Ahem duduk termenung, didekat ranjang Tiffa terbaring. Dia memandang tajam gadis yang tergolek tak berdaya di depan matanya.
"Kamu cantik sekali, imut....tapi sama sekali kamu bukan tipe aku. Diva lah tipe aku, dia tinggi, sintal bak gitar Spanyol putih dan cantik. Tapi kakakmu merebutnya dariku. Aku sudah dua tahun berpacaran, tapi dia berani menggodanya." Pikirnya dalam hati.
Ahem sendirian, papa dan mamanya keluar untuk mencari makan malam, setelah sejak siang berada di rumah sakit. Dia juga berpamitan pulang untuk mandi dan mengambilkan baju buat Tiffara.
Titin berpesan untuk secepatnya mengabari kakaknya tentang keadaan Tiffara. Tapi dia ragu, membayangkan amukan Bagas apalagi situasi di rumah sakit membuatnya berulang-ulang berpikir.
Berkali-kali ponsel Tiffara berdering dari Bagas, pasti dia sangat mengkhawatirkannya.
"Bagaimana aku menceritakan keadaan ini pada Bagas? Bagaimana kalau dia gelap mata dan membunuhku?" pikirnya dalam hati.
Dret...
Dret...
Dret...
Kembali ponsel Tiffa berdering sampai 42 mixed call, dan chat yang banyak sekali, tapi Ahem tidak berani membukanya.
"Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus meneleponnya? Dia terus menelepon Tiffara, pasti dia benar-benar khawatir." Pikirnya lagi.
Ini untuk ke 45 kalinya panggilan dari Bagas yang tidak dijawab. Akhirnya terpaksa Ahem memutuskan mengangkatnya.
"Halo Bagas?" sapa Ahem setelah mengangkat teleponnya.
"Kenapa kamu yang mengangkat? Dimana adikku Tiffa? Katakan kalian dimana? Awas, ini bukan tak tik kamu untuk memenangkan sayembara itu kan?" tanya Bagas penasaran dan bernada emosi.
"Santai kawan, ini tidak ada hubungannya dengan sayembara itu. Adikmu lagi di rumah sakit kota." Jawabnya sedih.
"Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan terhadap adikku? Awas kalau ada apa-apa dengan adikku, kupenggal kepalamu, ingat itu!" ancamnya meluap-luap.
"Datanglah, dia menunggumu!" ujarnya sambil menutup teleponnya.
"Halo...halo...dimatikan, berani sekali dia!" ujarnya sambil membanting ponselnya di sofa. "Sedari tadi aku menghubungimu, tau-tau di rumah sakit, ada apa denganmu, Tiffa?" gumamnya sendiri.
Bagas segera menhambil jaketnya di lemari dan bergegas pergi ke rumah sakit kota. Selama perjalanan hati dan pikirannya fokus kepada adiknya seorang. Penasaran apa yang sedang dialami adiknya sehingga dia harus masuk rumah sakit.
Bagas berlari kecil menelusuri lorong koridor mencari ruang IGD, karena dia salah masuk, harusnya masuk pintu depan sehingga dengan mudah dia menemukan. Tapi yang dilakukan dia malah lewat pintu belakang sehingga dia harus berputar jauh.
Ahem masih tertegun memandangi wajah tak berdosa Tiffara. Seorang gadis lugu yang terjebak dan hamil karena kecerobohan orang-orang iseng yang tak bertanggungjawab.
"Tiffa....!" jerit Bagas yang tiba-tiba masuk dan menghampiri tubuh Tiffara. Segera dia meraih tubuh adiknya dan menangis pilu. Dipeluknya dengan erat tubuh mungil yang tak berdaya itu. "Ada apa denganmu, sayang? Kamu kenapa....apa yang terjadi?" pekiknya menahan tangis.
Ahem masih mengenakan setelan jas biru tua dengan dasi lorek bercorak warna yang serasi. Baju yang dikenakan saat wisuda siang tadi. Perlahan Bagas mulai mendekati Ahem dan Ahem mulai beranjak berdiri.
"Kamu apakan adikku? Kenapa dia?" teriaknya emosi.
"Aku tidak sengaja menabraknya, tapi aku tidak bersalah, tiba-tiba dia muncul di depanku karena menolong seorang nenek!" ungkapnya gugup menjelaskan.
"Brengsek!" dua bogem tangannya mendarat bergantian di wajah Ahem.
"Auh!" pekik Ahem.
"Bajingan kamu, urusanmu sama aku bukan dia. Kalau kamu benci padaku, ajak aku berduel, aku ladeni bukannya kamu lampiaskan pada gadis yang tak berdosa seperti dia. Kamu benci padaku oke aku tau, tapi apa salah adikku disini?" teriaknya sambil mencengkeram kerah baju Ahem setengah di tekan sehingga Ahem sulit bernafas.
"Aku tidak pernah bermaksut menyakitinya. Aku ...aku..." Katanya terbata-bata.
"Biadab!" teriaknya kembali bogem itu mendarat di wajah Ahem.
Tak terasa darah mengucur di bibirnya yang pecah terkena bogem Bagas. Ahem hanya pasrah dengan apapun yang dilakukan kepadanya.
"Lampiaskan seluruh amarahmu kepadaku, aku tidak akan membalasnya. Sebegitu marahnya kamu, apalagi kalau kamu tahu Tiffa hamil, apakah kamu akan membunuhku?" batin Ahem.
Kali ini Bagas mulai membenturkan tubuh Ahem ke dinding. Lehernya dicengkeram dan dipepet ke dinding sehingga Ahem kesulitan bernafas.
"Lakukan apa ingin kamu lakukan kepadaku, Bagas! Sekarang Tiffa sedang mengandung anakku. Aku akan menikahinya." pengakuannya dengan pasrah menahan takut dan gugup.
"Apa? Katakan! Ulangi kamu bicara apa? Katakan!" bentak Bagas sambil bogem bertubi-tubi mendarat bagai samsak.
Kini lutut mulai menendang perut Ahem bertubi-tubi. Sehingga suara batuk-batuk Ahem hendak muntah-muntah membangunkan Tiffara.
"Mas Bagas!" panggil lirih Tiffara.
"Ahem!" pekik Titin yang muncul dan melihat Ahem dalam cengkeraman Bagas.
"Lepaskan dia Mas, dia bisa mati!" hardik Titin.
Bagas segera melepas cengkeramannya bukan karena perintah Titin, tapi karena adiknya sadar dan memanggilnya.
Muka babak belur, bibirnya pecah penuh darah mengucur sampai menetes ke kemeja putih Ahem. Mukanya lebam di sana-sini penuh kebiruan. Abidin menyerahkan sapu tangan kepada anak semata wayangnya, untuk membersihkan darah di bibirnya. Sambil mengangguk pelan Abidin menekan pundak Ahem, seolah memberikan kekuatan.
"Sayang!" gumamnya sambil memeluk erat dan mencium kening adiknya dengan sayang. Tangannya mengelus rambut seolah ingin mengambil rasa sakit yang diderita adiknya.
"Maafkan Mas Bagas yang tidak bisa menjagamu sayang, maafkan Mas Bagas!" sesal Bagas sambil menangis.
"Mas Bagas dan Tiffa sayang, saya mewakili keluarga terutama Ahem, minta maaf atas apa yang terjadi. Saya sekeluarga akan bertanggungjawab." Ujar Titin.
"Saya akan menikahi Tiffara, saya akan bertanggujawab, bagaimana pun.... dia mengandung anak saya." sela Ahem.
"Anak? Apa maksutnya Mas Bagas? Aku tidak mengerti, apakah itu artinya aku...." Tanyanya menggantung.
"Iya sayang kamu akan menjadi seorang ibu." Sela Titin pelan berhati-hati.
"Tidak Mas Bagas.... tidak! Aku tidak mau punya anak. Aku tidak mau menikah....aku ingin kuliah Mas Bagas!" pekiknya menangis pilu.
"Kamu lihat penderitaan adikku, apakah dengan bertanggngjawab menikahinya semua masalah beres? Kamu menghancurkan masa depan adikku, tau? Apa yang ada di otak kamu Ahem....kamu benci padaku oke..lampiaskan padaku! Bukan kepadanya yang tidak tahu apa-apa!" Hardiknya sambil menunjuk ke arah adiknya yang ketakutan.
"Aku tidak mau menikah...aku tidak mau punya anak, Mas Bagas!" pekiknya masih menangis.
Bagas kembali memeluk adiknya, baginya dia bukan saja adiknya tapi merupakan putri kecilnya yang manis.
"Mas Bagas, bisa kita bicara berdua sebentar?" pinta Titin kepada Bagas.
Bagas memandang adiknya dengan intens, kemudian menatap Titin dan mengangguk pelan tanda setuju.
Akhirnya Titin berjalan keluar kamar diikuti Bagas dan Abidin. Ahem duduk dekat Tiffara, pandangannya intens membuat Tiffara salah tingkah.
"Kenapa kamu tidak mau menikah denganku, Tiffa? Bagaimana cara saya bertanggung jawab terhadap kamu dan bayiku? Apakah kamu tidak kasihan terhadap bayi kita yang tidak bersalah? Apa kamu akan membunuhnya? Atau kamu biarkan dia hidup tanpa status yang jelas? Bagaimana kalau orang menyebutnya anak di luar nikah ...anak haram, apa kamu tidak kasihan? Oh ya, ini foto USG anak kita. Anak kita kembar .... aku sangat terharu tadi saat mendengar detak jantung mereka. Ada kehidupan di dalam perut kamu dan itu anak-anak ku." Ungkap Ahem penuh perasaan dan penuh harap.
Tiffara terdiam memandangi foto bayi-bayinya. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyeruak di hatinya. Naluri keibuannya mulai muncul, tiba-tiba senyum mengembang sambil memandang foto itu.
"Kamu akan menjadi ibu, dan aku menjadi ayah, Tiffa. Biarkan dia lahir ke dunia ini melihat papa dan mamanya. Atau kalau kita tidak bisa bersama selamanya, setidaknya sampai anak kita lahir, Tiffa. Nanti akan ku ceraikan kamu setelah bayi kita lahir, dan kamu bisa kuliah lagi!" Usul Ahem. "Aku juga belum siap menjadi seorang ayah, aku ingin pergi jauh dan menghilang dari hidupnya. Tapi saat aku mendengar detak jantung mereka, hatiku jadi hancur....hatiku sakit...aku benci pada diriku sendiri yang sempat berpikir seperti itu? Apa salah mereka, mereka butuh dekapan papanya....mamanya...bagaimana mungkin justru aku meninggalkannya?" pekiknya menangis tersedu.
"Iya aku mau menikah, demi bayi kembarku.' Gumam Tiffara pelan.
"Terima kasih Tiffara." Sahut Ahem dengan puasnya.
Bersamaan itu Bagas dan kedua orang tua Ahem masuk kembali ke ruang Tiffara di rawat. Mereka nampak berwajah lega, seolah kesepakatan menghasilkan titik temu. Demikian juga dengan Ahem dan Tiffa sudah mulai menata hatinya.
"Mas Bagas, ini foto anak-anak ku mas. Dia kembar, Mas Bagas." Kata Tiffara bahagia tersenyum.
"Ini video saat di USG, aku merekam layar monetornya." Kata Ahem sambil menyerahkan ponselnya kepada Bagas.
Bagas dan Tiffara mentelengi video di ponsel itu sambil tersenyum. Dia mendengar dokter mengatakan bayinya sehat dan detak jantungnya bagus.
"Dia anakmu Tiffa...keponakanku?" Gumamnya bahagia sambil memeluk lengan Tiffa.
"Bagas, Tiffa sudah siap menjadi istriku. Aku berjanji tidak akan menyakitinya!" janji Ahem.
"Kupegang janjimu! Sampai kamu buat adikku menangis, aku tidak akan mengampunimu, tau!" ancam Bagas.
"Sayang, mana yang masih sakit?" tanya Titin yang tulus sayang sama Tiffara.
"Cuma masih sedikit pusing, Tante. Sama luka-luka memar masih terasa perih." Jawabnya.
"Iya, besuk juga udah baikan. Ini mama bawakan pakaian untuk kamu."
"Terima kasih Tante." Sahut Tiffara.
"Ahem kita pulang dulu, biar Tiffara sama kakak nya. Besuk pagi kamu bisa kesini lagi gantiin Nak Bagas. Sekalian kamu harus obati lukamu itu dan mandi." Usul Titin.
"Pulanglah, istirahat....kamu pasti sejak dari kampus tadi belum makan, belum mandi." Sahut Bagas menimpali.
"Baik aku pulang dulu.... Tiffa, Bagas....!" pamit Ahem.
"Kami tinggal dulu nak, Assalamualaikum....." Sahut Titin dan Abidin berpamitan dan salam.
Apakah rencana pernikahannya lancar? Apakah benar Bagas dan Ahem bisa berdamai?
Bersambung......
Entah apa yang sedang Ahem pikirkan, yang jelas keadaan membuatnya harus menikahi Tiffara. Sekalipun hatinya tak pernah bisa berpaling dari Diva. Selain itu dia sedang memikirkan bayi kembar yang sedang dalam kandungan Tiffara. Dia tidak ingin bayinya lahir tanpa status yang jelas. Berbeda dengan Abidin yang menginginkan Ahem menikah dengan Dania, anak dari Handoko sahabat bisnisnya. Seolah rencana itu tak akan pernah padam sebelum kesampaian. Dania anak tunggal dan perusahaan papanya hampir menyebar ke seluruh Indonesia. Ujung-ujungnya tetap karena harta dan tahta membuat Abidin kekeh dengan perjodohannya. Bagas sebagai kakak sekaligus orangtua buat Tiffara selalu menginginkan yang terbaik. Ternyata Tiffara sendiri berubah pikiran, dia bersedia menikah dan menunda kuliahnya demi kelahiran sang buah hatinya. Sebenarnya Bagas ragu dengan keputusan Tiffara, tapi apa boleh buat dia sendiri berubah
Ahem dengan gugup dan malu menanggalkan gaun penganten dengan hati-hati. Takut kalau-kalau tiba-tiba Tiffara tersadar dan berontak, maka dia akan mendapat malu. Setelah gaun itu berhasil dilepasnya, kini dia mendapati baju korset yang sangat banyak dan berbaris kancingnya. Dia semakin gugup, bagaimana dia harus dengan hati-hati dan membutuhkan waktu yang lama untuk membukanya. "Apaan ini? Bagaimana aku terjebak dengan keadaan seperti ini? Mama, aku benci situasi ini!" pekiknya dalam hati. Ahem terpaksa dengan telaten membuka satu persatu kancing korsetnya. "Ini harus dilepas dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas ya? Kalau dari atas nanti bukit kembarnya nampak duluan." Pikirnya sambil cengar-cengir sendirian. "Atau dari bawah aja duluan ya. Duh rumit juga sih baju wanita, kenapa aku harus malu, dia kan udah halal." Pikirnya dalam hati. "Ah tidak meskipun dia istriku aku tidak mu
Ahem masih menunggu jawaban dari Tiffara, dia memandang penuh selidik. Karena Tiffara masih diam, Ahem merasa kalau dia keberatan kalau Ahem mengantar Diva pulang. Membayangkan wanita sedang mabuk di Club malam sendirian khawatir juga. Takut lelaki iseng akan mejebaknya dan memperkosanya. Akhirnya dengan berat hati Ahem menutup pintu kamar begitu mereka berdua sudah masuk. "Pergilah, kasihan Mbak Diva dalam bahaya, malam-malam seperti ini berada di luar sendirian!" Tiffara memberi izin. "Kamu yakin?" tanya Ahem ragu. "Cepat antar dia pulang! Aku menunggumu disini!" ujarnya pelan dan berat. Ternyata rasa kemanusiaannya mengalahkan egonya. Itu semua karena kebaikan hati nurani Tiffara. "Aku berjanji secepatnya kembali!" janji Ahem. Akhirnya Ahem ganti baju, mengambil jaket dan pergi keluar.
Ahem mencoba meyakinkan pada Tiffara lewat balik pintu kamarnya. Hati yang luas bak samudra itu pun begitu mudah memaafkannya. Dia membukakan pintu kamarnya. Ahem melirik jam di atas meja yang menunjukkan hampir pukul 04.00. Dia tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Ahem sadar, Tiffara pasti sedang menunggunya, hingga dia belum tidur. Ahem merasa kesal pada hati dan pikirannya yang tidak pernah mau sejalan. Bila dia berada di dekat Tiffara, yang ada hanya rasa kasihan dan rasa berdosa. Berbeda bila dekat dengan Diva, yang ada rasa cinta dan nafsu yang selalu bergelora. Tapi kekuatan pikirannya selalu bisa mengendalikan dirinya. Seperti dalam moto hidupnya, "Sebelum malam pertama aku tak akan melepas perjakaku dan tak akan mengambil keperwananmu." Meskipun motto itu akhirnya telah dihancurkan pada sore terkutuk itu. Cinta dan nafsu yang bergelora selalu runtuh hanya de
Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri. "Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir. "Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem. Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi. "Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
Ahem memandang dalam wajah Tiffara yang ketakutan dengan air matanya yang bergulir di pipinya yang putih. Ahem jadi merasa bersalah seolah menorehkan rasa trauma yang dalam pada gadis itu. "Apa yang aku lakukan pada malam itu sehingga dia sedemikian terlukanya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri. "Tiffa tatap mataku!" bisik Ahem. Mata itu terpejam kuat, dengan keringat dingin dan gemetar. Ahem menatap dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Bagaimana cara aku menyembuhkan lukamu, Tiffa?" "Please Tiffa, tatap mataku ... aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa kamu yang menginginkannya," lanjutnya. Tiffa perlahan membuka matanya, dia memandang Ahem merasa bersalah. Tiffa ingin membuat Ahem bahagia tapi kenapa dia tidak bisa melayani Ahem sebagai suaminya? "M