Share

Pengakuan

Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu.

"Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya." 

Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali.

"Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu. 

"Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih." 

"Berat ini." 

"Cewek?" tanya Kevin penasaran. 

"Yup."

"Siapa?" Mata lelaki itu membulat. 

"Ada deh," jawab Reza santai. 

"Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir.

"Tapi janji, rahasia ini!"

"Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih aja begini. Satupun ga ada yang nyantol." 

"Gue malu. Sumpah beneran!" Reza menunduk sambil menggelengkan kepalanya.

"Lah?" Ada apa dengan Reza? Kevin jadi geli mendengarnya.

"Karyawan baru di kantor gue." Reza mulai bercerita.

"Oh! Kirain sekretaris lo yang cakep bahenol itu."

Reza menjitak kepala Kevin. Sahabatnya yang satu ini memang suka bicara asal tanpa pikir panjang.

"Lo cerita. Gue dengerin baek-baek. Janji gue ga bakal ketawain. Oke?"

Reza menggangguk lesu, seperti kehilangan semangat. Mirip juga seperti orang yang kena Anemia. Lemas.

"Namanya Hani. Seumuran Krista, adek gue. Lucu, imut, mungil banget. Awalnya sih biasa aja. Itu cewek juga bukan tipe gue. Biasa banget, lah. Kayak cewek-cewek kampung, gitu."

Kevin mendengarkan dengan seksama. Sedikit demi sedikit dia mulai penasaran.

"Terus?"

"Secara fisik standar banget, lah. Enggak ada cakepnya. Lo tau baju yang dia pake? Paling seharga makan siang gue?"

"Lah?" 

Kevin menatap lekat. Reza benar serius kalau sudah begini. Dia tau bener selera sahabatnya. High class, dari barang sampai pacar, pun pilih-pilih.

"Tapi sikapnya itu, yang bikin gue ... ah ga taulah. Suaranya lembut, bahasanya sopan. Lo tahu, cuma dia satu-satunya karyawati yang pake celana panjang sama sepatu flat. Sementara yang lain sexy banget sampai terbuka."

"Cupu?"

"Bukan. Sederhana tapi ... bedalah pokoknya."

"Jadi?"

"Dia juga gak kayak yang lain berusaha ngedeketin gue. Dia cuek aja. Padahal tiap hari ketemu."

"Jadi lo penasaran?" tanya Kevin lagi. 

"Banget."

"Nah! Mulai ini."

"Tapi kok gue makin hari makin kangen sama dia. Kebayang senyumnya. Tingkah lakunya, sifat malu-malunya. Sampai gue enggak bisa tidur semaleman."

"Ah, lo jatuh cinta." Kevin menepuk pundak Reza. Dia sudah tidak bisa menahan tawa. Sahabatnya ini benar-benar lucu.

"Enggak mungkin! Masa gue jatuh cinta sama cewek kayak begitu? Enggak banget!" Reza mencoba menyangkal perasaan sendiri. Wanita seperti Hani sama sekali bukan seleranya.

"Udah, ngaku aja. Lo jatuh cinta sama dia, kan?" Mata Kevin berkedip menggoda. 

Reza malah tersenyum mengejek, kemudian menghabiskan sisa makan siangnya. "Sotoy, Lo."

"Lah, gue kan udah ngalamin sama Nancy." Kevin menyebut nama istrinya. 

"Tapi Nancy, kan, model. Ini cuma ..." Reza menarik napas panjang, tak mengerti dengan perasaannya sendiri.

"Cinta itu bisa datang kapan saja. Di mana aja. Lo ga bisa bohongi kata hati. Harus diakuin. Nikmatin ajalah pelan-pelan sambil pedekate."

"Gue pusing. Bikin engak fokus kerja."

"Nah udah itu. Tanda-pria dingin jatuh cinta." Gelak tawa Kevin menggema.

"Dasar!"

"Mana sih fotonya? Gue pengen liat."

Reza menjukkan foto profil Hani di WhatssApp-nya. Dia menyimpannya diam-diam. Kebetulan Hani memasang foto dirinya. Jadi sewaktu-waktu ingin melihat, dia tinggal membuka di galeri dan menatap wajah cantik itu di layar ponsel. Kadang tersenyum sendiri jika mengingat kelakuan Hani yang salah tingkah jika bertemu dengannya di kantor.

"Biasa aja. Cantik juga tapi polos. Cupu kata gue. Kalau dipoles dikit, nah baru cakep ni cewek." Kevin mengamati foto itu dengan teliti. 

"Bener, kan, kata gue?"

"Eh tapi ... Lo kan suka sama sifatnya. Sopan, lembut ...."

"Keibuan. Bikin gue nyaman disamping dia." Reza menyambung kata-katanya.

"Nah, keibuan pula. Idaman para laki-laki." Kevin menepuk bahu Reza. 

"Ya jelas, lah. Dia udah punya anak satu."

"Apa? Maksud lo?" Kevin terkejut mendengar kata-kata itu. Ini sahabatnya serius atau sedang bercanda?

"Dia bini orang."

Kevin menepuk dahinya. Kalau begini, sepertinya Reza harus dibawa ke rumah sakit. Mungkin badannya panas atau meriang. 

"Lo enggak salah orang?"

Lalu Reza bercerita panjang lebar, banyak hal tentang wanita itu yang disukainya. Segala macam tingkahnya saat mengantarkan dokumen. Pembicaraan mereka dari yang serius sampai yang santai. Juga sedikit tentang keluarga wanita itu, sepanjang yang dia tahu.

Kevin tak berani menyela, hanya terdiam mendengarkan. Sesekali, para kaum lelaki juga butuh tempat untuk bercerita, menumpahkan semua perasaan yang diam-diam mereka simpan. Bukan berarti lemah, hanya butuh teman untuk berbagi pendapat dan pemikiran.

"Itu cewek yang dijodohin sama bonyok lu bagaimana kabarnya?"

 

"Enggak tahu gue, serah mereka ajalah."

"Lah, napa begitu? Liat dulu, dong. Ntar nyesel."

"Bosen. Mama kayak kucing garong saja. Tiap ada anak cewek temennya langsung mau dijodohin sama gue."

"Makanya cari. Cepetan nikah, biar mama lu gak gitu," saran Kevin. 

"Lo sama saja kayak mama. Cepetan nikah, Za. Mama pengen gendong cucu." Lelaki itu menirukan ucapan ibunya dengan nada suara dihaluskan seperti wanita. 

"Mereka kan udah tua. Pengen liat lo bahagia, ada yang ngurusin. Jangan luntang-lantung kayak begini." Nasehat Kevin. 

"Enak aja! Gue keurus baik ini. Kalau enggak, ya mana bisa nerusin usaha mereka. Perusahaan makin besar. Omset makin meningkat. Lagian kalau kangen cucu kan ada anak Krista." Reza menjadi kesal jika teringat ucapan yang dilontarkan orang tuanya. Terutama mama yang selalu memaksanya.

"Berarti pengen cucu dari lo. Kan anak pertama, penerus generasi." Melihat wajah Reza yang cemberut, Kevin semakin menjadi menggodanya.

Lelaki itu mengambil air dan meminumnya habis dalam sekali teguk.

"Nikah tu enak, Za. Ada yang bikinin sarapan. Ada yang ngurus kalau kita sakit. Ada yang ..." bisik Kevin memancing.

"Bisa saja. Cewek di mana saja kan sama."

"Beda. Ntar kalau udah ngerasain sendiri baru tahu."

"Taulah. Biar terserah mama aja maunya apa. Gue masih belum pengen. Masih enak begini, bebas enggak ada yang ngatur."

"Lah itu si Hani mau lo apain?" Lelaki itu mengerutkan dahi. Tak habis pikir dengan kelakuakn sahabatnya ini. 

"Pengen gue pacarin. Gimana sih rasanya sama dia." Reza tersenyum sendiri membayangkan jika Hani menjadi miliknya. 

"Tobat, Za. Dia bini orang. Lo bisa ditembak sama lakinya."

"Jangan sampai lakinya tahu." 

"Emang dia mau sama lo?"

"Ini kan gue juga lagi usaha," jawabnya dengan penuh percaya diri. Dia yakin Hani pasti akan tertarik kepadanya, seperti kebanyakan wanita lain.

"Parah bener. Jangan nekatlah."

"Lo sebagai sahabat gue harusnya dukung, bukannya matahkan semangat gue, Vin." Nada suaranya meninggi, tak terima jika keputusannya dibantah.

"Kalau yang ini gue enggak bakalan dukung. Gue sebagai seorang suami juga enggak bakalan rela kalau bini gue dideketin sama cowok lain. Apalagi model kayak elo. Mending lo cari cewek lain sana."

"Enggak."

"Apalagi ini?"

"Gue mau Hani!"

Akhirnya Kevin memilih diam, tak mau menanggapi lagi. Sedapat mungkin, sebagai orang yang paling dekat dia harus menasehati. Reza tidak boleh bermain api, kalau tidak mau terbakar nantinya. Ini serius, tidak boleh dianggap main-main.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status