Panggilku begitu keras dan nyaris membuat orang sekitar ketakutan, namun orang yang kupanggil, sama sekali tak mendengar. Aku tak mungkin salah, aku sangat tau dan sangat mengenali istriku, bahkan pakaian yang ia kenakan sama persis dengan apa yang ia pakai tadi pagi.
Berniat mengejar, namun logikaku menolak. Meski lalu lintas padat merayap, kemungkinan kecil bisa mengejarnya dengan keadaan ban motorku yang bermasalah.
Hatiku tak tenang, otakku panas, tanganku terkepal sempurna berharap pria berengsek itu ada di hadapanku. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan babak belur bahkan mungkin kehilangan nyawa hasil sadis kedua tanganku.
Kakiku masih mundar-mandir di area bengkel kecil, berusaha tenang namun fisik dan pikiran tak bisa kusingkronkan.
Motor maticku selesai ditangani, setelah memberikan upah pada tukang tambal ban, aku langsung tancap gas menuju rumah. Fokusku hanya satu, mengetahui siapa sebenarnya wanita yang selama ini bersamaku. sambil memikirkan segala sesuatu yang akan kulakukan, aku pun menghubungi beberapa tempat yang seharusnya kudatangi, hari ini.
Tiba di rumah aku membuka jaket dan langsung menuju ruang kecil pribadiku, ruang berukuran 2 X 3 dengan tiga layar komputer dan kabel dimana-mana. Ruangan yang mampu membuatku berlama-lama di dalamnya, tempat yang paling kusuka selain tempat tidurku bersama Ardila.
Dengan cepat dan rasa penasaran, jari-jari ini memulai aksinya. Hening, hanya terdengar suara-suara keyboard yang tertimpa jemariku.
Hanya menggunakan link phishing*, mSpy* dan wayback machine*, dengan sangat mudah aku mengetahui siapa istriku sesungguhnya. Kuusap kuat wajahku penuh kesedihan, "Oh, tuhan ... apa dosaku, hingga Kau hukum aku seperti ini ...."
Aku amati dengan teliti tiap detail aktifitasnya, tempat, waktu, kejadian, kemudian kucocokan dengan perjalanan rumah tangga kami selama ini. Dia bukan Ardila istriku yang dulu, dia bukan lagi wanita yang kucintai dan ia sudah bukan milikku lagi.
Aku sedih, hatiku sakit, sakit yang teramat sakit hingga sesak di dada, bahkan menelan saliva pun terasa amat sulit. Dia benar-benar menghianatiku! Jutaan foto-fotonya, ribuan video, bahkan ratusan chat yang ia hapus, aku mampu membacanya satu-persatu. Tak banyak chatku di telepon genggamnya, justru pria bernama Bram 'lah yang menghiasi seluruh chat dan media sosialnya yang terkunci. Dan aku mampu membukanya, dengan sangat mudah.
Kucari tau lebih detail hubungan mereka, kutelusuri satu-persatu akun pertemanan mereka. Logikaku menolaknya, pikiranku menepis kenyataan, namun bukti-bukti itu sangat kuat. Itu suara istriku, itu wajah istriku dan itu semua hasil ketikan jemarinya. Komputerku tak mungkin membohongiku, layar di hadapanku tak mungkin berhianat.
Aku meretas seluruh aktifitasnya. CCTV di tempatnya bekerja, CCTV di sebuah apartemen mewah, hingga data-data perusahaan dan siapa saja temannya, aku selidiki satu persatu.
Aku mencari kebenaran seluruh hubungan kami dari awal menikah, hingga kini. Aku mencari penyebab sikapnya berubah, aku mencari kebohongan apa saja yang aku terima. Dan lagi-lagi betapa sakit perasaanku ini, hingga aku berpikir seharusnya aku tak perlu tau ini semua!
Amarahku memuncak, penghianatan yang ia berikan membuatku tak mampu memaafkannya. Hingga dendam dan rasa kecewaku berpadu dan jemariku menginginkan sebuah kehancuran.
"SIAL! Akan kuhancurkan kalian!"
Lagi-lagi, air mata kekecewaan menetes begitu saja. Jemariku masih bermain indah di permukaan keyboard, namun tetesan air mata tak mampu kubendung dengan sempurna. Mungkin di mata kalian aku pria bodoh dan lemah, terserah apa penilaian kalian terhadapku. Namun satu hal yang perlu kalian tau, aku sangat bisa dan sangat mampu untuk menghancurkan mereka. Bahkan bagiku itu sangatlah mudah!
"Nikmatilah kehancuran kalian."
Kusebar seluruh aib mereka di dunia maya. Entah perusahaan tempat mereka bekerja, di lingkungan petemanan atau pun lingkungan rumah yang mereka tempati. Dan satu lagi, kukirimkan pula video dan foto-foto mereka pada istri si pria brengsek.
Entah apa yang terjadi pada rumah tangga pria itu, namun yang ada dalam pikiranku saat ini, aku tak mau terpuruk dan hancur sendirian. Harus ada orang lain yang merasakan apa yang kurasakan, saat ini.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu, dan selama tiga hari itu aku hanya berada di ruang kecilku. Sama sekali tak beranjak dari depan layar, hanya sesekali meneguk minuman dan pergi ke kamar mandi, ketika aku sudah tak mampu menahannya.
Selama tiga hari itu pula Ardila tak juga pulang ke rumah, beralasan meeting diperpanjang waktunya. Namun sayang aku tahu persis apa yang sedang ia lakukan di sana, bahkan saat ini aku pun tahu dia di mana, dengan siapa, dan sedang berbuat apa.
Meredam cacian orang, membantah seluruh bukti yang ada. Dan bodohnya, pasangan sialan itu, saling menyalahkan dengan kekacawan yang sengaja aku lakukan.
Dengan kebulatan tekad dan kekuatan hatiku, aku menunggunya di rumah. Menurut penyadapan yang kulakukan ia akan pulang malam ini.
Aku mengedarkan pandangan, kulkas dua pintu itu, dapur, meja makan itu, kamar mandi dan kamar kami. Rumah yang selama ini menjadi saksi pertengkaran kami, rumah yang selama ini menjadi tempat kami berteduh, rumah yang selama ini menutupi keburukannya ketika di luar sana. "Aku harus melepasnya, aku harus meninggalkannya. Aku tak mau selalu tersakiti, dan kini dia bukan lagi bagian dari kebahagiaanku."
CKLEK
"Kamu menungguku? Jangan dulu ajak aku berbicara, aku lelah. Di kantor terlalu banyak masalah," ucapnya dan langsung menuju kamar.
Aku masih menunggunya di ruang tamu, berharap dia tidak langsung tidur dan menemuiku atau memintaku tidur bersamanya untuk yang terakhir kali.
Namun harapanku sia-sia, hingga dua jam aku menunggu dan ternyata ia sudah tertidur pulas di atas kasur kami. Kasur yang selalu ia hina butut dan ranjang yang bubruk. Dan aku lupa, aku masih terlalu berharap dia adalah Ardila yang dulu, Ardila yang mencintaiku. Bodoh! Cukup sudah! aku berjanji, hari ini adalah terakhir kali aku berharap padanya.
Aku putuskan, untuk tidur di sofa. Kemarin-kemarin hanya tidur di ranjang yang sama mampu membuatku bahagia, namun kini rasa geli dan jijik justru menghinggapi perasaanku terhadapnya.
Hari masih gelap, entah mimpi atau nyata. Lampu kamar yang telah menyala menandakan ia telah bangun dari tidurnya membuat secercah harapanku hadir kembali. Masih saja sedikit berharap, ia membangunkanku dan menyuruhku untuk pindah ke ranjang kami. Namun harapanku lagi-lagi salah, Ia hanya melangkah kearah kulkas dua pintunya, mengambil air mineral dan menuangnya ke dalam gelas.
"Oh, kamu tidur di sini? Besok dan seterusnya tidur saja di sini, biar aku tidak kesempitan," ucapnya sambil sesekali meneguk minuman.
"Ini siapa?" tanyaku sambil menunjukan video dirinya dengan pria bernama Bram itu.
"Kurang ngajar! Kamu juga mendapatkannya?" ucapnya kesal, namun sepersekian detik nada bicanya berubah.
"HA ... HA, HA, HA, HA ... Kenapa? Apa kau kecewa? Apa kau cemburu? Dia begitu baik padaku, apa yang kuinginkan dia selalu berikan. Tak harus menunggu ada uang atau menunggu gajian bulan depan."
"DIA SIAPA?" teriakku, dan itu cukup membuatnya kaget. Karena baru kali ini dia melihat ketegasanku dan mendengar ucapan keras dari lisanku.
"Dia mantanku di SMA dan dia manager di kantor. Kenapa?"
"Oh, baiklah. Berapa lama kau menjalin hubungan dengannya? Aku hanya ingin tau."
"Eem ... berapa ya. Em ... sepertinya sejak acara reuni SMA-ku. Sepertinya kami CLBK, kenapa? Apa lagi yang ingin kau tau, aku akan menjelaskannya dengan senang hati," jawabnya santai tak merasa bersalah.
"Apa kau ingin hidup bersamanya?"
"Kalau iya kenapa, dan kalau tidak kenapa?"
"JAWAB PERTANYAANKU!" bentakku untuk yang kedua kalinya.
"Aku tidak tau. Aku hanya senang bila bersamanya."
"DAN KAU TIDAK SENANG, JIKA BERSAMAKU?"
Tak ada jawaban.
"Oke, siang ini aku ke pengadilan. Kau bebas! Lakukan apapun yang kau inginkan!"
Mendengar apa yang kukatakan, ia sedikit membulatkan mata. Dari ekspresi wajahnya tampak jelas ia kaget dengan apa yang baru saja kukatakan. Jangankan dia, akupun terkaget dengan diriku yang bisa melepasnya.
Yang kutau, aku sangat mencintainya, yang kutau aku budak cintanya, yang kutau aku begitu memujanya dan yang kutau aku sangat bangga bisa memilikinya.
Entah karena kesabaranku sudah habis atau rasa cintaku sudah memudar, yang jelas saat ini aku ingin sekali melepasnya, meninggalkannya dan memilih jalan masing-masing. Tak lagi ada masa depanku bersamanya.
* Link Phishing : Link yang digunakan untuk mencuri password
* mSpy : Perangkat lunak untuk melacak semua obrolan di w******p* Wayback Machine : Mengambil data yang pernah dihapus"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan." "Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik." "Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri. "Kamu menceraikanku?" "Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini. Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu. "Kau tidak menyesal menceraikanku?" Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainny
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za