Share

7. Tapi aku Pak Bima

"Tapi aku Pak Bima." Bima menepuk dadanya dan seketika membuat langkah Jenny terhenti.

"Pak Bima? Jadi Bapak yang—"

"Ada apa, Jen?" tanya Weni yang baru saja berlari menuruni anak tangga, dia menghampiri gadis itu sebab sempat mendengar teriakannya.

Jenny langsung memeluk tubuh Weni, lalu beringsut ke belakangnya. Entah apa yang dilakukan, tetapi yang jelas saat ini dia bingung bercampur takut.

"Pria itu yang mencoba memperkosaku semalam, Mbak," ujarnya lirih sambil menatap mata Bima sebentar.

Sontak—Weni dan Bima membulatkan matanya dengan lebar. Mereka tampak kaget.

"Aku mencoba memperkosamu?" Bima mengulang perkataan Jenny dengan wajah bingung.

"Dia Pak Bima, Jen. Bosmu," kata Weni.

"Tapi dia orang yang sama yang mencoba memperkosaku semalam."

"Masa, sih? Tapi rasanya nggak mungkin." Weni menggeleng cepat. Dia benar-benar tak percaya sebab selama dirinya kerja dengan Bima, pria itu tak pernah melakukan tindakan asusila.

Weni memang tahu, jika Bima sering mabuk kalau pulang malam. Namun untuk melakukan hal itu seperti tak mungkin.

"Aku jujur, Mbak. Sumpah!"

"Bibi!" teriak Bima pada pembantu rumah tangganya. Dan tak lama seorang wanita berdaster berlari menghampiri.

"Ada apa, Pak?" tanyanya sambil membungkuk sopan.

"Panggil Muklis ke sini!" titah Bima yang mana dianggukan oleh wanita itu. Lantas dia pun berlari pergi keluar dari rumah Bima.

"Jenny, aku nggak mungkin melakukan perbuatan seperti itu." Bima menggeleng cepat seraya menatap Jenny yang menundukkan wajah. "Kita akan cek CCTV, biar melihat siapa pelaku sebenarnya."

'Ngapain cek CCTV? Aku ingat betul dia orangnya.' Jenny menelan salivanya dengan kelat. Mendadak sebuah lintasan masa lalu terbayang samar-samar di otaknya, hingga membuat bulu kuduknya berdiri. 'Nggak, aku harus pergi dari sini. Aku nggak mau hamil lagi, aku nggak mau diperkosa.' Jenny menggeleng cepat, dia pun melepaskan pelukan di tubuh Weni kemudian berlari menaiki anak tangga.

Tak berselang lama Muklis datang bersama pembantu, dia berlari tergesa-gesa dan menghampiri Bima.

"Ada apa, Pak?"

"Apa kamu sudah cek CCTV semalam? Aku mau lihat."

"Sudah saya cek, Pak. Kebetulan saya simpan juga rekamannya di hape saya." Muklis merogoh kantong celana bahannya untuk mengambil ponsel, setelah itu memberikan pada Bima dan langsung menyetel rekaman itu. "Nggak ada yang mencurigakan dan nggak ada penyusup masuk."

Bima memperhatikan video tersebut, cuplikan pertama video itu dari arah gerbang. Tidak hanya gerbang depan yang terdapat kamera, tetapi samping kanan kiri dan belakang.

Benar kata Muklis tadi, semuanya tidak ada yang mencurigakan.

Kemudian, rekaman itu tergulir dibagian depan kamar Kaila. Tepat di depan pintu, Bima memang sengaja memasang kamera. Dan sebenarnya bukan di kamar Kaila saja, tetapi kamarnya sendiri, ruang kerja dan kamar Soraya untuk melakukan aktivitas di dunia mayanya.

Terlihat Weni keluar dari kamar itu, lalu Jenny masuk dan menutup pintu. Tak berselang lama Bima pun membulatkan matanya saat melihat dirinya sendiri ada di sana, berjalan sempoyongan sambil memegang kepala kemudian masuk ke dalam kamar.

Beberapa menit kemudian, Jenny terlihat keluar dari kamar sambil menggendong Kaila dengan berlari seperti orang yang kesetanan. Bima menelan saliva saat melihat buah dada Jenny yang terlihat pada rekaman itu akibat bajunya robek, dua asetnya itu tampak bulat dan sintal. Sangat menggiurkan.

'Montok banget dadanya Jenny.' Bima terkesima sesaat, lalu segera menggeleng cepat menyadarkan isi otaknya. Entah mengapa otaknya justru traveling gara-gara dua bongkahan benda kenyal itu. Harusnya dia fokus untuk mencari siapa pelakunya.

Namun, saat selesai melihat rekaman itu, bisa disimpulkan jika memang dirinya lah tersangkanya.

"Jadi, aku pelakunya?" Monolog Bima sambil menatap lurus.

Seketika matanya membulat kala melihat Jenny tengah berlari begitu saja sambil membawa tas jinjing. Cepat-cepat Bima memberikan ponsel itu pada Muklis kemudian berlari mengejarnya.

"Jenny, mau ke mana kamu?!" teriak Bima saat Jenny sudah berada di depan gerbang rumahnya. Melihatnya hendak membuka gerbang, dia pun langsung berlari menghampiri hingga mencekal lengannya sebelum Jenny berhasil keluar. "Mau ke mana?"

Jenny langsung menepis kasar tangan Bima, dia merasa risih.

"Maaf, Pak. Sepertinya aku nggak jadi kerja jadi ibu susu anak Bapak," ucapnya pelan seraya keluar gerbang.

Bima ikut keluar dari gerbang, kembali dia mencekal lengan Jenny saat gadis itu hendak naik angkot yang baru saja berhenti di depan rumahnya.

"Maafkan aku, Jen. Semalam aku mabuk dan nggak ingat apa-apa. Tapi aku mohon jangan pergi, Kaila membutuhkanmu," pinta Bima dengan suara memohon.

Rasanya tak ikhlas jika membiarkan gadis itu pergi begitu saja. Sudah sejak lama dia menunggu seseorang untuk menyusui anaknya. Dan sekarang, Bima tak akan mau semudah itu melepaskannya.

"Bapak bisa cari orang lain, tapi maaf aku nggak mau." Jenny menggeleng, dia tak mau ambil resiko jika ada sesuatu yang terjadi lebih parah.

Jenny pun segera melepaskan tangan Bima kemudian masuk ke dalam angkot. Mobil angkot itu hendak melaju, tetapi dengan cepat Bima naik dan duduk di sampingnya. Di dalam mobil angkot itu hanya mereka berdua saja.

"Jen, jangan pergi. Maafkan aku. Aku janji aku nggak akan melakukan hal itu lagi padamu. Kaila membutuhkanmu," pintanya.

"Aku nggak mau, Pak. Maaf ..." Jenny menggeleng lalu menggeserkan bokongnya supaya tak terlalu dekat dengan Bima. "Bapak cari orang lain saja."

"Aku sudah mencarinya selama beberapa bulan, tapi belum ketemu. Hanya kamu satu-satunya." Tangan Bima saling menggenggam, lalu meremmasnya dengan kuat.

'Semua ini gara-gara Raya, andai dia datang ke hotel untuk merayakan anniversary kita. Mungkin aku nggak akan mabuk karena setres menunggunya!' gerutu Bima dalam hati, lalu dia pun mengambil ponselnya pada kantong celana untuk melihat isi chat yang dia kirim beberapa kali dalam semalam. Jangankan dibaca, bahkan nomornya saja tidak aktif sebab hanya centang satu.

Mendadak kepalanya terasa pusing, Bima amat bingung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya demi membujuk Jenny.

Dia juga terkadang heran, pencariannya selama beberapa bulan mencari ibu susu tak pernah membuahkan hasil. Padahal, Budi sudah menyebar luaskan info itu. Hingga saat itu dia hanya berpikir, apa mungkin tak ada di dunia ini perempuan yang mempunyai ASI lalu bersedia menyumbangkan untuk anaknya?

"Nona mau ke mana ini?" tanya sang sopir angkot.

Jenny tampak terdiam, dia bingung harus menjawab apa sebab tak tahu arah tujuannya.

"Jalan dulu saja, Pak. Nanti aku beritahu," sahut Jenny yang mana dianggukan oleh sopir itu.

"Jen ... ayok pulang ke rumahku, mungkin Kaila sedang menangis karena haus," pinta Bima pelan. Tetapi tak ada tanggapan sama sekali oleh gadis itu. Dia bahkan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Aku tahu kamu pasti marah dan mungkin nggak terima dengan apa yang aku lakukan semalam. Tapi aku berani bersumpah kalau aku nggak ada niat melecehkanmu. Aku bahkan nggak ingat apa-apa," sesalnya seraya menjambak rambutnya sendiri. 'Ah bagaimana ini? Bagaimana cara membujuknya? Aku takut nanti Kaila sakit lagi.'

"Eemm ... kalau kamu mau aku tanggung jawab dengan apa yang aku perbuat, aku bersedia, Jen," bujuk Bima lagi, perlahan dia pun memberanikan diri untuk menyentuh punggung tangan Jenny seraya berkata, "Aku akan menikahimu."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rusliaty Mokodompit
Ceritanya bagus. Tapi sayang tidak tamat...
goodnovel comment avatar
Rusliaty Mokodompit
Mana lanjutannya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status