-------- SOHO
"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo.
"Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.
Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.
Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan aman dan nyaman ketika berada di dalamnya.
"Kamu boleh masuk, tata pakaian saya di lemari dengan rapih. Pahami isi lemari, sorry jika tampak berantakan." Lagi-lagi sebuah pesan melalui memo dan kini tertempel tepat di depan pintu kamar.
Memasuki kamar pemilik hunian Raya mengedarkan pandangan, ruang tidur nyaman dan simpel, namun tampak sangat berantakan.
Handuk bekas pakai tergeletak begitu saja di atas lantai, seprai tak lagi menempati permukaan seharusnya, beberapa pakaian terlihat tercecer di luar lemari, bantal terlepas dari sarungnya dan belasan pakaian berserakan hampir di tiap jengkal ruangan.
Jendela besar terbuka lebar, membuat gorden yang menutupinya melambai-lambai akibat hembusan angin dari arah balkon.
'Hemh, maklum hidup sendiri. Wajar aja berantakan!' batin Raya.
"Jangan pernah memasuki ruangan ini." Lagi-lagi sebuah memo hinggap di depan pintu.
'Oke, fine. Orang kaya emang selalu punya tempat rahasia'
Jam sudah menunjukan pukul dua belas siang, seluruh pekerjaan telah selesai Raya kerjakan. 'Beres! Bikin memo juga, ah!'
Di sore harinya, masih di SOHO yang sama.
CEKLEK
"Nyaman, oke juga!" Sambil menyentuh meja dengan jemari dan menikmati tiap perubahan dalam hunian barunya.
"Tuan, saya tiba jam 9 dan saya pulang jam 12 siang. Apa itu terlalu cepat? Apakah tuan suka dengan hasil kerja saya? Jika ada keluhan tolong sampaikan, demi perbaikan saya dan kenyamanan tuan seterusnya. Terima kasih."
"Tulisan yang bagus, dan pekerjaan yang cukup baik," ucap Rizal dengan memo di tangannya.
"Saya cukup puas dengan hasil kerjamu, sejauh ini belum ada keluhan."
Hari berganti begitu saja, komunikasi intens keduanya berlalu hanya melalui sebuah memo yang saling membalas.
"Bisakah kamu memasakan saya sesuatu untuk saya makan setiba di rumah? dan saya hanya perlu menghangatkannya."
"Saya tidak terlalu bisa memasak. Hari ini saya hanya memasak, makanan sederhana semoga tuan cocok dan bisa menikmati masakan saya. Jika tuan ingin dimasakan sesuai menu yang tuan inginkan, tuan bisa memintanya pada saya. Emmm ... dan saya tidak tau tuan pulang jam berapa, bisakah tuan memberitahu jam berapa tuan tiba? Tidak ada maksud apapun, sekedar mencocokan menu, khawatir menu yang saya masak menjadi basi dan tak layak dikonsumsi."
"Di hari senin sampai jumat, mungkin saya pulang jam delapan malam. Di hari sabtu, minggu terkadang saya tidak pulang. Saya akan mengabarimu di kedua hari itu, apakah saya pulang atau tidak."
"Baik tuan."
"Pasti malem mingguan sama calon bojo, ya tuan!" Gumam Raya ketika membaca memo balasan dari tuanya.
"Kau bisa gunakan dapur, jika ingin masak sesuatu. Makanlah apa yang ada di dalam kulkas, tak perlu takut! gajimu akan aman tak ada potongan."
"Baik banget, sih!"
"Maaf tuan, emm ... saya memindahkan beberapa barang di tempat berbeda, tidak di tempat semula. Karena menurut saya penempatannya kurang strategis. Seperti chargher, saya pindahkan di laci meja kerja dan di laci nakas tidak lagi di ruang televisi. Beberapa alat dapur, saya masukan dalam lemari kichenset. Handuk, saya letakan di dalam kamar mandi tidak lagi menggantung di depan pintu lemari."
"Selama itu baik untuk rumah saya, tak masalah."
"Siap!" balas Raya melalui memonya.
"Raya, bisakah tiga hari sekali kamu ke laundy bawah? Ambilkan pakaian dalam saya yang selalu mereka cuci."
"Tuan, pakaian dalam anda selalu di laundy? Pantas saja setiap kali saya mencuci, tidak ada pakaian dalam di sana. Eemm ... jika anda tidak keberatan biar saya saja yang mencucinya, terlalu sedikit cucian dan setrikaan yang saya kerjakan."
"Oke, lakukanlah."
"Kasihan, itung-itung doi udah baik banget sama aku," ucap Raya memberi penjelasan pada dirinya sendiri.
"Saya meninggalkan uang di laci meja kerja, gunakanlah untuk membeli beberapa kebutuhan. Isi penuh kulkas saya, perlengkapan pribadi saya, pupuk untuk tanaman, pengharum ruangan, dan apapun yang menurutmu kebutuhan untuk SOHO saya."
Sebulan bekerja komunikasi Raya dan tuannya masih sama, tak pernah bertatap muka hanya melalui goresan memo, mereka saling melengkapi komunikasi.
"Tuan gaji saya sudah masuk, tuan tidak salah menggaji saya dengan nominal sebanyak itu? Sepertinya anda salah mentranfer uang pada saya."
"10 juta, itu nominal yang saya berikan untuk hasil kerjamu selama sebulan ini."
"Oh my God! kalo gini aku bisa melepas satu kerjaanku kemudian daftar kuliah tahun depan. Terima kasih tuaann ..." Bahagia, sudah lama Raya tidak merasakan apa yang saat ini ia rasakan, hingga ia hampir lupa bagaimana cara dan rasanya bahagia.
"Tuan terima kasih banyak, semoga anda panjang umur, rezekinya selalu berlimpah dan cepat mendapatkan jodoh."
Kali ini tak ada balasan dari si tuan. "Tumben tidak ada memo."
Beberapa hari berlalu dan sama sekali tidak ada memo tertempel di papan tulis kecil, Raya merasa sikap tuannya berubah, namun ia tak enak hati bila harus bertanya.
"Tuan uang belanja yang tuan berikan terlalu banyak, sisanya saya letakan di tempat semula. Saya juga sudah menservice seluruh AC, membeli beberapa alat tulis, obat darurat dan saya menambah dua tempat sampah. Tuan, maaf jika saya lancang, hari ini saya menyingkirkan beberapa minuman kaleng hampir kadaluarsa. Jika tuan keberatan, saya akan kembalikan minuman itu ke tempat semula."
"Good job! Raya, buang saja minuman itu, saya tidak suka."
"Baik, tuan."
'Akhirnya dibalas juga. Huft. Aku kira, aku ada salah apa'
"Raya, bisakah mulai besok kamu menyiapkan tiap pakaian yang kubutuhkan? Pakaian casual yang cocok untukku, menurutmu. Terkadang aku terlalu terburu-buru untuk mengambilnya di lemari dan asal memakai pakaian."
"Aku?" ucap Raya, sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah wajah, "ia merubah panggilannya?"
"Eem ... yang mana yaa ...." Berbicara sendiri, mulai memilah-milih pakaian apa yang cocok untuk tuannya. "Dia mah udah ganteng, pake apapun cocok aja. Emmm ... ini aja deh!"
Raya membayangkan tuannya menggunakan pakaian yang ia siapkan. Sebuah jas berwarna navy senada dengan celana, dipadukan kaos putih bersih sebagai baju bagian dalamnya. Tak lupa sebuah sapu tangan, ikat pinggang, sepatu pantofel dan jam tangan, Raya pun menyiapkan.
"Baik, tuan. Jam dan sapu tangan saya letakan di atas nakas, semoga cocok dengan selera berpakaian tuan."
"Aku suka!" balas Rizal di hari berikutnya dengan senang hati.
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang
Setelah larut malam dan keadaan rumah sakit telah aman, Raya memutuskan untuk pulang. "Onty, aku suka dengan om tadi siang. Andai dia adalah dadyku, aku pasti akan senang sekali." Dengan rasa lelah mendera, Raya menghentikan langkah sejenak, kemudian mensejajarkan tubuh menatap fayed sangat lekat, "Fayed sudah punya onty, jadi tak perlu lagi ada dady," tegas Raya. "Onty jangan marah, maafkan aku. Aku tidak akan pernah lagi mengatakan hal itu, aku tidak mau lagi punya dady." Tampak kornea mata anak itu berkaca-kaca. 'Apa yang mereka lakukan? Apa ia masih bekerja di kafe? Apa gaji yang kuberi masih tetap kurang?' Hasil berkelana Rizal tak tentu arah, berujung perjumpaan kembali dengan gadis yang sempat mengusik hati dan pikirannya akhir-akhir ini. TIN TIN Suara klakson dan sorotan lampu mobil mengalihkan pandangan Raya dan ponakannya. "RAYA, masuklah!" teriak Rizal sambil menurunkan kaca mobil. Melihat Rizal dengan mobilnya, Fayed langsu
"Halo pah, sepertinya aku akan menginap di rumah Rizal. Maagnya kambuh, aku harus menjaganya." Rizal reflek terduduk, kerutkan dahi, "Rosa, berikan ponselmu." Tanpa bantahan, wanita itu langsung menyerahkan ponselnya. "Halo pah, aku baik-baik saja hanya butuh istirahat sebentar." "Rosa cukup lihai mengurusmu, nikahi dia agar kau ada yang menjaga," balas pria yang disapa papah. "Pah ... pernikahan butuh cinta dan setia, tidak ada hubungannya dengan urus-mengurus ataupun jaga-menjaga." "Selalu ada alasan, apa kurangnya Rosa, hem? Adakah sikap Rosa yang harus diperbaiki? Adakah yang bisa menjagamu sebaik dan sepeduli Rosa kepadamu?" timpal suara di sebrang sana, lembut.Mencerna ucapan sang papah angkat, mata elang sang duda reflek menatap Raya, 'Ada pah, gadis itu yang telah menjagaku dengan baik.' Hanya mampu berucap dalam hati karena tak ingin menyakiti pria tua yang telah banyak membantunya. Mendapat tatapan dari tuannya, Raya langsung