Share

Lebih Parah

Melihat penampilan Ardila seperti itu, membuat adrenalin kejantananku lagi-lagi meningkat berkali-kali lipat. Dengan rasa rindu mendalam dan hasrat menggebu, aku berjalan cepat dan langsung memeluknya dari belakang, erat. Kucumbu tengkuk lehernya, kuhirup tiap jengkal aroma tubuhnya, sejenak ia menikmati tiap sentuhan yang kuberi namun selang beberapa menit ketika hasratku semakin menggebu, ia melepas pelukanku dan kembali berjalan melanjutkan langkah.

"Aku lelah, aku mau tidur. Tadi banyak kerjaan di kantor." Begitu ringan ucapannya dan aku terdiam membatu, sambil memperhatikan tubuh seksi itu beraktifitas.

Tepat di sisi meja rias, tanpa rasa malu dan bersalah ia mulai melepas satu persatu pakaian di tubuhnya. Terlihat jelas di sana belasan tanda merah menempel indah dan aku hanya gelengkan kepala penuh kesedihan, 'tak mungkin Anggi, tak mungkin wanita yang melakukan itu semua.'

Amarah dan cemburu tumbuh begitu saja dalam diri. Hampir dua tahun aku tak melakuakan itu pada tubuhnya tapi kini, tanda-tanda itu ia dapatkan dari orang selain aku. Tak ingin mencari masalah, akupun bergegas keluar rumah untuk sekedar mengalihkan pikiran.

TRING

Benar saja, sebuah orderan masuk setelah mengaktifkan aplikasi profesiku.

"Pakai dulu helmnya, ka."

"Oh, iya lupa. Makasih ya, bang." Sambil merapihkan rambut panjangnya kemudian memakai helm.

"Mau pulang, ka? Ponakannya, perempuan atau laki-laki?"

"Loh! Abang yang waktu itu, ya? Laki-laki, bang."

"Wah, bakal jadi jagoan dong," balasku santai, sambil mulai melajukan motor.

"Tentu saja, hehehe."

Aku antar gadis cantik itu sampai di depan pagar rumahnya, rumah minimalis indah lengkap dengan tanaman menghiasi pekarangan.

Sejak gelap tadi, kusibukan diri dengan pekerjan membawa para penumpang ke tempat tujuan mereka, hingga akhirnya sebuah panggilan mengalihkan perhatianku dari kesibukan.

"Iya, Dik!"

......

"Lagi narik, habis ini mau balik terus jalan ke Kominfo. Kenapa?"

.......

"Loe pasti salah liat, Ardila pulang kerja gak ke mana-mana."

......

"Si Anggi sama temennya yang lain kali, temen dia kan banyak. Udah dulu ya, gue mau balik neh."

Entah penilaian apa yang Dika sematkan padaku tapi satu hal yang kuyakin, ia pasti tahu bahwa aku sedang melindungi Ardila. Andika tahu seluruh kisahku, seluruh jalan hidup yang kulalui baik suka maupun duka, baik manis, pahit ataupun bahagia. Sahabat sejati, akan selalu ada sampai mati. Itulah selogan kami.

Setibaku di rumah, Ardila masih tertidur nyenyak. Hingga aku pulang lagi, setelah menyelesaikan kontrak kerja, ia masih tertidur dengan posisi yang sama. "Dia gak kerja?"

Profesi ibu rumah tangga yang seharusnya menjadi tugas Ardila sudah lama aku yang gantikan. Waktu sudah sore, berniat membangunkan tidur panjangnya namun niat itu langsung kutepis. Aku tak ingin mengulang kejadian yang sudah-sudah, amarah tak terkendali, kata-kata kasar, ucapan perpisahan, aku berusaha tak mau lagi mendengar semua itu.

"Aku gak mau hamil! Apalagi itu anak kamu! Kalau sampai lahir, mau kamu kasih makan apa dia nanti? Kasih makan aku aja gak mampu!"

"Aku menyesal nikah sama kamu. Seharusnya aku menerimamu ketika kau sudah bekerja. Modal popularitas, cerdas dan tampang saja gak cukup untuk berumah tangga!"

"Rumah kecil, bocor pula! Kapan sih, kamu mapannya? Bisa gila aku, kalau selamanya tinggal di rumah kecil begini!"

"Aku tuh nikah sama kamu, biar aku gak susah. Tapi ternyata setelah nikah malah makin susah!"

"Jangan terlalu percaya diri dengan kecerdasan yang kamu miliki, sekali-kali gunakan ketampanan untuk kamu jadikan pekerjaan!"

"Percuma kontrak kerja dengan siapapun! Pendidikan kamu di bawah standar, aku saja yang cantik dan S1 susah cari kerja, apa lagi kamu!"

"Jangan mimpi setiap kontrak yang kamu tandatangani lancar seperti hembusan nafas. Tetap saja kamu akan kalah dengan mereka yang bertitel banyak!"

"Program-program yang kamu buat dan kamu kembangkan, terhempas dengan kehebatan mereka yang bertitle keren dan lulusan luar negeri. Lebih baik kamu menjadi TKI, ke Arab sana seperti orang-orang di kampung. Pulang sudah mampu bangun rumah, membuka usaha dan mereka sukses!"

"Selama kamu belum punya apa-apa, jangan pernah berharap bisa menyentuhku. Terlalu mudah kamu mendapatkanku! Di luar sana, mereka harus mengeluarkan banyak rupiah, untuk sekedar menyentuh tubuh indah seperti milikku ini! Kamu paham, tidak?"

Entah karna kecerdasan otakku, atau karna aku terlalu mencintainya, tiap kata yang keluar dari lisannya dan tingkah yang ia lakukan, aku tak akan lupa dan aku tak lagi membantahnya.

Bakhan ia pernah melempar piring  bekas makan malamnya, ke arahku. Hanya karena aku mengangkat panggilan telepon yang terus berdering. Dan ia berkata, "jangan sekali-kali menyentuh barang-barangku yang bukan dari hasil keringatmu!"

Deg! Kata-kata itu terekam hingga kini, dan sampai saat ini aku tak pernah lagi menyentuh barang-barang miliknya.

Entah dimana dan sebagai apa ia bekerja, yang jelas etika berbicara dan sikapnya berubah. Sopan santunya berkurang dan gaya bahasanya semakin parah.

"Jangan sok seksi dan gak usah pamer," sapanya mengagetkan, ketika aku menuju lemari kapaian dengan handuk di pinggang.

"Dulu kamu suka sekali dengan tubuhku ini, bilang saja jika kau merindukannya. Dengan senang hati aku akan melayani." Aku coba menggodanya.

"Yang ada, aku sekarang jijik!"

"Kasar!"

"Iya, aku kasar. Kenapa? Masalah? Bercerai saja!" ucapnya keras, sambil melangkah menuju kamar mandi dan mengambil handuk yang ada di pinggangku.

BRAK!

Pintu kamar mandi terhempas sempurna menempati bingkainya dengan suara menggelegar keras.

'Jahat!'

Indah mentari menyapa pagi kami, genap satu tahun Ardila menjadi wanita karir. Dan genap satu tahun pula, kami berangkat kerja dengan cara berbeda. Ia ditemani sebuah jemputan beroda empat, sedang aku masih tetap dengan kendaranku beroda dua.

Meskipun aku sempat, ia tak pernah mau kuantar berangkat kerja. Berkata malu, dan takut wajahnya terkena debu. Aku berusaha maklum namun selama kami berpacaran, ia ke mana saja? Dulu ia sangat menikmati duduk di jok motorku, bahkan ia tak pernah mau jika disuruh memakai helmku. Katanya, pakai helm itu tak bisa menikmati perjalanan. perubahan yang aneh, pikirku.

"Nanti gak perlu masak dan gak perlu nunggu aku. Aku meeting di luar kota, bos ngajak aku," terangnya baik-baik.

"Ooo."

'Sudah langganan.'

"Bagaimana seluruh kontrak kerjamu? Ada perkembangan apa?" Sambil melahap sarapan yang kubuat.

'Tumben sekali ia bertanya. Apa aku mimpi? Atau, semalam ia makan sesuatu yang salah!'

"Emm ... masih dalam proses belum ada perkembangan, belum ada yang mampu mendanai sistem yang aku buat. Perihal kontrak kerja, saat ini hanya ada satu itu pun kontraknya akan berakhir 3 bula_

"Sudah kukatakan, kecerdasan otakmu tak akan ada pengaruh. Laki-laki lulusan STM mana bisa bersaing di dunia kerja. Dengarkan perkataanku, jadilah TKI. Hanya profesi itu yang cocok untukmu. Kamu akan punya uang banyak, tak perlu mutar otak."

'Aku tak mau berpisah denganmu, aku mau tetap di sampingmu.' aku membatin sambil menatap penuh kerinduan.

"Buang semua barang rongsokmu, semua itu tak akan membuatmu kaya! Jangan sampai usiamu terbuang sia-sia, hanya untuk pemograman yang tidak penting!"

"Lihat teman-temanmu, sudah menjadi apa? Seharusnya kamu berusaha seperti mereka, jangan egois pada dirimu sendiri. Kebutuhan semakin meningkat, masa kamu hanya gitu-gitu aja!"

"Andika, sudah jadi manager. Alex sudah jadi kepala cabang. Mario sudah jadi pengusaha, dikelilingi banyak wanita. Lah, kamu jadi apa? Tukang ojek yang sibuk ngutak-atik barang rongsok! Kerjaan gak jelas!"

"Buang aja semuanya! Gak ada guna!"

Lagi-lagi aku hanya mampu menelan ludah, tak ingin membantah dan tak ingin merubah suasana pagi ini, yang indah.

Ia pergi begitu saja, menuju mobil yang sudah menunggunya di depan gang. Maklum saja, rumah ini bergang sempit hanya mampu dilalui dua sepeda motor berdampingan.

Ingin sekali aku mengantar jemputnya ketika ia bekerja, ingin sekali aku dikenalkan pada teman-temannya dan ingin sekali aku mendengar cerita tentang aktifitasnya. Jika aku mau, sangat mudah bagiku untuk sekedar tahu dia bekerja dimana dan apa yang sedang ia lakukan. Aku lumayan mampu meretas informasi apapun di dunia maya, hanya menggunakan layar komputer dan keyboard andalanku tak butuh waktu lama, aku bisa mendapatkan infomasi apapun yang aku inginkan.

Namun, cintaku yang dalam ini, melarangku untuk mencari tau. Karena yang aku tahu, cinta adalah kepercayaan. Ketika kau mulai mencurigainya, bertanda kau sudah tak lagi mecintainya. Pikirku.

Saat ini aku sudah di kendaraanku menuju Kementerian Komunimasi dan Informasi. Sebenarnya dengan kontrak kerjaku saat ini, aku sudah mampu membiayai kehidupan kami yang dulu. Namun, berapapun uang yang kuberikan selalu saja kurang di matanya dan tak akan pernah mampu membiayai gaya hidupnya saat ini.

Peeesssssss ... bekeberkeberkeberrrrr ...

'Huft, kempes lagi!'Menepi, dan tak jauh di depan sana ada bengkel kecil khusus menangani ban motor yang bocor.

"Bocor bang, tubles ya."

Aku duduk di pelataran tambal ban pinggir jalan. Menikmati udara panas menyengat sambil mengedarkan pandangan pada jutaan mobil berjalan merayap. 

Gambaran wajah yang sangat kukenal tampak di balik kaca sebuah mobil.

"Ardila!" Aku sontak berdiri. Tampak jelas di sana dia istirku, Ardila dalam mobil pajero sport putih bersama seorang laki-laki.

Aku menelan salivaku, dalam. 'Oh tidak! Ia bermesraan. Ia manja, istriku membelai rambut pria itu! Please bukan dia.' Mengusap wajahku mencoba meyakini bahwa itu bukanlah istriku, 'please tuhan ... jangan ... cukup. Tuhan ... aku mohon ... cukup ... jangan .... Oh tidak! me- mereka, mereka berciuman lama_

TES TES TES TES

Butiran bening keluar tanpa kuminta. Terakhir, cairan ini keluar ketika orang tuaku meninggal dunia, saat itu begitu menyakitkan. Dan kali ini, rasa sakit itu kembali kurasakan.

"ARDILA ... ARDILAA PRAMESWARI ..." panggilku berteriak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status