"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan."
"Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik."
"Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri.
"Kamu menceraikanku?"
"Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini.
Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.
"Kau tidak menyesal menceraikanku?"
Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainnya, menceraikannya adalah sebuah keterpaksaan. Dan ia tau persis bahwa aku sangat terluka karna ulahnya.
"Baiklah kita bercerai saja. Andai kau bisa kaya atau lebih logis dalam berpikir, mungkin aku akan selalu disampingmu," ucapnya sambil menandatangani surat perceraian kami.
"Kau yang tak logis dan tak bisa sabar!"
"Oh ya, kita sudah lama menikah, aku mau pembagian harta gono-gini. Jadi aku berharap kamu tidak membawa apapun dari rumah ini. Biar seluruh barang di sini kuuangkan, aku jadikan harta gono-gini hasil pernikahan kita."
"Ch, harta gono-gini. Bergaya bagai orang kaya, seolah memiliki banyak harta bersama."
"Terserah."
"Oh ya, satu lagi. Komputer-komputermu, tidak perlu kamu bawa. Jika diuangkan pasti harganya lumayan."
Lagi-lagi aku tak faham dengan jalan pikirannya, sejahat itukah dia? Apa hanya uang yang ada dalam pikirannya? Apa hanya uang yang mampu merubahnya?
"Inikah sifat aslimu?"
"Apakah kamu aslinya seperti ini? Ternyata selama ini, aku menikahi seekor rubah," ucapku sinis.
"Kau saja yang terlalu menutup mata, kau terlalu terpesona dengan kecantikanku."
"Sombong!"
Satu-persatu pakaianku aku masukan ke dalam ransel dan Ardila masih mengamati tiap gerak-gerikku, entah setelah ini aku akan ke mana dan entah kedepannya aku akan seperti apa.
Saat ini aku hanya fokus, secepat mungkin keluar dari kontrakan ini. Ingin cepat melupakannya dan tak pernah lagi bertemu dengannya.
Tas ransel sudah di punggung, sejenak kusinggahi ruang kerjaku dan ia masih saja mengikuti langkahku dari belakang. Kuambil sebuah hardisk di atas meja. Aku tak akan bisa meninggalkan benda ini, karna jutaan hasil pemikiranku ada di dalamnya.
"Aku berbaik hati padamu, bawalah benda kotak itu. Semoga benda itu mampu mengobati sakit hatimu."
Kuacuhkan ucapnya seolah aku tak mendengar. Menatap kembali tiap sudut rumah berharap ia menahan kepergianku, namun lagi-lagi aku lupa bahwa hal itu tak akan pernah terjadi.
Kakiku mulai melangkah menuju teras rumah, terasa berat namun harus kulakukan.
"Kamu langsung ke pengadilan, kan?" dia bertanya dengan santai sambil menyandarkan tubuh di kusen pintu.
"Tenang saja, aku ingin cepat-cepat jadi duda," kubalas pertanyaannya dengan jawaban lebih santai. Terlihat di wajahnya rasa kecewa namun kualihkan dan kutepis, aku yakin itu hanya perasaanku saja.
Aku melangkah kearah motor maticku, sambil mencari kunci motor di saku celana.
"Oh ya, aku juga berharap motor itu tak perlu kau bawa. Anggap juga sebagai kompensasi perceraian kita."
Kutelan saliva kuat-kuat, sama sekali ia tak punya perasaan dan tak punya hati nurani. Ia benar-benar mempu membuatku sangat membencinya. Ia benar-benar mampu memiskinkanku.
"Bu, pak, maafkan Rizal yang tak hiraukan ucapan kalian. Maafkan Rizal telah menjual rumah, ibu dan bapak. Rizal menyesal. Yang ibu bilang benar, Ardila tidak baik untuk Rizal."
"Ambillah. Harusnya, semua yang berkaitan denganmu tak perlu kubawa." Sambil melempar kunci motor dan dengan cepat ia menangkapnya.
Langkah kakiku pasti dan tak akan mungkin kembali lagi. Hidupku hancur, bahkan seluruh kontrak kerjaku gagal, karena selama tiga hari ini aku sama sekali tak keluar dari rumah. Salahku sendiri terlalu larut dalam kesedihan dan keterpurukan, hingga tak mampu memisahkan pekerjaan dan masalah pribadi. Untung saja mereka masih berbaik hati, aku tak dituntut, didenda ataupun diblacklist dari seluruh perusahaan IT di negeri ini. Jika itu sampai terjadi, entah dengan apa aku membayar dan harus ke mana aku mencari pekerjaan.
"AAAAAAAAAA ... siaall ..." wanita itu berteriak.
Dan aku tau persis apa penyebab ia berteriak seperti itu setelah menerima panggilan teleponnya. Ya, lagi-lagi itu karena ulahku san lagi-lagi aku tak ingin menderita sendiri.
Perpisahan paling sakit adalah di mana hanya aku yang merasa kehilangan. Dan sampai pada akhirnya nanti, aku harus mengerti bahwa melepasmu adalah cara unik dari tuhan untuk menjadikanku pemenang.
Kulangkahkan kaki menuju tempat yang selama ini kutakuti. Ya, pengadilan negeri. Langkahku saat ini menuju ketempat itu, tempat sakral bagi mereka yang saling mencintai, tempat sakral bagi pasangan yang berkomitmen dan menjunjung tinggi keharmonisan.
Berkas sudah kumasukan dan dalam beberapa hari kedepan aku harus kembali ke tempat ini, proses yang cukup melelahkan. Tak lama lagi predikatku berubah, bukan lagi pria beristri, namun seorang duda muda, miskin, sama sekali tak punya apa-apa.
Aku melangkah menuruni anak tangga, entah harus ke mana lagi kaki ini melangkah, lelah dan terpuruk itulah kondisiku saat ini. Tak ingin menyusahkan dan tak ingin menjadi beban orang lain, hanya itu yang ada dalam benakku.
Sambil memikirkan tempat untukku berteduh, tampak seorang gadis yang kukenal berjalan kearahku sedikit berlari dengan uraian air mata, kesedihan dan kegelisahan jelas sekali terlihat di wajahnya.
"HA ... ii." Ingin sekali aku menyapanya namun kuurungkan, karena baru tersadar jika ia sama sekali tak mengenalku.
"Apa dia akan bercerai? Ternyata bukan hanya aku yang bersedih, gadis itu pun mengalami hal yang sama."
"Semoga kamu bahagia."
------- Empat tahun kemudian, lobby apartemen.
Mercedes benz berjenis AMG G 63, berhenti tepat di muka pintu lobby utama. Tampak pria tampan berpenampilan casual keluar dari kendaraannya, ditemani kacamata hitam bertengger di hidung. Tampak berkelas, terlihat mewah.Memasuki pintu utama sebuah hunian mewah, disambut ramah mereka yang telah menyapa dan langsung bertanya, perihal tujuannya.
"Selamat siang, tuan ad_
"Siang, saya ingin kebagian pemasaran."
"Silakan tuan."
Si pria tampan langsung mengikuti. Kedua lengan ia masukan kedalam saku celana, berjalan dengan penuh wibawa tanpa rasa sombong dan jumawa, sungguh menambah ketampanan dan karismanya.
"Raya,"
"E. Iya, ka!" ucap seorang gadis cantik langsung mengalihkan pandangan dari lembaran kertas di mejanya.
"Layani tuan ini dengan baik."
"Siap, ka!"
Pria yang dipanggil kakak itu pun pergi begitu saja, setelah mengalihkan tugasnya pada sang junior.
"Gadis ini?"
"Selamat datang tuan, silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu, tuan?"
HENING
"Tuan, maaf. Ada yang bisa saya bantu?" ucap gadis itu untuk kedua kali, sambil pelan melambaikan tangan.
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang