Perguliran waktu kian berlalu dengan cepat, Raya yang menjalani pengobatan kini telah diizinkan pulang. Dengan syarat tetap menjaga pola makan sehat, minum susu dan jangan melakukan hal-hal berat. Komunikasi dua sejoli itu masih terjaga meski Rizal mulai jarang menghubunginya. Berharap pekerjaan cepat selesai hingga ia mengurangi komunikasi intensnya dengan sang kekasih. Setelah menjenguk sang kakak, Raya mengajak Fayed mendatangi tempat di mana dirinya pernah bekerja. Sekedar mengingat kenangannya di tempat itu sekaligus mengecek kebutuhan apa saja yang harus ia beli dan lengkapi. Paska menekan digit-digit angka yang ia hafal, pandangannya dikagetkan dengan kondisi hunian yang tampak berantakan tak karuan. Kamera CCTV langsung mengarak padanya ketika pintu terbuka, dan tak menunggu lama duda pemilik hunian langsung melakukan panggilan. [Cantik! Jangan kausentuh benda-benda itu!] Kalimat pertama yang keluar ketika panggilannya terangkat. [Aku gak ngapa-ngapain.] Balas Raya cuek.
Dering sebuah pesan bertandakan huniannya dimasuki seseorang Rizal abaikan, berpikir bahwa itu adalah gadisnya yang kembali datang. ’Aku senang kau mulai membuka hati untukku, aku berharap kau akan tinggal di sana bersamaku,’ gumam Rizal sambil menikmati snack penunda rasa lapar yang biasa di konsumsi para militer. Berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat hingga ia meminimalisir waktu makannya. Sebenarnya perbaikan sistem jaringan dan pembaruan teknologi di pabri yang terbakar telah ia selesaikan, namun demi profesinalisme kerja, ia pun melakukan kunjungan ke beberapa perusahaan di sana yang bekerja sama dengan Z&T Corporate. Mengantisipasi tak akan ada kejadian sama terulang lagi. ”Come on, Rizal semua ini harus cepat selesai.” Menyemangati diri sendiri sambil memainkan jari-jarinya di atas keyboard, ditemani kunyahan snacknya. ’Tumben balik duluan.’ Gumam Rizal setelah mendapatkan informasi bahwa Rosa kembali lebih dulu. ’Tidak, tidak. Lusa terlalu lama. Ya, aku harus pul
Perkuliahan belum usai, namun Rizal sudah standby di depan ruang kelas. ‘Ngapain nungguin sih, kaya anak SD aja!’ ”Raya-nya masih di dalam.” ”Saya tau!” balas Rizal sinis. “Mau rujuk ya Mas?” “Hm.” “Kayanya Raya gak mau deh, dia ‘kan lagi dekat dengan Aries.” Rizal tak lagi menghiraukan, ia tau persis apa tujuan mahasiswi itu berbicara kepadanya. Kini dia hanya sibuk dengan ponsel di tangan mengirim banyak pesan sambil bersandar pada sebuah tiang di temani headset di telinganya. Meski banyak mahasiswi berseliweran jalan di depannya dan tak jarang coba menyapa, duda itu tak menanggapi, seolah ia sedang asyik mendengarkan musik. Setelah menunggu lama, yang di tunggu-tunggu pun datang. Gadis itu keluar kelas diikuti para mahasiswi yang penasaran. Rizal langsung menegakkan tubuhnya, melangkah, kemudian meraih jemari Raya. “Yuk, pulang!” ”Fayed mana?” tanyanya berusaha menyamakan langkah. ”Dika yang urus!” Menjawab singkat, menolehkan kepada pada gadisnya yang tampak kesulitan meny
Tatapan sinis Nara mengartikan sesuatu yang Raya sama sekali tidak tahu. Demi menutupi kekhawatiran Rizal pun mendatangi kakak beradik itu, namun ketika kakinya melangkah untuk yang ketiga kalinya, Nara berubah menjadi panik. ”Ah! Lah! La! A! la!” ucap Nara memeluk Raya sambil menggerakan tangan seperti mengusir. Riza tetap mendekat, ingin menyapa, namun Nara masih saja mengibaskan tangannya. ”AAA, UUHH … AUH, UUHH.” Kali ini ungkapnya dengan nada keras. Raya dalam pelukannya semakin ia dekap dan kepalanya masih terus menggeleng. ”Ah, La! A! UH! LA! LA!” Wanita itu terus saja mengoceh tidak jelas. Andika yang melihat sikap Nara, ikut angkat suara. ”Nara, itu Rizal yang suka aku cerikan, dia sabahatku. Itu dia si duda manja yang haus kasih sayang dan perhatian, kamu lupa?” Nara sempat diam mencerna ucapan Andika, namun setelah itu, ia kembali panik masih memeluk sang adik. ”La! HAH! GHAaaa …” ”Ka, kakak tenang ya … semua yang ada di sin
’Katanya udah gak suka, masa lalu, gak usah cemburu. Tapi sekarang dia kerja di sini. Dasar laki-laki gak konsisten!’ gerutu Raya dalam hati ’Untung gak jadi nikah, ketauan ’kan belangnya!’ Lift terbuka, lift sama yang digunakan Ardila dan karyawan lainnya. Raya mengedarkan pandangan, lift yang seluruh dindingnya berlapis kaca membuat Raya mampu melihat mereka yang ada di belakangnya. ‘Kenapa mereka liatin terus?’ Baru sadar jika sedari tadi ia diperhatikan para karyawan. ”Vin, karyawan pada kenapa, kok mereka liatin aku terus sih?” bisik Raya merasa tak nyaman dengan tatapan para karyawan. ”Emang si bos gak cerita?” Vina balas berbisik. Raya gelengkan kepala, menatap wanita itu melalui kaca di hadapannya. ”Si bos kumpulin semua orang, gara-gara kamu ngilang dan ketaun kamu di bully di toilet.” ”Kok dia tau, aku gak cerita loh!” ”Ya taulah. CCTV berkeliaran, apalagi si bos jago IT. Berita apa yang gak bisa dia tau, heh?”
Keduanya kompak menoleh ketika mendengar suara pria yang mereka kenal. Rosa langsung menghentikan aktivitasnya, kemudian berdiri di samping Raya "Ah, biasa perempuan. Aku sedang berbicara dengan Raya perihal sarapan yang tadi dia bawa." "Benar 'kan Raya?" tanya Rosa sambil mencubit keras lengan Raya. "I-iya, nona Rosa tadi pagi telepon saya." "Sekarang giliran aku yang akan membawakan makan siang untukmu." Rizal kerutkan dahi, 'Sejak kapan aku mintanya membawakan makan siang?' "Zal, kamu pasti banyak kerjaan. Yuk, aku temani atau mungkin kamu akan butuh bantuanku. Aku siap membantumu." "Aya, kamu ke kampus diantar Andika, ya. Dia sudah menunggu di bawah." "Ya," jawab Raya singkat, masih dengan cubitan Rosa di lengannya yang semakin terasa menyakitkan. Rizal melangkah maju, kemudian merapikan rambut Raya. "Hati-hati di jalan, jangan suka berlarian nanti kamu jatuh." Rosa yang berdiri tepat di samping Raya, seketika merasakan hatinya begitu sakit. Pria yang ia suka sejak lama k
“Katakan, apa yang akan kauputuskan?” Raya sama sekali tak memberi jawaban. Lidahnya kelu, hatinya terus meronta karena kerumitan perasaan. ”Ok saya paham, mungkin kamu butuh waktu,” ucap pria tua itu masih terlihat sangat santai. ”Seminggu, ya seminggu mungkin waktu yang cukup untuk kamu merenung. Kamu bisa keluar dari mobil ini, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Ingat jangan beri tahu Rizal. Jika itu kaulakukan, kau telah merusak hubungan ayah dan anak. Dan mereka akan langsung melukai keluargamu.” ”Oh ya, saya harap sebelum seminggu kamu sudah bisa memberikan kabar.” Tanpa mengeluarkan suara, Raya langsung keluar dari mobil itu. ’Orang tua egois!’ Pikirannya kacau aktivitas dan pekerjaannya terganggu, membuat gadis itu memutuskan untuk pulang lebih awal. Dalam langkah bertemankan pemikiran yang berkelana, gadis itu di kagetkan sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Dengan malas ia mengangkatnya, [Halo] [Bagimana, sudah mengambil keputusan?] tanya orang di seberang
"Aku tugasnya hanya membantu, jadi bukan salahku," balas Vina ikut berbisik. Memasuki lift, lagi-lagi rasa tidak nyamannya tumbuh. "Vin, kamu di belakangku dong." Merasa risih karena sedari tadi punggungnya dipandangi para karyawan yang ada di belakangnya. Dengan cepat Vina melakukan apa yang Raya inginkan. Tiba di ruang kerja sang kekasih, duda itu tampak seperti pagi sebelumnya. Memperhatikan berkas di meja sambil sesekali menatap layar monitor di depannya. TOK TOK "Cantik." Duda itu langsung mengangkat wajah, lanjut melangkah. Melihat penampilan Raya, duda itu menekuk alis memundurkan kepala. "Kamu beli baju baru dengan kartu yang kuberikan?" Raya tampak ragu-ragu gelengkan kepala. Gadis itu berjalan kaku melangkah ke arah Rizal. Dres merah menyolok mata, rambut tergerai sedikit basah membuat duda itu menahan hasrat kejantanannya. "Yuk, sarapan. Aku sudah sangat lapar." Rizal membawa kekasihanya menuju meja makan.