Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.
Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.
Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.
Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.
Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sekedar berbasa-basi.
Lelaki yang satu ini entah apa maunya. Seperti tidak ada wanita lain saja, terus menggodanya tanpa henti. Hani tahu Reza menyukainya. Agnes beberapa kali mengatakan hal itu, tapi dia pura-pura tidak mendengar.
Kalau perbincangan biasa, dia masih menganggapi, tapi selebihnya, dia tidak mau. Reza bahkan mulai terbuka untuk beberapa hal, menceritakan tentang keluarga atau pekerjaan. Hani memilih tetap merahasiakan keakraban mereka sekalipun dengan Agnes. Dia tidak mau ada gosip, mengingat statusnya karyawan baru.
Dia sudah menikah, harus menjaga diri, dan menjaga amanah suaminya. Perempuan mana sih yang tidak tergoda? Dia tampan, kaya, dan sempurna.
Setiap kali pikirannya berkelana, dia langsung teringat akan kebaikan suaminya. Lelaki yang menjaga dan melindungi dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya. Hani menganggap ini sebagai cobaan dalam pernikahannya.
Setiap rumah tangga pasti ada masalah, tapi mengapa Reza dihadirkan dalam kehidupannya?
***
Ardi berlari mencari istrinya di dapur. "Dek. Dek!"
Hani sedang memasak untuk makan malam mereka. Saat weekend begini, dia pasti akan menyiapkan segala macam makanan kesukaan mereka.
"Apa sih, Mas? Teriak-teriak begitu? Bikin kaget aja." Dia mencuci tangan dan berjalan menghampiri suaminya.
"Mas diterima kerja." Ardi memeluk istrinya erat.
Wanita itu terharu, air matanya menetes karena bahagia. "Alhamdulillah. Di mana, Mas?"
"Perusahaan ini." Ardi menunjukkan sebuah email di ponselnya.
Hani membacanya dengan teliti. Ternyata perusahaan yang menerima suaminya cukup besar. "Aku ikut senang mas. Dapat posisi apa?"
"Sama kayak dulu."
"Syukurlah. Jadi enggak perlu lama menyesuaikan diri."
Ardi sudah berpengalaman dengan bidangnya. Jam terbangnya tinggi, jadi dia pasti lebih cepat beradaptasi. Suaminya memang selalu bisa diandalkan.
"Tapi mas harus training satu bulan di luar kota. Boleh, kan?" Ardi bertanya dengan hati-hati, karena mereka belum pernah berpisah selama itu.
Dia harus bertanya dulu kepada istrinya. Jika Hani tidak menyetujui, lebih baik mundur dan mencari pekerjaan lain.
"Kok lama?" sungutnya. Dia memang tidak bisa jauh. Kalau pun Ardi ditugaskan keluar kota, paling hanya seminggu.
"Tapi gajinya lumayan. Segini, loh dapatnya. Bisa bayar semua, jadi kamu enggak usah kerja lagi."
Hani terdiam. Kenapa rasanya di berat hati jika harus resign? Sudah terlanjur nyaman bekerja, karena ada kegiatan positif yang menghasilkan.
"Tapi aku baru tiga bulan kerja, Mas. Itu juga dibantu sama mereka. Masa' baru masuk udah resign."
"Kasian anak kita ditinggal kamu, Dek. Kadang dia nanyain kok bunda lama pulangnya. Mas kan enggak tega liat dia nangis." Lelaki itu menatap lekat istrinya, meminta pengertian. Memang sulit meyakinkan perempuan, terlebih jika itu di luar keinginan mereka.
"Nanti kalau udah karyawan tetap, baru aku mundur. Kalau tiba-tiba gak lolos terus aku udah cabut kan resiko juga." Hani mencoba bernegosiasi. "Abang ngerti kok, Mas. Lagian aku cuma sampai jam empat sore. Sabtu minggu libur," lanjutnya.
"Iya," Ardi mengangguk. Tak mau berdebat panjang, lebih baik mengalah. Perempuan memang selalu merasa benar, sudah hukum alamnya begitu.
"Makan dulu." Dia mengambilkannya sepiring nasi. Meminta suaminya duduk di meja makan sementara dia menyiapkan semuanya.
"Kamu masak apa?"
"Ikan goreng sambal lalapan." Hani membuka tutup sajian, menyiapkan peralatan makan.
"Abang udah tidur, ya?" Ardi mengambil piring yang diletakkan di meja.
"Udah." Wanita menarik kursi dan mengambil tempat duduk di sebelah suaminya.
"Kamu kok cantik hari ini?" Ardi menatapnya mesra. Bukannya mengambil nasi, malah mengusap rambut istrinya.
Hani tersenyum. Rambut panjangnya ini hanya boleh dirapikan beberapa bulan sekali, tidak boleh dipotong pendek. Dia bahkan diberikan budget khusus untuk merawatnya supaya tidak rontok.
Ardi suka sekali rambut istrinya. Katanya lebih ayu dan keibuan. Dia suka wanita yang halus bertutur kata dan bersikap, juga dari penampilan yang anggun.
"Bisa aja mas ini." Hani menambahkan beberapa menu di piring. Sejak bekerja porsi makannya bertambah hampir dua kali dari biasanya.
Bekerja tidak hanya melelahkan tubuh, tapi juga pikiran. Dia butuh asupan kalori yang banyak dan bergizi. Ada banyak kendala di kantor, beberapa rekan kerja kurang bersahabat, juga berbagai macam karakter yang dia harus mengerti. Semua itu harus dia hadapi setiap hari.
Anak baru harus pintar membawa diri. Salah sedikit bisa jadi bahan bully atau gosip yang tidak enak.
Dia harus extra sabar. Semua dia simpan rapat, tidak pernah dibawa saat kembali ke rumah. Hani tidak mau keluarganya merasakan hal yang sama. Jadi, suasana hatinya tetap riang saat pergi maupun pulang.
Sambil makan mereka berdua berdiskusi bagaimana mengatur rumah, jika Ardi bekerja nanti. Putra mereka yang akan menjadi korban, tadinya ditinggal ibu, sekarang harus ditinggal ayahnya juga. Hani merasa tidak tega. Dalam hati berdoa, semoga semua baik-baik saja.
Kadang, hal buruk itu, jika dipikirkan terlalu mendalam, malah belum tentu terjadi. Hanya prasangka, pada kenyataannya berbanding terbalik.
"Maafkan kami ya, Nak. Semoga suatu saat kamu mengerti bahwa apa yang kami lakukan saat ini untuk kebaikan," bisik Hani di telinga putranya, saat anak itu sudah terlelap.
Ada banyak hal yang berkecamuk di dalam pikirannya, silih berganti dari satu hal ke yang lain. Seperti tak mau pergi, terus saja berputar di kepalanya.
Dalam lelahnya hati, dia pun tertidur.
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"