Share

6. Bapak jangan mendekat!

Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.

Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.

Kreek...

Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.

Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam.

"Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar.

"Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget, sebab kali ini jiwanya merasa terancam.

Pria yang masih bermain dengan dadanya itu seolah tak mendengar apa-apa, dia malah mengisapnya dengan semangat seperti bayi yang tengah kehausan.

"Siapa pun tolong aku ... Aaakkkhhh!" pekik Jenny sambil mengerang. Dia merasa ngilu akibat gigitan kasar dari pria itu.

Jenny menarik napasnya dalam-dalam, lalu perlahan membuangnya. Tangannya pun langsung meraba-raba tubuh pria itu, mencari-cari asetnya. Setelah ketemu, dia pun mencengkeramnya dengan kuat hingga membuat pria itu berlonjak kaget seraya melepaskan bibirnya di dada Jenny. Tubuhnya sudah tak menghimpit lagi gadis itu sebab kini merasakan ngilu pada inti tubuhnya.

"Aaawwaw!" rintihnya meringis sambil memegangi inti tubuh. "Kenapa kamu menyakiti rudalku, Raya?" tanyanya pada Jenny dengan wajah sedih. Tetapi gadis itu dengan cepat mendorong tubuhnya hingga terjungkal dari kasur, dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk meloloskan diri.

Bruk!

"Aaakkkkhhh!" teriak pria itu saat merasakan kepala belakangnya terhantam lantai, sangat sakit hingga membuatnya jatuh pingsan.

Jenny segera turun dari kasur lalu berlari mengambil Kaila sebab bayi itu menangis sejak tadi, setelahnya dia pun berlari keluar.

"Jenny, kenapa kamu?" tanya Weni yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar, tangannya memegang teko kaca. Dia tampaknya habis mengambil air di dapur.

"Mbak, ada orang jahat masuk rumah ini. Aku mau diperkosa!"

Jenny terlihat ketakutan, wajahnya pucat dan berkeringat. Dia pun segera berlari masuk ke dalam kamar Weni dan menarik tubuh wanita itu supaya ikut. Cepat-cepat dia pun mengunci pintu itu, lalu duduk di atas kasur dan menyusui Kaila demi menghentikan tangisnya.

"Orang jahat? Serius kamu, Jen? Di mana?" tanya Weni penasaran. Seketika bulu kuduknya berdiri, dia pun menyentuh kedua bahu Jenny dan pandangannya langsung terjatuh pada bajunya yang robek. "Astaga, apa ini juga perbuatan pria itu?" tanyanya sambil menyentuh baju.

Jenny mengangguk cepat. "Iya, dia yang melakukannya. Dia menciumku dan sempat menyusu." Jenny memeluk tubuh Kaila dengan lembut, lalu menaikkan kedua kakinya ke atas kasur.

"Di mana orangnya? Kamu ketemu di mana?" Weni duduk di samping Jenny lalu memberikan segelas air putih supaya membuat hatinya sedikit tenang. Weni mengerti, pasti Jenny sangat syok.

"Di kamarnya Nona Kaila. Dia tiba-tiba datang dan menciumku, Mbak."

"Masa, sih? Sebentar ... aku coba telepon satpam rumah dulu supaya dia mengeceknya." Weni mengambil ponselnya di atas nakas, lalu menelepon satpam rumah. Setelah diangkat dia pun langsung menjelaskan semuanya.

***

Bima membuka matanya yang terasa berat itu secara paksa akibat tepukan dipundaknya. Matanya mengerjap berulang kali sebab pandangannya terasa buram menatap pria di atasnya.

"Pak Bima kenapa tidur di lantai?" tanya pria itu yang ternyata satpam rumah, dia bernama Muklis.

"Di lantai? Masa, sih?" Bima mengucek kedua matanya, lalu menatap sekeliling. Benar, dia ada di lantai. Segera dia pun bangun hingga berdiri dibantu oleh Muklis.

"Apa tadi Bapak dijahati seseorang pas masuk ke kamar Nona Kaila?" tanya Muklis.

"Dijahati?" Bima terlihat seperti orang linglung. Wajar saja, dia memang tak ingat apa-apa sebab pengaruh alkohol. Sekarang saja kepalanya terasa sakit dan berat, bedanya sekarang Bima sudah sadar. "Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba ada di sini."

Bima berjalan menuju ranjang Kaila sembari menyentuh kepalanya, keningnya mengerenyit saat mendapati anaknya itu tak ada di sana. "Di mana si cantik Kaila? Kok nggak ada?"

"Dia di kamar sebelah, Pak. Dibawa sama Jenny."

"Siapa Jenny?"

"Ibu susu anak Bapak."

"Oh ...." Bima sudah mendengar dari Budi kalau sudah ada ibu susu untuk anaknya, hanya saja dia tak tahu namanya.

"Benar Bapak nggak kenapa-kenapa? Mbak Weni bilang kalau Jenny mau diperkosa."

Mata Bima membulat sempurna, rasa kantuk yang sempat menyeruak itu langsung hilang seketika. "Diperkosa? Sama siapa? Bagaimana bisa orang yang baru kerja di rumahku ada yang mau memperkosa?" tanyanya dengan tegas. Kedua tangannya sudah mengepal kuat. Orang-orang bawahannya adalah tanggung jawabnya. Jika ada yang menjahati tentu Bima turun tangan.

"Saya nggak tahu, mangkanya saya ke sini untuk memastikannya, Pak. Tapi hanya ada Bapak yang tergeletak di lantai."

"Ah, pasti orang itu habis memukulku. Dan ...." Bima menyentuh benjolan pada kepala belakangnya. "Kepalaku juga seperti terbentur sesuatu. Kamu coba cek semua CCTV. Mungkin saja ada orang yang menyelinap masuk. Itu bahaya sekali, apa lagi sampai mencelakai Kaila."

"Siap, Pak. Saya akan mengecek CCTV sekarang juga."

Muklis langsung menunduk hormat, lalu berlari keluar dari kamar itu. Bima seketika merasa bingung sendiri tentang mengapa dirinya bisa ada di sini. Yang dia ingat, Bima sempat pergi ke bar dengan teman-temannya untuk meminum alkohol demi menghilangkan rasa setres di otaknya. Sudah hanya itu saja, dan alasannya sudah pulang pasti karena Budi yang mengantar. Pria itu sudah sering melakukannya.

Setiap Bima pergi minum, dia pasti menyusul karena ingin mengantarnya pulang.

"Pasti ini kerjaan pria br*ngsek yang mau memperkosa Jenny. Kalau Muklis dapat menemukannya ... aku langsung beri dia pelajaran!" Bima mengepalkan kedua tangannya, lalu berjalan keluar kamar itu menuju kamarnya sendiri.

***

Keesokan harinya.

Ceklek~

Weni membuka pintu kamar, dilihat Jenny tengah menyusui Kaila. Gadis itu tampak seperti habis mandi, rambutnya pun basah.

"Jen, ayok turun. Kamu dipanggil Pak Bima." Weni berjalan menghampiri Jenny, lalu mengendong Kaila. Kebetulan bayi cantik itu memang sudah sejak tadi menyusu dan sepertinya sudah kenyang.

"Pak Bima sudah pulang, Mbak?"

Weni mengangguk. "Iya, ayok turun. Temui dia di ruang tamu."

"Iya, Mbak." Jenny mengangguk, dia pun membereskan rambutnya terlebih dahulu. Lalu menatap dress selutut yang dia kenakan, cukup sopan meskipun pakaian itu tampak kusut dan ada beberapa jahitan tangan pada roknya. 'Semoga Pak Bima orangnya baik hati.'

Jenny terus berdoa sambil menuruni anak tangga, langkah kakinya itu langsung terhenti di ruang tamu tepat di mana seorang pria tampan berjas merah maroon sedang duduk menyilang kaki di sofa single.

Mata Jenny seketika membulat, wajah pria itu adalah pria yang hendak memperkosanya semalam.

Berbeda dengan Jenny yang tampak syok saat pandangannya bertemu, Bima justru mengerutkan dahi sebab merasa wajah Jenny tampak familiar.

"Tolong!" teriak Jenny yang mana membuat Bima terperangah, dia tampak bingung melihat gadis itu yang berjalan mundur menghindarinya.

"Kenapa kamu minta tolong?" tanya Bima.

Jenny menoleh ke kanan dan kiri, dia mencari-cari seseorang yang ternyata adalah Bima. Tetapi dia sendiri tak tahu jika Bima adalah orang yang berada di depannya.

"Pak Bima, Pak!" teriak Jenny.

"Ada apa?" tanya Bima bingung, dia lantas berdiri lalu melangkah menghampiri Jenny.

"Bapak jangan mendekat!" tekan Jenny sembari menuding jari telunjuknya ke wajah Bima. "Pak Bima!" teriak Jenny sekali lagi.

"Iya, ada apa?" tanya Bima lagi.

"Aku bukan panggil Bapak! Tapi Pak Bima!" berang Jenny emosi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status