Share

Semua Bermulai

Bosan.

Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka. 

Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.

Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu. 

"Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana." 

Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak mereka. Pikiran Hani dipenuhi dengan berbagai macam prasangka buruk. Ardi yang selama ini menguatkan, menenangkan, sehingga istrinya kuat menjalani rumah tangga yang saat ini sedang mengalami cobaan.

Posisinya sebagai kepala keluarga tidak hanya menafkahi, tapi mengayomi dan memberikan contoh dengan sikapnya yang tenang dan dewasa.

Berat bagi Hani jika harus berpisah lama. Dia pasti akan kewalahan mengurus anak dan meng-handle pekerjaan sendirian. Ada tetangga sebelah yang membantu, tapi dia lebih suka ada suami di rumah dari pada orang lain. 

"Tapi, Mas ..."

"Mas sudah enam bulan nganggur. Sampai kapan mau begini terus? Mas ini laki-laki masa' enggak kerja." Dengan pelan dia memberikan pemahaman agar istrinya mengerti. 

"Tapi lama banget. Apa enggak bisa dikurangi jadi dua minggu?." 

"Enggak bisalah. Perusahaan itu, kan ada aturannya. Ini ada kesempatan bagus. Mas ambil, ya."

"Iya, tapi ingat. Jangan naksir sama cewek lain. Awas, loh!" ancamnya. 

Ada rasa khawatir melepas kepergian Ardi. Di sana, pasti ada karyawan wanita yang ikut training juga. Bisa saja lebih cantik dari dia dan suaminya tergoda. Jangan sampai itu terjadi. Berbagai doa dia ucapkan untuk kelanggengan rumah tangga mereka. Dia tak rela menukar kebahagiaan ini dengan materi sebanyak apapun, Biarlah sederhana asalkan mereka bersama hingga nanti masanya tiba harus berpisah. Bukan karena pihak lain, tapi kematian.

"Kenapa kamu jadi cemburuan gini? Mas gemes, deh." Ardi mulai mendekati istrinya. Merengkuhnya ke dalam dekapan. Memainkan setiap helai anak rambut yang terjuntai di pelipis. 

Tanggannya bergerak menyentuh mata, turun ke pipi dan berakhir di bibir. Lalu, malam panjang mereka lewati dengan kemesraan.

***

"Kamu kenapa? Aku liat kayaknya beda. Lagi PMS apa isi lagi?" tanya Reza, saat wanita itu mengantarkan dokumen ke ruangannya. Dia menjadi sedikit penasaran saat melihat sang pujaan hati tampak berbeda dari biasanya.

Bisa juga pria dingin ini bercanda. Mungkin karena mereka sekarang berteman dan lebih akrab. Beberapa kali dia menceritakan masalah pekerjaan dan meminta saran. Untuk urusan pribadi Hani tidak pernah bertanya, tidak berani. Malah, terkadang Reza yang bercerita sedikit mengenai diri dan keluarganya. 

Reza adalah anak sulung dari salah satu pengurus perusahaan ini. Matanya sipit, kulitnya putih karena memang dia warga keturunan yang berstatus warga negara Indonesia.

Keyakinan? Tentu saja berbeda. Hani seorang muslim yang taat, sedangkan Reza tidak diketahui menganut keyakinan apa. Katanya ada banyak tradisi, pantangan, larangan yang mereka masih yakini di dalam keluarga besarnya.

"Suntuk aja, Pak. Suami sibuk tiap hari." jawab Hani sekedarnya. Mood-nya sedang baik, tidak mau berlama-lama berbicara dengan siapa pun. Bisa-bisa dia salah persepsi, yang tadinya bercanda malah membuatnya emosi.

"Masa enggak bisa dihubungi?" Reza mulai memancing. Semakin penasaran dengan jawaban Hani tadi. 

"Bisa sih, tapi cuma bentar. Paling telepon dikit, habis itu tidur. Capek katanya." Wajah Hani berubah murung setiap kali ada yang bertanya tentang suaminya. 

"Namanya juga kerja. Laki-laki memang begitu. Fokus. Asal jangan sibuk sama .... cewek lain aja." Sengaja dia mengatakan hal itu, untuk melihat reaksi wanita ini. Apakah santai atau malah terpancing emosi.

"Ah, enggak mungkin. Bapak ini bisa aja. Suami saya baik-baik. Dia setia," jawabnya tegas.

Reza tersenyum geli sambil menanda-tangani berkas-berkas yang menumpuk di meja, lalu berkata. "Namanya juga laki-laki. Ibarat kucing, biar udah dikasih makan kenyang di rumah. Kalau di jalan nemu ikan, ya makan lagi." Lelaki itu meneliti lembar demi lembar kertas, memastikan tidak ada yang kelewatan.

Sambil menunggu Reza selesai, Hani membuatkan kopi atas permintaannya. 

Reza sebenarnya diam-diam menyusun banyak rencana agar wanita itu bisa berada lama di dekatnya. Dia memerintahkan seseorang menyiapkan tempat untuk menyeduh kopi di dalam ruangan, lengkap dengan berbagai macam peralatannya. Sengaja, biar itu menjadi tugas tambahan buat Hani. 

Kapan lagi bisa berduaan, kalau bukan di kantor? Setiap hari, si cantik itu akan pulang tepat waktu begitu jam kerja selesai. Jangankan diajak keluar, ditawari makan siang pun menolak. Segala cara dia lakukan agar wanita itu selalu berada di dekatnya. Parah memang, tapi dia tidak peduli. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan wanita itu. Benar kata Kevin, dia memang sudah gila. 

Tergila-gila pada wanita ini, yang sayangnya sudah sah menjadi milik orang lain. Kalau saja tidak ada Agnes, mungkin dia akan menjadikan Hani sebagai sekretaris pribadinya. Tugas Hani mengurusi semua keperluannya, termasuk ....

Pikirannya melayang entah ke mana. Kenapa kalau di dekat Hani dia jadi aneh begini?

"Suami saya baik. Dia enggak pernah macem-macem." Nada suaranya meninggi, tak terima mendengarkan tuduhan seperti itu. 

Reza tertawa dalam hati. Akhirnya wanita itu termakan umpannya. "Emang yakin? Aku juga laki-laki." Reza menghentikan aktifitasnya. Matanya berkeliaran memperhatikan tubuh Hani dari belakang. Si mungil ini tampak seksi saat mengaduk kopi. Lekuknya terlihat jelas, tidak bisa ditutupi walaupun dia memakai pakaian longgar. 

"Bapak ngawur!" 

"Mbak, kan, enggak lihat. Jadi, mana tau." Reza tertawa geli dan menggelengkan kepala. Ketika Hani berbalik dan mengantarkan kopi, dia kembali memasang wajah serius, pura-pura menanda-tangani sisa berkas. 

"Itu, kan, Bapak. Bebas mau nge-date sama cewek mana aja." Agak kasar dia meletakkan kopi. Hatinya kesal sekali mendengar perkataan Reza. 

"Saya single. Bebas. Tapi yang nikah juga banyak begitu. Apalagi jauh dari istri. Kan enggak bisa ..."

"Bapak jangan ngomong asal." Rasanya Hani sudah ingin keluar dari ruangan itu, tapi berkas belum selesai dikerjakan. 

Reza malah dengan santai meminum kopi. "Kalau sendirian kurang seru. Enakan ada lawannya. Kalau yang jauh enggak ada, yang dekat juga bolehlah." Dia melipat tangan di dada, lalu menyodorkan berkas yang sudah selesai.

"Bapak yang suka begitu. Suami saya enggak!" Hani mengambil tumpukan kertas itu dan segera keluar tanpa berpamitan. Sungguh keterlaluan memang, tidak bisa menjaga perasaan orang lain.

Begitu pintu tertutup, tawa lelaki itu menggema. Ternyata gampang sekali mempengaruhi wanita itu. Dia hanya perlu sedikit mengucapkan kata yang membuatnya panas, maka Hani akan meresponsnya.

Reza kembali mengerjakan laporannya yang tertunda. Ada banyak email menumpuk yang belum dia buka. Ada masanya dia jenuh dengan semua rutinitas, sehingga perlu sedikit bersenang-senang di luar. Semenjak ada Hani, entah mengapa dia lebih suka berlama-lama di kantor. Menunggu wanita itu datang setiap harinya. Magnet wanita itu begitu kuat, mungkin karena cuma Hani yang acuh dengan pesonanya. Sementara yang lain sok sibuk mencari perhatian. 

Jika status wanita itu masih sendiri, Reza akan langsung mendekatinya. Hani, mengapa kita dipertemukan dalam kondisi seperti ini. Kenapa juga dia harus jatuh cinta dengan wanita yang sudah menjadi milik orang lain?

Reza meletakkan mouse. Tangannya meraih cangkir kopi, meneguk sisa isinya yang masih ada di gelas. Menikmati setiap kafein yang masuk ke dalam mulut. Kantuk yang dia rasakan perlahan menghilang. 

Matanya kembali menatap layar. Selesaikan sekarang, jika tidak dia harus siap lembur sampai malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status