Share

Pesona Duda Keren
Pesona Duda Keren
Penulis: Roesaline

1. Ahem Terjebak

        Perlahan Ahem membuka matanya karena mendengar seseorang sedang  menangis. Ahem segera beranjak bangun dari tidurnya. Dia melihat seorang gadis duduk di lantai dengan kedua kakinya ditekuk dan dipeluknya. Wajahnya disembunyikan dengan suara tangisnya yang tersedu-sedu. Seragam abu-abu putih berserakan di lantai di sekitar gadis itu duduk. Separuh selimut jatuh terjuntai membungkus tubuhnya.

    "Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di kamarku?" teriak Ahem bingung sambil mengingat-ingat sesuatu, tapi tetap saja tak dapat mengingatnya.

    "Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanya gadis itu sambil mengangkat wajahnya dan memandang tajam ke arah Ahem. Ada kebencian, muak dan jijik serta dendam saat menatap wajah Ahem. Tiffara Manahan amarahnya yang meluap-luap.

     Ahem terbelalak kaget melihat gadis itu ternyata Tifara, adiknya Bagas. Bagas adalah musuh bebuyutannya. Dia orang yang merenggut Diva dari pelukannya.

    "Bagaimana dia berada di kamarku?" tanyanya dalam hati sambil mengingat-ingatnya kembali.

    "Aku menyuruh Niko dan Rendi untuk menculik Tifara sepulang sekolah, dengan bantuan Putri. Tapi bagaimana aku malah jadi tidur dengannya?" batin Ahem.

    "Pasti Niko dan Rendi sedang mempermainkan dan merencanakan semua ini, mereka menjebakku," lanjutnya sambil mengingat lagi

     Sore itu, di rumah Ahem sedang nongkrong Ahem, Niko, Rendi, Putri dan Tiffara. Putri adalah adiknya Niko, dia ingin menjodohkan Tiffara dengan kakaknya. Maka begitu Niko ingin bertemu dengan Tiffara, Putri membantunya dengan senang hati. Tapi tidak tahu bagaimana ini semua terjadi. Bagaimana ceritanya Ahem dan Tiffara berakhir berdua di dalam kamar. 

    "Kamu adiknya Bagas kan? Aku ..aku tidak bermaksut...aku tidak...," jawabnya gugup dan tidak sampai hati menatap Tiffara.

    Akhirnya Ahem mencari ponselnya, pandangan matanya berkeliling mencari-cari sambil mengingat-ingat dimanakah dia menaruh ponselnya. Dia maraih jaket diatas sofa dan akhirnya menemukan di sakunya. Ahem menelepon Rendi dengan kesal dan emosi.

    "Kamu dimana?" sapanya saat telepon diangkat. "Apa yang kalian lakukan, sehingga aku tidak bisa mengingat apapun? Kenapa kamu membawa gadis ini ke kamarku, bego!" hardik Ahem kesal.

   "Tenang bro, aku tidak melakukan apapun padamu. Kita kan teman, aku tidak mau kamu mengejar-ngejar Diva, wanita yang gila harta dan tidak setia itu." Niko bergumam.

    "Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun, apa yang kamu lakukan padaku, Niko...Rendi!" teriaknya marah.

    "Mana aku tahu, kawan?" jawabnya.

    "Kamu memasukkan sesuatu dalam minumanku kan?" tanyanya emosi.

    "Ya tidaklah, memang kamu punya buktimya? Jangan asal menuduh dong kawan, kita bersahabat sudah lama. Kita selalu ingin yang terbaik buat kamu." Niko mulai meyakinkan, sekalipun sebenarnya dia sedang menyembunyikan kebenaran.

     Kebenarannya, dia dan Rendi menginginkan Ahem dan Tiffara bersatu sebagai seorang kekasih. Dibanding dengan Diva, dua sahabatnya itu lebih empati pada sosok Tiffara. Mereka lebih percaya kalau Ahem akan menjadi sosok dewasa dan lebih baik bila wanita yang selalu disisihnya adalah wanita yang baik pula.

    "Kalian berdua gila! Aku tidak menginginkan ini terjadi, bodoh! Ini keterlaluan! Aku masih kuliah, dia masih ingusan bro...masih SMA. Apa yang ada di otak kalian?" Ahem berteiak emosi.

    "Kok jadi marah-marah sih, apa salah kita? Kamu kan yang menyuruh aku membawa Tiffara ke situ?"  bantah Niko.

    "Iya, tapi...." Katanya menggantung dan akhirnya Ahem menutup teleponnya, setelah mendengar ada orang yang datang.

    "Ahem sayang...!" tiba-tiba wanita separuh baya itu masuk dan,

    "Aaaaaagh?" teriaknya histeris.

    "Mama?" pekik Ahem terperanjat.

    "Ada apa Ma?" Tanya seorang lelaki datang dengan gugup menghampirinya.

    Mereka adalah papa dan mamanya Ahem, yang baru saja pulang dari luar kota, dari acara undangan pernikahan. Tiba-tiba Tifara pingsan, karena shock.

    "Ahem bantu dia! Tidurkan di ranjang dan pakaikan bajunya! Oh seragam sekolah? Ya ampun...sebentar mama ambilkan baju mama. Ayo pa kita keluar dulu!" Ajak mamanya gugup, karena mendapati mereka tanpa busana. Hanya Ahem mengenakan boxernya. Papa dan mamanya gelisah menahan malu, sakit dan kesal.

    Sebentar kemudian mamanya kembali sambil membawakan baju buat Tiffarra.

    "Pakaikan!" perintahnya dengan marah dan kesal sambil melempar baju ke wajah Ahem.

   "Harus aku ma?" tanya Ahem ragu.

   "Terus siapa kalau bukan kamu? Mama? Kamu sudah berani melucuti bajunya, sekarang kamu tidak mau mengenakannya kembali? Manusia macam apa kamu? Apa mama mendidikmu seperti itu? Cepat!" desak mamanya membentak.

    "Sialan kalian Niko dan Rendi....awas kalian!" gerutunya dalam hati mengancam.

     Ahem membawa pakaian dari  mamanya dan menutup kembali pintu kamarnya. Perlahan dia menarik selimut yang membungkus tubuh Tifara yang tanpa sehelai benangpun. Dengan malu dan canggung dia mengenakan kembali satu persatu baju Tifara sambil menatap tajam tubuh mungil yang tergolek tak sadarkan diri.

    "Apa yang sedang ku lakukan padanya? Aku memang benci pada kakaknya, tapi tak adil bila aku melakukan ini pada adiknya." Gumamnya dalam hati.

     "Tiffa....Tiffa...!" Ahem berbisik sambil menepuk pipi Tiffara pelan, setelah selesai mengenakan baju di tubuhnya.

    Cklek.

    Suara pintu dibuka dan mama Ahem mulai masuk dan menghampiri Tiffara.

    "Bagaimana dia, belum sadar?"

    "Belum ma. Maafkan aku ma, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi?" ujar Ahem membela diri.

    "Kamu jadi lelaki brengsek sekali ya, mama sangat kecewa! Kamu mau cuci tangan setelah apa yang kamu lakukan, begitu?" hujat mamanya menohok.

    "Bukan begitu ma. Ini ulah teman-teman ku," bantah Ahem.

    "Kamu lihat, dia masih anak ABG. Dan lihat diri kamu, kamu sarjana.....dimana nalar kamu? Dimana hati nurani kamu?" hardik mamanya emosi.

    "Mama, sudah jangan emosi!" sahut Abidin papanya, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

    "Aku benar-benar malu pa, punya anak seceroboh ini, mempermainkan wanita. Apa kamu tidak sadar bahwa mama kamu juga seorang wanita?" tanya Titin sambil menangis tersedu.

    "Biarkan Ahem menjelaskan apa yang terjadi ma, kita dengarkan dulu!" usul Abidin.

    "Tidak pa, apapun alasannya, dia harus tetap bertanggung jawab!" desak Titin.

    "Gimana kalau gadis ini yang tidak bener, dia menjebak anak kita. Itu biasa terjadi ma, apalagi tahu kalau Ahem anak orang kaya. Gadis sekarang cerdik-cerdik dan banyak akalnya. Aku tidak setuju ma, kalau dia menikahi gadis ini. Apalagi anak kita belum wisuda. Aku ingin dia meneruskan S2 nya di London, pikirkan itu ma!" bantah Abidin menjelaskan.

    "Bagaimana kalau gadis ini hamil pa? Taruh dimana muka kita, pa?" pekik Titin.

    "Apakah dia hamil dengan anak kita? Bisa jadi dengan lelaki lain. Sudahlah ma, jangan gunakan naluri keibuanmu!" tolak Abidin tegas.

    "Ma, aku bersedia menikahinya kalau memang dia hamil. Kalau memang dia hamil, itu anak aku, Pa. Dia gadis baik-baik...dia masih suci, Pa. Maafkan aku pa...ma...!" kata Ahem menyesal dan malu, wajahnya menunduk sedih.

    "Kenapa dia belum juga sadar, Ahem? Apa perlu kita panggilkan dokter?" usul Abidin.

    "Iya Pa, tolong panggilkan dokter!" pinta Ahem gundah.

     Titin mengelus rambut Tiffara dengan sayang.

    "Kamu manis sekali nak, kamu cantik dan imut. Semoga hatimu secantik wajahmu!" ujar Titin sambil mengelus juga pipinya yang halus bagai pipi bayi.

    "Carikan minyak kayu putih di kotak obat, Ahem!" pinta Titin kepada Ahem.

     "Baik Ma."

     Sebentar kemudian Ahem datang dengan membawa minyak kayu putih.

    "Nih Ma," ujarnya sambil menyerahkan sebotol minyak kayu putih.

    "Siapa namanya, Ahem?"

    'Tiffara Ma," jawabnya pelan.

    "Nama yang cantik, secantik orangnya." Ucapnya sambil menciumkan aroma minyak kayu putih di hidungnya.

    "Tiffara.....bangun sayang!" Lanjutnya berbisik di telinganya.

    "Mama?" desah Tiffara lirih.

    "Kamu sudah siuman?" tanya Titin bahagia dengan senyum mengembang.

    "Ma, dokter sudah datang!" Kata Abidin yang datang dengan dokter disisihnya.

    "Oh dokter, tolong dia dokter!" pinta Titin. 

     Ahem dan Abidin segera keluar kamar saat dokter mulai memeriksa Tiffara.

    "Mana yang dirasakan sakit mbak?" tanya dokter ramah.

    "Saya tidak apa-apa dokter, cuma pusing dan lemas," katanya pelan.

    Dokter mulai memeriksa intens dari tensi darah, mata dan detak jantung.

    "Dia lagi shock, trauma....kayaknya sedang terjadi masalah. Ibu banyak menemani dia mengobrol dan menghibur dia ya?" kata dokter berbisik.

   "Baik dokter," jawab Titin.

   "Ini resep segera ditebus Bu, dan  diminumkan secepatnya biar dia tenang," saran dokter.

   "Baik dokter, terima kasih!" Ucap Titin.

   "Pa, dokter sudah selesai memeriksanya, tolong antar dokter ke depan!" Pinta Titin.

   "Iya Ma," jawab Abidin. "Mari dokter!" lanjutnya.

    Tiba-tiba ponsel Ahem berdering, dia segera mengambil tempat yang aman setelah tahu Bagas yang telepon.

     "Halo?" sapa Ahem.

     Entah kenapa tiba-tiba minder, ada rasa takut kalau Bagas mengamuk, bila tahu apa yang sudah dilakukannya kepada adiknya.

     "Kembalikan adikku! Kamu jangan jadi pengecut dengan menyekap adikku. Ini urusan kita berdua, jangan seret orang lain ke dalam masalah kita. Jantan men!" hardiknya emosi.

     "Kamu bisa kembalikan Diva kepadaku?" tantang Ahem.

    "Bisa, asal Diva sendiri yang menginginkan. Kita bersaing sportif," tantang Bagas.

    "Oke, kuterima tantanganmu!" jawab Ahem tegas.

    "Kembalikan adikku, ingat.....sedikit saja kamu menyentuh adik ku, kubuat kamu lumpuh dan hancur!" ancam Bagas serius dengan geramnya.

    "Iya, aku akan antar adikmu, jangan khawatir, dia akan baik-baik saja!" jawabnya kemudian menutup teleponnya. 

    Ahem termenung, dia membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Apalagi kalau Tiffara mengadukan semua ini pada kakaknya, maka urusannya akan semakin panjang. Bukan saja duel yang hebat, pasti urusan polisi juga.

     "Tapi setelah wisuda, papa akan mengirimku kuliah ke London. Itu artinya aku bisa menghindari masalah ini secepatnya. Dua bulan lagi, aku berarti harus berangkat ke London." Pikir Ahem sambil tersenyum licik.

    "Ahem...!" teriak mamanya.

    "Iya ma, saya datang!" jawabnya sambil menghampiri mamanya.

    Sesampai di kamar, Ahem menatap pilu wajah Tiffara. Mereka saling berpandangan dan tiba-tiba Tiffara menangis meronta.

    "Kalau kamu lagi bermasalah dan dendam sama kakakku, kenapa harus aku yang menanggung pelampiasan dendammu. Apa salahku padamu, aku sama sekali tidak mengenalmu!" protesnya disela-sela tangisnya.

    Titin dan Abidin saling berpandangan dan terperanjat kaget. Ternyata Ahem melakukan kesalahan besar bahkan tindakan kriminal. Mereka melakukannya bukan atas dasar suka sama suka seperti yang dipikirkan Titin dan Abidin, melainkan pemerkosaan.

     "Jadi Ahem...." Kata Titin menggantung.

    Titin tiba-tiba lemas dan terjatuh lunglai, tapi Abidin segera menangkapnya.

   "Mama?" pekik Abidin dan Ahem.

    Segera Abidin membopongnya dan  merebahkan di atas sofa di kamar Ahem.

    "Mama, maafkan Ahem ma!" kata Ahem sambil bersimpuh mencium tangan mamanya.

    "Tiffara, maukah kamu menikah dengan anakku? Itu bentuk tanggungjawab kami kepadamu." Tanya Titin.

    "Tante, saya masih sekolah Tante. Minggu depan saya masih Ujian Nasional. Saya juga masih ingin kuliah Tante, seperti keinginan papa sebelum meninggal." Ujarnya sedih.

    "Papamu sudah meninggal?" tanya Titin kepo.

    "Papa dan mama sudah meninggal, Tante.  Saya cuma hidup  berdua bersama kakak saya." Jawabnya sambil matanya yang bening mulai berkaca-kaca.

    Titin, Abidin dan Ahem mulai terbawa perasaan. Membayangkan betapa tidak beruntungnya gadis itu. Seorang gadis yatim piatu dan diperlakukan anaknya dengan tidak manusiawi. Titin mulai terguncang hatinya, membayangkan anak kesayangannya sekejam itu terhadap wanita.

     "Maafkan aku Tiffara, aku berjanji akan bertanggungjawab. Apapun yang kamu inginkan aku akan penuhi. Sekalipun aku harus menikahimu. Tapi untuk sementara kamu jangan bicara apa-apa dulu sama Bagas. Aku tidak ingin ribut dengannya. Aku akan selasaikan secepatnya urusan ini, terhadapmu juga Bagas!" titah Ahem seolah meredakan emosi Tiffara agar tidak mengadu kepada kakaknya.

    "Aku akan mengulur waktu sampai satu bulan, terus kabur deh keluar negeri." Pikirnya licik di dalam hatinya.

     "Tiffara, kalau saran Tante, nikah aja sama Ahem. Kamu bisa kok sambil kuliah nanti. Tante takutnya kamu hamil. Oh ya, kapan terakhir kamu menstruasi?" tanya Titin menjurus ke hal sensitif.

     Dan dengan menunduk malu Tiffara menjawab,

   "Seminggu yang lalu, Tante."

   "Tuh masa subur itu. Nggak apa-apa kamu hamil, tante juga sudah pingin punya cucu." Ujar Titin menghibur.

   "Mama!" pekik Ahem terkejut.

   "Mama yakin itu?" sahut Abidin ragu.

    "Iya Ahem...Papa, aku sudah pingin punya cucu, rumah kita akan semakin ramai bila ada suara bayi." Kata Titin pelan sambil tersenyum.

    Dalam hati Abidin masih belum bisa menerima Tiffara. Karena dia sudah menjodohkan Ahem dengan anak sahabatnya. Selain itu, dia juga ingin Ahem kuliah keluar negeri. Tapi dia tidak mau berdebat dengan istrinya didepan Ahem maupun Tiffara.

    "Ma, kakaknya sedang menunggu di rumah. Dia disuruh pulang sekarang, biar kuantar pulang ya ma!" tanya Ahem pelan.

    "Ya sudah, jangan buat kakak kamu khawatir, pulanglah! Kapan-kapan kamu main lagi kesini ya!" pinta Titin sambil membelai dan memeluk erat Tiffara.

     "Ahem, sekalian mampir ke apotek membelikan obat Tiffa, ini resep dokter!" Lanjutnya sambil menyerahkan selembar kertas resep obat.

     Tiffara terdiam, dia menikmati ketika Titin kembali  memeluknya dengan sayang dan tulus. Airmatanya meleleh di pipinya yang putih mulus.

    "Kenapa menangis sayang?" tanya Titin terkejut.

    "Saya merindukan pelukan mama, Tante! Mama meninggal saat saya masih kelas dua sekolah dasar, Tante." pekiknya menahan tangis.

    Kembali Titin memeluk Tiffara dengan sayang dan lebih erat. Dan tangannya membelai lembut rambutnya yang halus.

    "Ayo keburu malam, nanti yang ada Bagas marah dan ngamuk!" ajak Ahem datar.

Apakah Bagas tahu apa yang terjadi dengan adiknya? Apakah Ahem bisa kabur menghindar pergi keluar negeri?

     Bersambung.....

     

     

Komen (1)
goodnovel comment avatar
irbatkO
Namamya unik! Ahem! ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status