Beranda / Romansa / Pesona Duda Manja / Mengalihkan Pikiran

Share

Mengalihkan Pikiran

Penulis: Nona_happy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-26 21:48:04

Hari berlalu begitu cepat, dan sikap istriku Ardila semakin parah. Ia semakin seenaknya, bayangkan saja seluruh aktifitas melelahkan kini aku yang kerjakan. Ia hanya cukup bangun tidur sarapan, membuat kopi sendiri karena katanya kopi buatanku tidak enak, dan menaruh bekas makannya begitu saja. Siang hari menonton televisi sambil menghisap nikotinnya dalam, terkadang ditemani cemilan hasil dagangan penjual lewat depan rumah. Mungkin dengan begitu ia bahagia, dan aku berusaha merasakan kebahagiaan yang sama.

Aku berharap ia paham, bahwa aku sedang berusaha membahagiakannya. Aku sedang berjuang untuk memenuhi seluruh kebutuhan, meski usahaku terkadang ia patahkan, termasuk kontrak kerjak yang terpaksa kubatalkan demi menghindari perceraian.

Dan satu lagi, seharusnya ia tak pernah lupa, bahwa aku bukanlah orang kaya. Aku hanya anak yatim piatu miskin, dengan kecerdasan cukup baik, yang kedua orang tuanya meninggal dunia tak lama sebelum kami menikah.

TOK TOK TOK

"Pakeeett ..."

Rumah mungil ini mampu mendengar suara apapun yang ada di luar sana, maklum saja ukurannya hanya 10 X 5 meter persegi. huft, ia cuek, masih saja asik menonton televisi. Meski agak kesal, namun aku bersyukur karena hari ini ia tak keluar rumah.

Kuletakan ember berisi pakaian yang telah aku cuci, kulangkahkan kaki menuju pintu mencoba memastikan bahwa teriakan itu salah alamat.

"Siang mas, atas nama Rizaldi Takki?"

"Iya, saya sendiri."

"Total 3.750.000, uang pas ya mas," ucap kurir itu sambil menyerahkan bon beserta sebuah kardus besar tepat di sampingnya.

"Mau diletakan dimana, mas?"

Kini kertas tertera angka-angka ada dalam genggamanku, entah apa yang harus kulakukan padanya dan entah dengan apa aku harus membayarnya.

"Mas, saya tidak jadi membeli. Bisa dikembalikan lagi? Untuk ongkosnya saya yang akan tanggung."

"RIZAL! apa-apan sih, kamu! Itukan sudah aku beli, kamu tinggal bayar."

"Kita tidak ada uang, mau bayar pake apa?"

"Aku kan sudah bilang, aku CODan. Seharusnya kamu persiapkan uangnya, dong. Kecuali aku belum bilang!"

"Iya kamu bilang, tapi barangnya tak perlu semahal ini. Aku belum ada uang."

"Aku ga mau tau, aku mau beli kulkas itu. Kulkas apaan butut gitu! gak berguna dan sudah tua!" Menunjuk kulkas satu pintu di sisi dapur. "Harusnya kamu tuh bersyukur, aku mau diajak susah. Tapi kesabaran orang ada batasnya, aku gak maulah terus-terusan susah!"

"Dan kamu juga harusnya bahagia karna aku gak minta macam-macam, kulkaskan untuk kebutuhan kita juga, dan aku hanya order yang dua pintu. Kalau aku jahat, pasti sudah kuorder yang empat atau yang enam pintu!"

Lagi-lagi, ocehannya mampu membuatku diam, ocehan benar dan lumayan menyakitkan.

"Aku pingin minum air dingin, nanti gak mesti lagi kamu membuat es batu, karena kulkas itu sudah canggih dan kamu gak perlu lagi tiap bulan bersihkan."

"Yaaa, beli kulkasnya yaaa ..." Perkataan manja dan wajah sedihnya mampu membuatku terbuai dan terharu. Lagi-lagi aku luluh.

"Kamukan bisa pinjam uang lagi sama Andika. Kalau kamu pinjam, pasti dia kasih. Yaaa ... beli yaaa ... aku mau kulkas ini, ini bagus dan designnya juga moderen." Sambil menyentuh kardus besar di samping si kurir.

"Beliii ... beliin, Zal."

"Huft. Baiklah."

Jemari dan telepon genggamku langsung kompak beraksi. Tak menunggu lama, M-bankingku pun memberikan kabar, uang yang kupinjam telah sampai.

"Huft. Dilebihin lagi. Biasa banget neh anak! Dik, semoga gue bisa bales semua kebaikan loe."

Tepat dua bulan kulkas dua pintu itu menjadi saksi rumah tangga kami, kini kontrakan minimalis ini memiliki satu barang mewah. Sebuah kulkas dua pintu yang cukup mengurangi ruang gerak penghuninya, namun sayang interaksi penghuni di dalamnya semakin jarang dan berkurang karena kini tepat satu bulan, istriku mulai bekerja.

Berniat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara bekerja, mengasah kembali kecerdasan otaknya dan mengisi kekosongan waktu, itulah alasan Ardila hingga aku mengizinkannya bekerja. Namun sepertinya itu adalah keputusan yang salah, kegiatan di luar rumah banyak menyita waktu dan pekerjaannya itu semakin merubah sikap Ardila menjadi lebih parah.

Tak ada lagi kata-kata mesra yang kadang ia ucapkan di tempat umum, tak ada lagi sikap manja yang ia tunjukan, dan tak ada lagi sentuhan-sentuhan hangat yang ia berikan ketika kami di depan banyak orang. kini ia benar-benar telah berubah, sikapnya dingin, acuh dan masa bodo.

Mungkin baginya, pernikahan kami tak ada artinya lagi, hanya tinggal status, karena kini ia mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dan seolah ia telah menemukan pelabuan baru, untuk mengisi seluruh kekuranganku. Rasa curigaku ini selalu berusaha kutepis, karena aku yakin Ardila masih sangat mencintaiku.

lamunan panjangku terganggu, tampak Ardila menjatuhkan tubuh berbaring membelakangiku dengan pakaian seksinya. Entah tak sengaja atau itu niatnya, hingga membuatku ingin sekali memeluk tubuhnya dan mengecup permukaan leher jenjangnya. Namun tiga detik kemudian pakaian tipisnya menampakan sesuatu, penglihatanku terganggu, ada tanda kemerahan di sana, berfikir itu tanda kepemilikian, namun dengan cepat kualihkan. Tak ingin berprasangka jahat padanya dan tak ingin mengotori pemikirian tanpa sebuah bukti, hasil penglihatanku sendiri.

Aku yakin, ia masih sangat mencintaiku. Ia hanya kurang sabar dengan proses yang saat ini sedang kami jalani. Setelah pekerjaanku lancar, aku yakin ia akan kembali seperti Ardila istriku yang dulu. Istriku yang cantik, baik dan penyayang di tambah predikat baru sebagai wanita karir, cantik, dan cerdas.

Dari pada berfikir yang tidak-tidak, lebih baik aku kerja. Pikirku. Kuaktifkan aplikasi tranportasi onlineku, TRING!

Entah siapa dia, sepagi ini ordranku masuk. 'Ok, kerja-kerja-kerja. Demi Ardila.' Berusaha menyemangati diri sendiri.

"Bang rumah sakit Hermina, ya."

"Siap! pake helm dulu, ka."

"Oh iya, lupa. Makasih, bang."

Motor maticku melaju membelah ibu kota yang masih sepi, hanya ada beberapa kendaraan berlalu-lalang, karna saat ini masih jam dua pagi.

"Bang bisa lebih cepat? Kakak saya lahiran, dia sendirian."

"Oh, iya ka. Semoga lahirannya lancar, ya kak. Em ... emang suaminya kemana, ka?" Sumpah demi apapun, baru kali ini aku lancang.

"Di luar kota."

'Laki-laki bodoh! Jangan sampai kau menyesal sepertiku dulu!'

Uang yang kugenggam begitu banyak lebihnya, "kembaliannya, ka!" ucapku di balik helm full face yang kupakai.

"Ga usah, buat abang aja. Terima kasih, ya bang." Ia lepas helmku yang berlogo hijau dan berlalu pergi, di akhiri dengan senyuman indah.

"Pagi-pagi dapet rejeki."

Kini, waktu menunjukan pukul dua belas malam dan istriku belum juga datang. Aku menunggunya sejak sore tadi, aku buru-buru pulang karena aku berniat memberikan kabar gembira perihal kontrak kerja yang akan aku dapatkan.

Sebuah kontrak kerja, dalam bidang pelatihan tenaga kerja IT di sebuah instansi pemerintah. Dengan kemampuanku dan kelihaianku dalam bidang komunikasi dan jaringan, para penghasil uang di dunia teknilogi tak segan-segan memberdayakan kami yang tak bertitel ini.

Kesuksesan aku dan istriku, didepan mata. Hal-hal penunjang kebahagiaan Ardila, akan aku penuhi seluruhnya dan rumah tangga kami akan harmonis setelah ini. Gambaran itu terpancar dalam benakku.

Hingga kini pukul dua pagi, ia belum juga kembali. Rasa kantukku mulai menghantui, akhirnya kuputuskan untuk membiarkan diri tertidur sejenak di sofa yang sudah jelek.

Suara pintu terbuka mengganggu tidur nyenyaku, kuarahkan pandangan pada jam dinding di atas televisi. Saat ini pukul empat pagi, dan istriku baru pulang dengan penampilan di luar logikaku.

Rambut indah yang biasa tertata rapih, kini berantakan. Pakaian sederhana yang biasa ia kenakan, kini berganti menjadi pakaian yang menjijikan. Lipstik merah merona, terlihat menggoda. Dan_

'Tidak, tidak mungkin. Ini tidak mungkin.'

Aku mengusap kedua mataku, berharap apa yang kulihat hanya pantulan cahaya atau hanya kotoran mata. Namun percuma, langkahnya yang semakain mendekat membuat tanda merah itu semakin terlihas dan nyata.

Aku berusaha mengendalikan diri dan berniat berbicara baik-baik demi masa depan rumah tangga kami. Aku bangkit kemudian berjalan kearahnya, "itu apa?" Tunjuk jemariku.

Menundukan wajah, "oh, ini?" mengusap bagian merah tepat di atas belahan dada. "Ulah si Anggi," jawabnya santai sambil berjalan menuju kamar.

Aku mempercayainya, aku berusaha percaya walau ia berbohong. Aku yakin ia punya alasan, ia kesepian karena aku selalu pulang larut malam. Dan ia kesal karena aku belum bisa memenuhi seluruh kebutuhannya, hingga ia harus ikut mencari nafkah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Duda Manja   Tunjukan Pada Dunia - The And

    Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.

  • Pesona Duda Manja   Senyum Keduanya

    WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me

  • Pesona Duda Manja   Menyalurkan perasaan

    “Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past

  • Pesona Duda Manja   Operasi

    Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto

  • Pesona Duda Manja   DHOR!

    “RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA

  • Pesona Duda Manja   Gombal

    TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status