Share

Pesona Duda Manja
Pesona Duda Manja
Penulis: Nona_happy

Jam 9

Kutatap jam dinding di atas televisi, jarum pendek itu mengarah ke angka sembilan, "Ardila, kamu mau kemana? Ini sudah malam," ucapku padanya yang kini sudah berdandan cantik menuju pintu keluar rumah.

"Aku bosan sendiri terus di rumah."

"Aku kerja, aku lagi berusaha untuk membahagiakanmu."

"Kebahagiaan apa? Kalau pulang gak pernah bawa apa-apa, boro-boro makanan, barang yang aku suka aja kamu gak tau!"

"Emang kamu mau apa? Nanti ketika sudah ada uang, pasti akan kubelikan." 

"Alah, kalaupun aku kasih tau sudah pasti kamu gak akan bisa belikan!"

"Katakan padaku, barang apa yang kau mau? Jika harganya mahal, aku kumpulkan uangnya dulu," jawabku penuh keyakinan.

"Oke, aku mau berlian. Berlian asli ya, bukan imitasi." Sinis dan meremehkan tampak di wajah cantiknya.

"Berlian, ya? Berapa harga berlian? Aku belum pernah beli berlian. Sekalinya membeli perhiasan, hanya mas kawin kita. Itu pun bukan berlian."

"Terus gimana? Gak bisa beli, kan? Ya sudah aku pergi, Anggi sudah nunggu aku. Uang, aku minta uang," ucap istriku ditemani jemarinya yang menadah.

Akupun memberikan uang seratus ribu satu-satunya yang ada di saku, hasil ojek online hari ini. Dengan ibu jari dan telunjuk ia mengapit selembar uang pemberianku, seolah jijik.

"Kamu tidak makan dulu? Aku sudah belikan pecel lele kesukaanmu dan sepertinya nasi sudah matang, temani aku makan, yuk!" Ajakku mencoba meraih bahunya namun nihil, ia menolak sentuhanku.

Aroma parfum wanita menyengat kuat hingga mampu menaikan birahi kejantananku. Aku menginginkannya, aku ingin hakku, namun aku bisa menebak apa yang akan terjadi, penolakan ditemani kalimat kasarnya akan menghiasi telingaku nanti. Bisa saja aku memaksa kasar demi hasratku tersalurkan, namun cinta tulusku tak punya nyali untuk menyakitinya. Aku hanya mampu memejamkan mata menikmati aroma parfumnya saat ini.

"Lele terus, keseringan makan gorengan bisa-bisa kulitku rusak. Kamu makan sendiri ajalah, manja! Aku udah kesorean. Ingat pintu jangan dikunci!"

"Keseringan pergi malam juga bisa merusak kulit," balasku pelan dan langsung membiarkannya pergi begitu saja.

Begitulah rumah tangga yang selalu kami lalui, tak ada harmonis kata ketika saling berbicara. Selalu ada perdebatan kecil, beda cara berpikir dan saling menuntut hak masing-masing.

Ternyata, berpacaran selama dua tahun tak membuat kami saling mengenal seutuhnya, hingga pernikahan kami berjalan tiga tahun, justru perbedaan itu semakin terlihat jelas.

Dulu ketika masa kuliah, hubungan kami begitu harmonis, selalu dibanggakan, dielu-elukan, seolah kami adalah pasangan sangat sempurna tanpa cela.

Bayangkan saja, aku laki-laki tampan dan Ardila istriku itu, primadona seangkatanku. Kami mahasiswa berprestasi dengan IPK di atas 3,5 dan selalu menjadi kandidat di setiap pemilihan ketua organisasi mahasiswa. Bagaimana seluruh penghuni kampus tak merasa iri! bahkan mereka berkata 'rumah tangga kami akan sukses bahagia, anak-anak kami akan cantik rupawan dan dilimpahi banyak materi, karena kecerdasan kami.'

Namun nyatanya, terlalu bangga dan merasa jaya itu sungguh tak baik. Kita harus merendah bukan berarti merendahkan diri, namun merendah karena masih ada si hebat di atas yang terhebat. Kesombongan justru membuatku terjatuh, arogansi justru membuatku lupa jati diri.

Teman dekatku bilang, faktor usia mudalah yang membuat hubungan kami tak harmonis. Tetapi entahlah, yang kutau, saat itu logika dan hati kami sudah sangat siap untuk selalu bersama, menjalani biduk rumah tangga.

"Huft, makan sendiri lagi!"

Aku terduduk sambil menengadah di kursi meja makan. Kuteguk segelas air dan pikiranku melayang ke hari dimana sahabatku Alex dan Miranda melangsungkan pernaikahan; hari dimana harga diriku sebagai suami terkoyak habis-habisan.

"Ingat! jangan pernah biarkan aku sendirian, kamu harus selalu ada di dekatku!" Hal yang selalu Ardila ucap ketika kami akan bertemu orang banyak.

"Hem."

"Kamu gak punya sepatu yang lebih bagusan? Kamu gak malu pake sepatu kaya gitu?"

Kuarahkan pandangan pada sepatuku, 'uang sepatunya, dipakai untuk beli make upmu. Kamu lupa?' hanya mampu kuungkap dalam hati, karena jika terdengar olehnya aku yakin supir grab ini akan menurunkan kami di jalan.

"Keren-keren! ck-ck-ck Alex ... selamat ... luar biasa ... akhirnya loe dapetin juga ..." Aku langsung memeluk Alex bangga dan bahagia.

"Balikan lagi loe? Kata anak-anak loe mau cerai?" bisiknya di telinga kiriku.

"Ngaco! Primadona mana bisa gue lepas!" Julukan itulah yang selalu kami sematkan pengganti namanya.

"Bucin akut ... makan, sana! Kondangan pinter loe ya, datang selalu duluan!" ucap sahabatku sambil melepas pelukan.

'Ardila yang mau,' batinku.

"Bodo amat! Gue ngamplop ya, jangan lupa!"

"Iya ... udah sana!"

Kami mulai menikmati acara, satu persatu wajah-wajah yang kami kenal tiba dan sebagian datang menyapa.

"Kamu cerita apa sama anak-anak?"

"Maksudnya?" Aneh dengan pertanyaannya.

"Iya, kamu ngomongin apa aja ke mereka tentang aku? Gak mungkin 'kan sikap mereka berubah kalau kamu gak ngejelekin aku!" 

"Oh, kalau begitu kamu baru kenal aku. Selama ini kamu ngapain aja? Masa, sifat suami sendiri gak tau?"

"Ooo, jadi benar! Kamu bilang apa aja? Bilang, kalo kamu gak bahagia? Bilang kalo hubungan kita sebenarnya gak harmonis? Bilang kalo aku gak ngurusin kamu? Bilang kalo aku ngabisin uang kamu terus? Bilang juga, kalo aku suka mabuk-mabukan dan suka pulang malam?"

"Heh! Gak nyangka, gue nikah sama laki-laki ember!" kata-kata sinis dan ejekan yang selalu ia ungkapkan dan kini sudah menjadi langganan bagiku.

"Kita pulang saja, yu. Kondangannya 'kan sudah." Kuraih jemarinya yang masih menikmati cake-cake lezat dan cantik.

"Hai Zal, datang duluan? Mana yang lain?" sapa salah satu teman kuliahku. Upz ralat, aku tidak lulus kuliah, istrikulah yang mampu menyelesaikam S1nya.

"Eh. Iya, met! Anak-anak pada mencar."

"Met, belum nikah loe? Cepat nikah, sebelum stock cowok ganteng abis!" Selalu saja mampu membuat orang lain sakit hati atau malas meladeni. Dan benar saja, Meta pun pergi begitu saja.

Seperti menghadiri acara lainnya, sikap Ardila berubah 360 derajat ketika bertemu banyak orang. Gaya manja padaku ia tampakan dengan sangat jelas. Bersandar di otot lenganku, bergelayutan di sisi tubuhku, memeluk bahkan menyuapi makanan dan terkadang memcium pipiku tanpa ragu. Panggilan sayang, perkataan lembut menghiasi lisan manisnya, seolah hubungan kami baik-baik saja.

"Kerjaan loe gimana? Kontrak sama pak Dirga udah di ACC?" Andika sahabatku buka suara tentang kontrak kerja yang sedang kukembangkan.

"Dika ... ini tuh pesta ya, orang ke sini mau senang-senang. Bisa gak sih, gak usah bahas kerjaan!"

Hanya Andika sahabatku yang tau sikap asli Ardila kepadaku, dan aku tau persis alasan istriku berkata seperti itu. Dia malu dengan pekerjaanku, ia malu karena di antara kami semua hanya aku yang tak lulus kuliah dan tak berpenghasilan jelas.

"Perlu gue minta tolong Rosa?" balas Andika masih membahas pekerjaanku.

"Gak perlu, tar juga lolos. Kali ini gue yakin."

"Jangan telalu percaya diri, nanti kalo jatuh sakitnya berhari-hari. Yang sudah-sudah 'kan begitu. Dunia kuliah dengan dunia kerja, beda!" Bisik Ardila di telingaku.

Seperti itulah cara Ardila mensuportku. Dengan kata-kata kejamnya ia mampu memporak porandakan hatiku namun lima menit kemudian, kata-kata itu bisa meningkatkan adrenalinku lebih tinggi. Seolah ia berkata aku harus berusaha membahagiakannya dan lebih keras berusaha untuk kehidupan kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status