuh cinta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status