Share

Pusing

Jemari kami masih saling menggenggam, aku tak akan mau melepaskan karena hal ini sudah lama tak kami lakukan. Aku selalu senang jika bertemu banyak orang, dengan begitu kemesraan kami akan kembali, dan aku selalu berharap kemesraan itu terbawa sampai kami di rumah.

"Tadi itu, Lina ngeliatin kamu terus. Ada hubungan apa kamu sama dia?"

"Lina siapa?" tanyaku santai, sambil memesan kendaraan online dengan telepon di tangan kanan.

"Anak psikologi, mantan Teguh. Dulu dia kan sempet gangguin hubungan kita."

"Oh,"

"Oh doang! Kamu tuh kebiasaan sok kegantengan, itu yang membuat cewek-cewek kegeeran kalo di deket kamu! Gak perlulah tebar pesona, kamu tuh sudah nikah! Awas aja kalau sampai macem-macem, aku gak akan segan ngancurin hidup kamu!" ucapnya sambil melepas kasar jemariku.

"Kamu jangan ngaco dan gak perlu juga ngancam-ngancam suami! Tebar pesona bagaimana, kamu gak lihat sepatu aku sudah gak layak? Kamu gak liat kerah baju aku sudah rusak? Bahkan saat ini, aku gak tau sudah berapa lama tidak keramas, demi mengirit! Seharusnya kamu yang berkaca," lanjutku sambil menaik turunkan pandangan melihat penampilannya. "Lihat dirimu, setiap kondangan, baju selalu mau baru. Sepatumu beli belum ada dua minggu. Belum lagi makeup yang berlebihan itu, siapa di sini yang layak disebut tebar pesona?"

Kata-kataku keluar begitu saja, ketika logika kesabaran melewati garis batas maksimalku. Aku paling tak suka dicemburui, dan ia sangat tau itu namun tetap saja melakukannya.

Langkah kami terhenti ketika sebuah lamborgini menghampiri, kaca mobil sang pengengemudi turun perlahan. Tampak seorang wanita cantik berkaca mata hitam menyapa ramah. "Zal, jangan berantem di jalan. Bahaya."

"Siapa yang berantem! Inilah bumbu-bumbu rumah tangga, jika tak ada rumah tangga akan terasa hambar. Cup." Lagi-lagi, Ardila mengeluarkan pertunjukannya. Aku cukup senang dengan sikap sepontannya, karna dengan itu aku mampu mengobati rindu kemesraan kami yang dulu. Ingin sekali aku membalas kecupan itu, namun aku yakin dia akan sangat marah seperti  kejadian sebelumnya.

"Zal, aku dengar kau dan papa akan melakukan kerjasama? Aku sudah baca sebagian proposalnya, ide-idemu sangat bagus, trobosan terkeren yang pernah aku pelajari, aku suka!" ucap Rosa semangat, sambil membuka seatbeltnya.

"Sorry, jemputan kita sudah datang. Ngobrolnya dilanjut kapan-kapan, ya ..."

Dan kami langsung menaiki mobil pesananku, mobil online dengan harga fantastis. Dan karena nominalnya, aku harus menggantinya dengan besok berangkat lebih pagi.

"Kalau tadi aku gak stop, sampai kapan kamu akan ngobrol sama dia?"

"Mana aku tau, kan tadi gak sempat terjadi."

"Selalu aja jawabannya begitu. Pokoknya aku gak mau tau! Aku mau, kamu gak usah kontrak kerja dengan orang tuanya Rosa!"

"Kenapa? Ini kesempatan besarku, aku sudah persiapkan semua ini dengan matang."

"Ya pokoknya aku gak mau tau! Kamu kan bisa cari orang lain, gak mesti orang tuanya Rosa!"

"Terus siapa?" tanyaku kesal.

"Ya siapa kek! Kamu usaha dong! Cari yang bener! Jika perlu, cari orang asing. Orang kaya di dunia ini kan banyak, gak mesti ayahnya si Rosa!"

"Gak bisa! Aku akan tetap lanjut. Ini kesempatan besar untukku dan keluarga kecil kita. Kalau kontrak ini lancar aku janji, aku akan langsung belikan kamu berlian." Ia diam sejenak, sepertinya ia sedang mempertimbangkan penawaranku yang menggiurkan.

"Gak usah sok bae. Aku gak mau tau, pokoknya batalin kontraknya! Kalo gak mau batalin, kita cerai!"

DEG

lagi-lagi kalimat itu keluar dari lisannya dengan mudah. Entah sudah berapa kali ia lontarkan kata-kata itu ketika kami ada masalah.

"Aku gak suka dengan suami yang nanti kerjaannya sama wanita lain. Kalau kamu masih melanjutkan kontrak kerja itu, kita cerai! Kali ini aku gak main-main. Besok aku akan ke pengadian dan layangkan gugatan!"

Jahat, jahat sekali ia melakukan itu padaku. Hanya karena rasa cemburunya, ia rela menghancurkan impianku, impian yang di dalamnya selalu ada dirinya.

Aku diam, di dalam kendaraan itu aku terdiam sama sekali tak mengeluarkan suara. Genggaman tangan kami sudah terlepas sejak tadi, aku hanya mampu mengepalkan jemari dengan kuat. Aku kesal dengan cara berfikirnya, aku kesal dengan caranya memandang kehidupan.

Seharusnya dia lebih dewasa, aku melakukan semua ini demi dia. Dia menggantungkan kebahagiaan padaku, aku rela pergi gelap hari dan pulang larut malam demi dia yang sangat kucintai. Tapi lagi-lagi keegoisannya mendominasi dan setiap saat aku harus memahami.

Yang kutau, Ardila istriku tak seperti itu. Dulu ia begitu manis, penurut, baik dan menerimaku apa adanya. Hingga akhirnya, aku memutuskan berhenti kuliah dan lebih fokus bekerja demi menafkahi istriku yang saat itu sedang hamil muda.

Saat itu aku sedang fokus bekerja di salah satu perusahaan games yang sedang naik daun. Istriku menghubungi dan mengabarkan bahwa saat itu ia di rumah sakit mengalami pendarahan hebat. Singkat cerita kami memutuskan untuk melakukan oprasi, karena anak kami tak dapat diselamatkan.

Entah apa yang terjadi pada dirinya, sejak kejadian itu sifatnya benar-benar berubah. Ia bukan lagi Ardila istriku yang dulu, ia mulai menunjukan sifat aslinya. Ia penikmat nikotin berat, dan terkadang ia mengkonsumsi minuman beralkohol dengan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.

Penyesalan masih hinggap dalam diriku hingga kini. Perubahan drastisnya aku fikir karana kehilangan bayi kami, bayi yang sangat kuharapkan untuk mengisi hari-hari kami berdua, namun hilang karena tuhan lebih menyanginya.

Ribuan bahkan jutaan kata maaf aku ucapakan tiap kali melihatnya bersedih dan kesal sendiri. Aku salah, karena membiarkannya sedirian di rumah. Aku salah seharusnya memberinya fasilitas kehamilan yang lebih baik. Aku salah, seharusnya saat itu kuturuti semua keinginannya. Dan akhirnya akupun berusaha memenuhi segala keinginannya, bahkan terkadang di luar logikaku.

Demi memperbaiki hubungan kami, aku rela menjual rumah peninggalan kedua orang tuaku, hanya untuk membeli kendaraan roda empat demi menutupi gengsinya. Aku pun rela tak kuliah, demi membiayai S1nya. Dan akupun rela berhenti kerja, demi meluangkan banyak waktu bersamanya, hingga akhirnya kuputuskan berprofesi sebagai ojek online.

Aku tak pernah merasa diriku benar sendiri, aku yakin setiap masalah pasti kedua belah pihaklah yang salah. Masing-masing dari kami memiliki andil di dalamnya.

Aku tau salahku, aku belum cukup bisa membahagiakannya. Dan saat ini aku sedang berusaha memberi kebahagiaan untuknya. Dengan cara aku kerja lebih giat dan lebih banyak menghasilkan uang. Namun usahaku disalahgunakan, kepulanganku yang terkadang larut malam membuatnya semakin liar dan tak lagi menghiraukan keberadaanku. Kemiskinan yang kami rasakan saat ini selalu ia jadikan alasan.

Segala cara telah kucoba, dari mengajaknya berbicara, merayunya, mengajak jalan-jalan ke tempat yang ia suka, menginap di hotel meski bukan hotel mewah, hingga melarang dan menguncinya rumah, cara itu pun telah aku lakukan. Namun percuma, tak satupun cara menemukan titik terang. Justru terkadang membuat kami bertengkar hebat dan semakin membuat jarak lebih parah.

Dan kini, aku memutuskan untuk pasrah. Pasrah dengan kami tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri. Pasrah dengan apa yang ingin ia lakukan, dan berusaha pasrah atas perlakuannya padaku.

Aku masih teramat mencintainya, dan akupun yakin ia masih merasakan hal yang sama. Dari tatapannya aku masih bisa melihat cintanya, dari rasa bangganya di depan teman-temanku aku masih bisa merasakan kasih sayangnya. Hanya karna kemiskinan dan ketidaksabarannya, ia mampu menutupi hati nuraninya sendiri. Itu yang kutau.

Sudah tiga hari kami tak saling bicara, ia akan berbicara hanya ketika meminta uang dan merasa lapar ketika tak ada makanan di rumah.

"Kapan kamu ada uang lagi?"

"Bonus belum keluar, mungkin tanggal 25," jawabku sambil mencuci piring di wastafel.

"Oh, aku order sesuatu. Mungkin akan sampai tanggal 24, nanti kamu yang bayar, ya," ucapnya santai sambil menikmati sarapan pagi yang kubuat.

"Satu juta yang kemarin, sudah habis?"

"Ya udahlah. Itu kan hanya satu juta, cukup apa uang satu juta jaman sekarang? Mulai deh perhitungan, waktu pacaran kamu gak pernah hitung-hitungan, kenapa sekarang jadi perhitungan? Kalau aku tau kamu begini, ogah banget aku nikah sama kamu!"

"Pokoknya, aku gak mau tau. Barang datang, kamu harus ada uang!"

Hanya cukup diam, untuk meladeninya ketika banyak bicara. Yang kutau wanita dalam sehari harus berbicara 20.000 kata, maka dari itu kubiarkan saja ia puas berbicara. Namun inti dari perkataannya tetap kucerna, dan tentu saja mampu membuatku pusing, "cari uang kemana? Huft."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status