Share

2. Ahem Akan Menjadi Ayah

     Tiffara harus menyembunyikan trauma karena perkosaan itu dari Bagas kakaknya. Dia tidak mau kemarahan Bagas tak terkendalikan, dan akan berbuat nekat. Dia tidak mau kakaknya tersangkut hukum dan membuatnya masuk bui. Dia juga tidak mau hidup sendiri di rumah sebesar itu. Hanya bersama dua orang pembantu tentu rasanya tetap berbeda. Hidupnya sudah kesepian bila Bagas sedang sibuk di kantornya. Akan lebih kesepian lagi bila membayangkan dia hidup di bui untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Tiffa tidak ingin itu semua terjadi. Satu-satunya teman hidupnya sejak kecil adalah kakaknya seorang, yaitu Bagas. 

    Berhari-hari Tiffa tidak berani keluar kamar, hatinya begitu hancur bila mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

    "Mbok Darsih, mana Tiffa? Dia tidak sekolah kok belum keluar kamar? Suruh dia keluar dan sarapan!" titah Bagas.

    "Iya Mas." Jawab Darsih.

     Bergegas Darsih menapaki tangga pergi ke lantai dua menuju kamar Tiffa.

   "Mbak Tiffa?" panggil Darsih sambil mengetuk pintu kamar Tiffa. "Ditunggu Mas Bagas di meja makan, Mbak Tiffa."

    "Iya Mbok." Jawabnya dari dalam kamar.

    Tak berapa lama kemudian Tiffara sudah keluar kamar dengan seragam sekolahnya. Dia menuruni tangga dengan murungnya. 

    "Sini sayang kita sarapan, kamu masih masuk sekolah, bukankah ujiannya sudah selesai?" tanya Bagas sambil menatap Intens wajah Tiffara.

    "Aku mau menemui guru BP masalah jalur kuliah mandiri, Mas. Aku jalur PMDK tidak masuk." Ujar Tiffara sedih.

    "Udah jalur apa saja tidak masalah, yang penting sesuai dengan keinginanmu. Jangan pikirkan masalah beaya, untuk kamu apapun mas lakukan." Ujar Bagas memberi semangat.

    "Percaya....kakakku adalah jiwaku!" sahut Tiffara sambil tersenyum bangga.

    "Aku lihat sejak beberapa hari ini kamu kelihatan murung dan lemas, apakah kamu sakit?" tanya Bagas menyelidik.

    "Tidak mas, aku lagi kurang tidur, tiap malam bermain hp sampai pagi." Jawabnya berbohong.

   "Selamat pagi.....!" teriak tamu yang tiba-tiba nyelonong masuk.

   "Diva sayang, pagi sekali? Sarapan belum? Ayo duduklah kita sarapan!" sambut Bagas.

    "Tiffa, sudah pengumuman ujian belum?" tanya Diva kepada Tiffa.

    "Belum Mbak, tanggal 15." Jawabnya datar.

    "Rencana melanjutkan kemana, Tiffa?" tanyanya kemudian.

    "Belum tahu mbak." Jawabnya tetap datar.

    "Gara-gara merebutkan wanita macam kamu, aku jadi korban pemerkosaan. Kalau memang dulu kamu pacaran sama Ahem, kenapa nikung ke kakakku? Dasar wanita tidak setia!" umpatnya dalam hati.

   "Sarapanlah sayang!" tawar Bagas kepada Diva.

   "Sarapannya apa nih, ada nasgor dan roti? Coba nasi goreng aja deh!" ujarnya sambil menyendoknya ke piring.

    "Mbok Darsih, ada ketimun tidak?" teriak Diva.

    "Ada Non!" Jawab Mbok Darsih berteriak dari dapur.

    Dret...

    Dret...

    Dret...

    Ponsel Diva di atas meja bergetar. Bagas dan Diva  bersamaan memandang layar ponsel yang tampak profil Ahem.

    "Ahem!" pekik Diva.

    Sontak membuat Tiffara terbelalak, bayangan kejadian sore itu terpampang jelas. Ada rasa jijik dan muak. Tangannya mengepal kuat dan rahangnya mengeras menahan dendam dan sakit.

    "Angkat saja!" perintah Bagas.

    "Ih males, si anak mama ...anak manja, ngapain sih?" gumam Diva pura-pura acuh.

     "Ayolah, kamu speaker, aku ingin tahu apa maunya?" pinta Bagas.

    Dan Diva menurut apa kata Bagas. Akhirnya telepon itu diangkat on speaker. Sehingga bukan saja Bagas, Tiffa pun bisa mendengarnya.

    "Halo sayang?" sapa Ahem saat telepon diangkat. "Aku jemput ya, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu!" lanjutnya.

   "Aku sudah berangkat, ini aku mampir ke rumah Mas Bagas. Mau bicara apa sih? Nanti kita kan ketemu di kampus, kita bisa bicara nanti!"  kata Diva memberi harapan.

    "Ya udah aku tunggu di kampus, cepet datang ya....aku merindukanmu!" bisiknya menggoda.

    "Gombal! Bukankah aku sekarang kekasih Bagas, kok kamu masih berani sih menggoda aku?" kata Diva menggoda Ahem, untuk memanasi Bagas yang ada di sampingnya agar cemburu.

    "Aku yakin suatu saat, pasti kamu akan bertekuk lutut memohon cintaku. Da....sayaang ku tunggu di kaampus!" Katanya menggoda dan menutup teleponnya.

    Tiffara semakin sakit hati melihat sandiwara yang ada di depan matanya. Karena dia lah satu-satunya gadis yang menderita sebagai korban pelampiasan pertarungan mereka berdua.

    "Jangan sampai kamu CLBK. Udah tidak usah digubris, bikin cemburu saja! Ngapain sih kamu masih ngasih hati ke dia? Awas kalau kalian bermain di belakang aku!" ancam Bagas.

    "Ih cemburu ya? Jangan khawatir sayang!" rayu Diva. "Mbok Darsih....lama sekali sih timunnya!" lanjutnya berteriak.

    Tiffara memandang tingkah Diva yang sok kuasa di rumahnya. Dia memandang dengan tajam dan dingin. Apalagi bila mengingat Ahem melakukan itu pada dirinya, karena sakit hatinya pada Diva dan Bagas.

    "Ini non timunnya! Sudah saya bersihkan sekalian." Kata Darsih tergopoh-gopoh.

    "Ya iyalah mbok dibersihkan sekalian, masak aku yang harus membersihkan sendiri. Lain kali kalau nasi goreng itu harus disiapin juga timunnya!" Usulnya agak ketus.

    "Aku dan Mas Bagas tidak suka mentimun Mbak. Mbok Darsih tahu itu..." Sahut Tiffa ketus dan memandang sinis Diva.

    Bagas terkejut melihat adiknya dengan sikap dingin dan juteknya. Padahal sebelumnya sikapnya ke Diva baik-baik saja.

    "Mas Bagas, aku berangkat duluan!" pamitnya beranjak pergi.

    "Tiffa, kamu tidak bareng Mas Bagas?" Teriaknya sambil memandang punggung Tiffa yang semakin menjauh dan hilang.

    ***

    Ini hari Ahem di wisuda, papa dan mamanya mendampinginya. Dia lulus dengan nilai tertinggi bahkan Cumlaude. Abidin dan Titin sangat bahagia dan bangga, bahkan dia sudah terdaftar di Universitas terkenal di London.

    "Kita harus merayakannya ma, aku akan undang sahabat ku dan teman-teman mu, Ahem!" titah Abidin.

    "Ya terserah papa deh, bagaimana menurutmu Ahem?" tanya Titin pasrah.

    "Iya ma, aku juga terserah papa deh." Jawab Ahem.

    Mereka berjalan beriringan masuk mobil. Ahem mulai melepas toganya dan masuk menyetir mobil. Sedang di sampingnya Abidin, ayahnya. Titin duduk di bangku belakang.

    Bila teringat tadi, Ahem sangat kesal dan sakit hati. Saat melihat Diva didampingi kedua orang tuanya dan Bagas juga mendampingi wisudanya. Ahem mengambil jurusan Fak. Ekonomi, sedang Diva jurusan Hukum. Ahem hanya bisa memandangnya dari jauh.

    "Kenapa hanya untuk mendekatinya saja aku tidak bisa, hari ini kamu tampak cantik." Pikirnya dalam hati.

     Dia terus melamun sambil menyetir, teringat juga bahwa dia harus segera pergi meninggalkan Indonesia. Kalau tidak, masalahnya dengan Tiffa akan terkuak.

    Seorang nenek sedang menyeberang jalan, pandangan sang nenek telah kabur, sehingga ada mobil melaju kencang dia tidak kelihatan. Tiffara yang menyadari nenek itu dalam bahaya, dia spontan berlari dan mendorong nenek itu sampai jatuh tersungkur di pinggir jalan raya, dan Tiffa...

     "Aaaaaagh!" Tiffa terserempet dan berguling diatas aspal.

    "Ahem, apa yang kamu lakukan, kamu melamun ya?" tanya Titin panik.

    "Astaga, aku menabrak orang ma?" pekiknya menyesal.

    "Ayo kita segera turun, kita tolong dia!" ajak Titin.

    "Yah bepergian sama mama, pasti bisa ditebak akan berakhir seperti ini. Coba kalau aku  sendirian, pasti udah kabur! Ngapain juga harus ditolong, salah dia sendiri dong!" lanjutnya menggerutu dalam hati.

    "Nenek, apakah nenek terluka?" tanya Titin, dan Ahem serta Abidin berdiri di belakangnya.

    "Saya tidak apa-apa Nyonya, gadis itu menolong saya, pasti dia yang terluka." Jawab nenek itu sambil menunjuk kerumunan orang.

   "Kok di kerumuni orang, jangan-jangan dia...."Kata Ahem penasaran.

    Ahem berlari menghampirinya, demikian juga dengan Titin dan Abidin. Perlahan Ahem menyentuh lengannya sambil memanggil,

   "Mbak...mbak, kamu baik-baik saja kan?" 

    "Titin segera menghampirinya dan meraih tubuh gadis itu dan menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Begitu rambut tersibak, wajah gadis yang tak asing lagi itu tampak jelas.

   "Tiffara?" pekik Titin berteriak. "Tiffa...bangun sayang!" lanjutnya membangunkan.

    "Waduh dia lagi, kenapa sih harus ketemu dia lagi. Mampus aku kalau Bagas sampai tahu, aku sudah memperkosanya, sekarang malah menabraknya. Mimpi apa aku semalam? Kenapa harus ketemu dia lagi sih?" gerutunya dalam hati.

    "Ahem, kok bengong sih, ayo angkat dia ke mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" perintah Titin ketus.

   "Iya ma." Jawabnya tegas.

   Ahem yang perkasa dengan mudahnya mengangkat tubuh mungil Tiffara. Titin berlarian membukakan pintu mobil di bangku belakang. Titin segera duduk dibangku belakang dan kepala Tiffara berada di pangkuannya.

    "Ayo segera masuk, cepat kita bawa dia rumah sakit!" pinta Titin.

    Ahem dan Abidin segera mengambil tempat duduk dan Abidin meminta dia yang menyetir, karena dia melihat  Ahem nampak tidak tenang.

    Mobil pun melaju menuju rumah sakit kota. Kini mobil itu sudah sampai di depan pintu masuk IGD.

     "Dokter...suster tolong!" teriak Ahem dari depan pintu masuk.

     Dua orang perawat datang membawa brankar dan menghampiri mobil Ahem. Perlahan Ahem mengangkat tubuh mungil itu memindahkan ke atas brankar. Kemudian membawanya ke ruang periksa dokter.

     "Semua tunggu diluar dulu ya Bu!" pinta perawat, kemudian menutup pintunya.

     Di dalam dokter sedang memeriksa dengan intensif. Tiga puluh menit kemudian dokter keluar.

    "Dokter bagaimana keadaan putri kami?" tanya Titin kepada dokter.

    "Mari kita masuk!" ajak dokter.

     Ahem dan kedua orangtuanya masuk mengikuti dokter. 

    "Bagaimana keadaannya dokter? Bagaimana dia masih belum juga sadar? Apakah lukanya parah?" tanya Ahem khawatir, dia membayangkan bagaimana mungkin Bagas bisa menerima semua ini?

    "Bun, ini putrinya mengalami benturan yang sangat kuat. Untungnya dia tidak sampai luka  berat di kepalanya.  Hanya luka-luka lecet di muka dan tangannya. Mungkin untuk beberapa saat dia belum sadar. Tapi semua baik-baik saja. Yang lebih penting lagi kandungannya aman." Dokter menjelaskan.

    "Apa?" pekik ketiga orang itu hampir bersamaan.

    "Jadi, putri kami sedang hamil dokter?" tanya Titin tak percaya.

    "Kalian semua belum tahu? Kehamilannya sudah masuk tujuh Minggu. Nanti selanjutnya dokter kandungan Prita yang akan memeriksa. Bayinya sehat, detak jantungnya sangat bagus. Kayaknya kembar deh Mas, tapi untuk memastikannya dengan dokter Prita saja ya?" titah dokter. 

    "Cucu kita Pa......cucu kita kembar pa...?" pekik Titin menangis bahagia.

    'Semoga dia dan bayinya baik-baik saja, ma!" Abidin menimpali dengan perasaannya yang tak kalah bahagianya dengan Titin.

    "Waduh gimana ini, berarti mau tidak mau aku harus menikahinya. Tapi dia adiknya Bagas. Pasti ini pukulan berat buat Bagas. Apakah aku senang dan  puas dengan berita ini, karena aku bisa menghancurkan Bagas? Apa yang dipikirkan dia nanti bila mengetahui adiknya hamil karena aku, dan bahkan sekarang keadaannya seperti ini karena aku tabrak." Pikir Ahem gundah dan gelisah. "Padahal kita sedang bersayembara untuk mendapatkan cintanya Diva." Lanjutnya.

Apa yang akan terjadi bila Bagas mengetahui semua ini? Akankah Ahem menikahi Tiffara?

     Bersambung.....

   

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status