Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.
Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ....
"Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.
Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berikan. Tapi kalau pada akhirnya membuat jarak di antara mereka seperti saat ini, Reza memilih untuk menarik kata-katanya.
Penyesalan selalu datang terlambat bukan? Dan perempuan akan mengingat apapun yang menyakiti hatinya, sekalipun itu kata-kata yang bagi lelaki hanya biasa saja.
"Enggak usah, makasih. Saya enggak enak sama yang lain," tolaknya halus.
Bahasanya sopan dan lembut, walaupun nada suaranya dingin. Hani masih menghormati Reza sebagai atasannya, sehingga dia memilih untuk tidak banyak bicara daripada terpancing emosi. Dia masih butuh pekerjaan ini, jangan sampai gara-gara kelakuannya, dia tidak lulus masa percobaan sekalipun penyebabnya adalah lelaki di depannya ini.
"Maksudnya?" Reza tidak mengerti apa yang Hani ucapkan.
"Kalau bapak makan siang sama saya, nanti karyawan lain curiga. Dikira kita ada apa-apa."
Reza menarik napas lega dan tersenyum kecil. Akhirnya Hani mau juga bicara. Wajahnya yang cemberut itu tetap saja terlihat cantik di matanya.
"Emangnya kita ada apa?" Dia mulai memancing. Entah mengapa, menggoda wanita ini menjadi suatu kesenangan baru baginya.
Saat ini Reza sedang memasang umpan, berharap ikan di depannya ini tertarik dan memakannya. Pada saat tersangkut kail, dia akan segera menangkap, dan ... melahapnya.
"Bukan begitu. Maksud saya, bapak selama ini enggak pernah jalan sama karyawan lain. Kalau tiba-tiba jalan sama saya, jadinya ...."
"Oh, gitu?!"
Merasa di atas angin, dia mulai melancarkan aksi. Reza menatap wanita itu tajam, sengaja untuk menakut-nakuti. Dengan kekuasaan yang dia miliki di kantor ini, dia berhak mengintimidasi siapapun termasuk Hani.
Terbayang wajah cantik wanita itu jika berada di dekapannya, membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Hani terkejut melihat ekspresi wajah Reza yang berubah galak. Selama ini tidak dia bersikap seperti itu. Kemarin mungkin atasannya itu hanya bercanda, dan dia menjadi salah paham karena perasaannya sedang tidak nyaman.
Dalam hati dia bertanya, apa salah jika dia menolak ajakan lelaki itu? Dia tidak mau menjadi bahan gosip karyawan lain di kantor. Dia juga tidak mau sesuatu terjadi diantara mereka. Ingat Hani, kamu sudah menikah! Kata-kata itu menggema terus di pikirannya. Muncul sebagai pengingat diri, jika dia mulai terpancing dengan bujukan Reza.
"Dokumennya, Pak. Tolong ditanda-tangani. Ditunggu Ibu Maya." Dia menunjuk setumpuk kertas di meja.
Kali ini tanpa melihat lagi, Reza langsung membubuhkan coretan tangannya di kertas-kertas itu. Selesai.
Saat Hani hendak mengambil semuanya, tiba-tiba tangannya digenggam erat. Dia berusaha melepaskan, tetapi sepertinya kali ini Reza sudah nekat. Penolakan demi penolakan dari wanita itu membuatnya semakin penasaran. Semakin Hani menjauh, dia semakin ingin mengejar dan ... menaklukan.
"Kenapa?" Dia berdiri dan berjalan mendekat dengan posisi masih mencekal tangan wanita itu, kuat. Sampai Hani meringis karena sakit yang dirasakan.
Tubuhnya semakin merapat, sehingga mereka hampir tak berjarak. "Kamu enggak suka kalau aku pegang tangannya?" Kali ini cekalan itu melunak, berganti dengan usapan lembut.
"Itu, tapi ..."Hani mencoba menjauh tapi percuma, lelaki ini sudah nekat sepertinya. Tangannya masih digenggam erat. Dia berontak, tapi malah tubuhnya ditarik paksa.
"Apa?!" Reza menatapnya tajam.
Wanita itu tertunduk, tak berani menatap wajah itu. Takut jika Reza melakukan sesuatu di luar kendali. Mereka hanya berdua saja di ruangan ini, dan Reza berkuasa sepenuhnya.
Tubuhnya gemetaran, dalam hati berdoa. Tuhan, tolong dia, selamatkan dia dari perbuatan jahat jika Reza memang berencana seperti itu.
"Sama yang lain kamu pegang tangan. Kenapa sama aku nggak mau?" Sekali lagi wanita ini bersikeras menolak, dia akan langsung merengkuhnya. Sudah terlalu lama dia bersabar, ini di luar kesabarannya.
"Sama yang lain cuma salaman, Pak! Bukan pegangan tangan begini!" Hani mencoba melawan dengan mengeraskan suaranya. Reza sudah tidak bisa didiamkan lagi. Ini sudah keterlaluan. Semakin hari makin menjadi saja.
Sesaat lelaki itu tertegun. “Galak juga si mungil ini,” pikirnya.
"Kamu ngelawan saya? Berani?" Dia balas membentak.
Hani tertunduk lagi. Takut. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini, bahkan oleh suami sendiri. Ardi suami penyayang, tidak pernah memperlakukan istrinya dengan kasar.
"Pak, lepas. Nanti diliat yang lain." Dia masih berusaha menolak.
"Enggak bakal ada yang masuk. Di sini nggak ada yang berani sama aku."
"Tangan saya sakit." Kali ini terdengar suara rintihan setengah memohon. Tangannya memerah karena genggaman yang sangat kuat.
Hampir kebas rasanya. Bisa dibayangkan tangan kecil itu ditarik paksa oleh tangan besar dengan kekuatan extra?
Berteriak pun percuma. Hani merapal doa dalam hati entah untuk yang ke sekian kali. Semoga Reza tidak berniat yang tidak baik padanya. Dia masih berpikiran positif terhadap lelaki yang dalam diam berencana buruk kepadanya.
"Kalau, aku lepas. Boleh enggak gantinya dipeluk saja?" Suaranya sedikit melunak, tak tega juga melihat wanita itu ketakutan.
Reza mulai melunjak, dikasih hati minta jantung namanya. Dia ingin merasakan wanita ini ada dalam pelukannya.
Refleks mata Hani melotot mendengar kata-kata itu. Reza malah balas menatapnya. Dia membuang muka, tahu kalau lelaki di hadapannya ini sedang berpikiran kotor.
"Bapak mau apa?" lirihnya.
"Tadi aku udah bilang. Mau diulang?" Dia memang akan memaksa kali ini, karena hanya itu yang bisa menuntaskan rasa penasarannya.
"Saya enggak tau." Hani berbohong. Dia takut. Sungguh takut pada lelaki ini. Sejak suaminya tidak ada, Reza semakin gencar mendekatinya, bahkan terang-terangan menginginkannya.
"Kalau aku kasih tau, emang kamu mau ngasih apa yang aku mau?"
Hani menggeleng lemah. Tubuhnya semakin gemetaran saat Reza semakin merapat.
"Aku mau kamu," bisiknya nakal.
Hani mematung. Bisikan Reza di telinga membuatnya lemas.
"Jangan, Pak. Saya istri orang."
Tuhan, sadarkanlah lelaki ini. Apa yang dia lakukan sangatlah tidak pantas.
"Aku enggak masalah dengan status kamu."
"Pak, saya punya suami."
"Suami kamu lagi pergi. Kamu enggak kesepian apa?" Reza terus saja melancarkan aksinya, belum mau menyerah sedikitpun.
"Maaf, saya bukan perempuan seperti itu. Saya ...."
Dalam sekali hentak, Reza menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. Sesuai prediksi, wanita itu meronta, tak terima diperlakukan seperti itu. Reza mendorong tubuh mungil itu ke dinding. Menyudutkan dan mengunci kedua lengan Hani. Dia mensejajarkan wajahnya hingga bisa bertatapan langsung.
"Cantik."
"Lepas!"
"Kenapa? Takut?"
Wanita itu mengangguk.
"Bapak sudah melecehkan saya."
Reza terbahak mendengarnya. Jujur sekali jawabannya. Dia sendiri masih tidak percaya kenapa bisa tertarik dan jatuh cinta.
Perlahan dia melepaskan cekalan dan membiarkan wanita itu pergi begitu saja tanpa membawa berkas yang tertinggal. Dia kembali ke meja kerjanya dan men-dial sebuah nomor, meminta agar semua dokumen segara diambil.
Hani berjalan menuju toilet terdekat. Dia perlu menenangkan diri sebelum kembali ke ruangan. Besok dia akan menghadap atasannya langsung untuk meminta pindah divisi. Dia tidak sanggup jika terus menerus diperlakukan seperti ini.
Status Reza sebagai salah satu penguasa di kantor itu, bukan berarti dia boleh memperlakukan karyawan seenaknya saja.
Hani bisa saja melaporkan jika Reza sampai berbuat lebih lancang. Hanya sangsi, apakah bisa diproses atau tidak, mengingat kekayaan milik keluarga itu bisa saja dipakai untuk menyuap keadilan.
Hani tertunduk lemas mendengar jawaban dari HRD. Setelah makan siang, dia nekat menghadap dan menyampaikan keinginannya untuk dipindahkan ke divisi lain. Itu juga setelah berbicara lama dengan Maya, atasannya langsung, menyampaikan beberapa argumen yang menguatkan alasan. Tentu saja dia merahasiakan perlakuan Reza selama ini. Malah nanti dia yang dituduh merayu lelaki itu.Dia kembali ke ruangan dengan tidak bersemangat, duduk di kursi dan mengerjakan laporan yang masih menumpuk."Hani." Dia menoleh dan seketika menjadi limbung saat melihat setumpuk berkas diletakkan begitu saja di meja kerjanya. Itu berarti dia harus kembali ke ruangan itu lagi. Sejak pagi dia bersyukur karena tidak ada yang menugaskan, tapi ternyata ...."Bisa yang lain enggak, Mbak? Saya masih ada kerjaan," tolaknya halus. Apa iya, hanya dia yang boleh menghadap lelaki itu, sedangkan yang lain tidak diperkenankan meng-handle jika dia berhalangan?Ini janggal sekali. Sedikit rasa curiga
The Holywings Foods and Bar.Suara live music terdengar menggema di tempat itu. Hampir semua kursi terisi penuh. Di sudut ruang, tampak dua orang lelaki yang sedang menikmati sajian mereka sambil bercerita.Lelaki yang berbaju putih terlihat santai sambil sesekali tertawa. Sementara yang satunya tidak bersemangat sama sekali. Padahal menu makan malam kali ini spesial, aneka menu rekomendasi restoran dan beberapa botol beer."Temen dapet musibah malah diketawain." Reza meneguk minuman beralkohol, lagi. Entah ini sudah gelas yang ke berapa, yang penting malam ini hatinya harus senang."Gila! Gue nggak bisa bayangin waktu dia nendang itu. Sakit mama." Kevin tertawa sambil memegang perutnya."Sekali lagi lo ketawa, gue timpuk pake' ni botol," ancam Reza. Rasa kesal di dalam hatinya belum juga hilang."Jangan, dong. Nanti sakit." gelak tawanya semakin menjadi."Shit!" Reza menuang segelas lagi.Se
"Mbak ngelamun aja. Mikirin apa hayo?" Agnes meletakkan nampan makan siangnya dan duduk di sebelah Hani."Eh, enggak." Hani menatap makan siangnya dengan tidak berselera. Sedari tadi dia hanya mengaduk nasi dan tak berniat memasukkannya ke mulut."Mas Ardi sibuk banget, ya? Sampai Mbak uring-uringan kayak gini." Agnes mengerling beberapa kali. Memberanikan diri untuk bertanya. Ada rasa kasihan melihat sahabatnya ini."Tau, nih. Masa' training sibuk banget. Susah dihubungi lagi." Akhirnya dia meletakkan alat makannya di piring."Positif thinking, Mbak. Kali emang tuntutan perusahaan kayak gitu.""Iya, Nes. Jujur aku sebel. Mas Ardi nggak biasanya begini." Dia mengambil selembar tissue dan membersihkan mulutnya, menghabiskan sisa minuman di gelas."Oh, iya. Waktu itu kenapa mbak lari-lari dari ruangan bapak? Sampai aku panggil enggak denger."Wajah Hani memucat. Mau dijawab apa ini?"Oh! Itu ... aku kebelet. Udah ngga
Reza membersihkan sisa bungkus makanan setelah Hani menghabiskan semuanya, lalu mengambil obat di nakas dan meminta wanita itu untuk meminumnya."Masih pusing?"Dia mengangguk."Tidur lagi sana. Istirahat." Dia hendak membantu wanita itu berdiri, tapi tangannya ditepiskan."Aku di sini saja, Za," tolaknya halus.Sudah tak ada batasan lagi di antara mereka karena sudah saling memanggil nama."Kamu tidur di kamar. Biar aku di sini."Hani menatapnya curiga, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan mesra. Reza mendekatinya sehingga kali ini mereka sudah tak berjarak. Tangannya meraih lembut, menyatukan jemari mereka."Aku sayang kamu." Entah dirasuki apa dia mengatakannya, membuat Hani terbelalak karena tak percaya.Wanita itu membuang muka. Jantungnya berdebar kencang, napasnya berasa sesak. Lelaki ini akhirnya mengungkapkan perasaan.Dia harus menjawab apa? Berulang kal
"Yang lagi seneng banget. Maen berapa kali, Men?"Kevin menyenggol lengan Reza, menggoda sahabatnya. Sejak tadi, senyum tak lekang dari bibirnya. Sahabatnya itu malah tertawa senang saat ditanya seperti itu."Mau tau aja." Reza berlagak. Sengaja membuat Kevin semakin penasaran.Sejak awal dia menceritakan semua tentang Hani, Kevin begitu tertarik dan minta dipertemukan langsung. Dia benar-benar penasaran dengan sosok wanita yang membuat hidup Reza, sang pangeran berdarah dingin itu, bisa kelimpungan karena cinta. Bahkan sampai tidak fokus bekerja karena selalu memikirkannya."Gimana rasanya sama Hani?" Kevin menaikkan alisnya.Reza menatapnya jijik. "Hm.""Apaan? Seru banget pastinya. Ya, kan?" Tawanya menggema."Sok tau." Reza memukul bahu sahabatnya. Wajahnya merona, terbayang saat indah itu ketika Hani sempurna menjadi miliknya."Pake' rahasia segala. Cerita, dong! Gue penasaran."
Jantungnya berdetak tak karuan, bahkan keringat dingin mengalir di sela-sela tangan. Berulang kali dia menarik napas sebelum akhirnya memberanikan diri mengucapkan ...."Boleh saya duduk, ada yang mau dibicarakan."Reza mempersilakan wanita itu duduk dengan tangannya. Matanya menatap tajam, mencoba menerka apa yang akan Hani bicarakan. Tubuhnya saja mungil, tapi kalau berbicara, dia sendiri kadang terpana. Dia smart dengan caranya sendiri."Begini.""Ya, sayang?" Suara dan tatapannya melembut.Reza masih berharap sang pujaan hati mau membicarakan tentang mereka berdua. Rasanya tidak enak didiamkan berhari-hari, hingga membuatnya resah dan tak bisa tidur. Apa yang diharapkan? Tentu saja bisa mengulang kebersamaan mereka waktu itu. Dia tidak mau ini berakhir begitu saja.Entah mengapa Hani menjadi geli saat mendengar Reza mengucapkan kata itu. Sayang? Jangan mimpi. Perasaan yang tadinya sudah cukup tenang, kembali menja
"Assalamualaikum."Hani segera berlari ke depan rumah. Siapa yang bertamu di jam segini, ya? Dia mengintip dari balik jendela sebelum membuka pintu. Lalu, senyuman merekah di bibirnya saat melihat siapa yang datang.Tampak sesosok lelaki yang satu bulan ini dia rindukan. Berdiri di depan dengan wajah yang kelelahan."Mas Ardi!" Dia berteriak kegirangan, lalu memeluk suaminya."Kangen, ya?" Pelukan erat itu berbalas."Kangen. Kok mas nggak bilang? Nggak ada kabar," rajuknya sambil memukul bahu hangat sang suami."Biar surprise. Abang mana?""Tidur. Dari tadi sore main. Kata budhe nggak mau tidur siang. Mungkin tau ayahnya mau pulang." Dia mengambil tas yang tergeletak di teras dan membawanya masuk ke dalam."Nih!" Ardi menyerahkan sebuah tas plastik."Apa ini, Mas?" Dia bertanya kebingungan."Buat kamu sama abang."Ardi merebahkan diri di sofa setelah menutup pintu. Rasanya
Hani melangkah pelan memasuki ruangannya. Rasanya malas sekali mau berangkat ke kantor hari ini. Dia masih ingin di rumah bersama keluarganya. Apalagi semenjak suaminya datang, dia ingin bermanja seharian.Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba saja ...."Surprise!" Suara tepuk tangan bergema di ruangan. Maya datang mendekatinya dan membawakan sebuah cake cokelat ukuran besar."Loh, ada apa ini? Saya lagi nggak ultah," tanya Hani kebingungan. Apalagi terlihat aura bahagia dari wajah para rekan kerjanya pagi ini.Seketika ruangan menjadi senyap saat Maya memberikan kode dengan jari telunjuknya. "Hani, kue ini ungkapan terima kasih kami sama kamu." Wanita menyerahkannya."Terima kasih apa ya, Bu? Saya nggak ngelakukan apa-apa." Dia mengambilnya, lalu meletakkan di meja, masih kebingungan dengan apa yang terjadi pagi ini."Terima kasih karena berkat kamu insentif kita semua naik sepuluh persen." Semua orang kembali bersorak.Hani men