Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.
Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.Kreek...Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam."Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar."Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget, sebab kali ini jiwanya merasa terancam.Pria yang masih bermain dengan dadanya itu seolah tak mendengar apa-apa, dia malah mengisapnya dengan semangat seperti bayi yang tengah kehausan."Siapa pun tolong aku ... Aaakkkhhh!" pekik Jenny sambil mengerang. Dia merasa ngilu akibat gigitan kasar dari pria itu.Jenny menarik napasnya dalam-dalam, lalu perlahan membuangnya. Tangannya pun langsung meraba-raba tubuh pria itu, mencari-cari asetnya. Setelah ketemu, dia pun mencengkeramnya dengan kuat hingga membuat pria itu berlonjak kaget seraya melepaskan bibirnya di dada Jenny. Tubuhnya sudah tak menghimpit lagi gadis itu sebab kini merasakan ngilu pada inti tubuhnya."Aaawwaw!" rintihnya meringis sambil memegangi inti tubuh. "Kenapa kamu menyakiti rudalku, Raya?" tanyanya pada Jenny dengan wajah sedih. Tetapi gadis itu dengan cepat mendorong tubuhnya hingga terjungkal dari kasur, dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk meloloskan diri.Bruk!"Aaakkkkhhh!" teriak pria itu saat merasakan kepala belakangnya terhantam lantai, sangat sakit hingga membuatnya jatuh pingsan.Jenny segera turun dari kasur lalu berlari mengambil Kaila sebab bayi itu menangis sejak tadi, setelahnya dia pun berlari keluar."Jenny, kenapa kamu?" tanya Weni yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar, tangannya memegang teko kaca. Dia tampaknya habis mengambil air di dapur."Mbak, ada orang jahat masuk rumah ini. Aku mau diperkosa!"Jenny terlihat ketakutan, wajahnya pucat dan berkeringat. Dia pun segera berlari masuk ke dalam kamar Weni dan menarik tubuh wanita itu supaya ikut. Cepat-cepat dia pun mengunci pintu itu, lalu duduk di atas kasur dan menyusui Kaila demi menghentikan tangisnya."Orang jahat? Serius kamu, Jen? Di mana?" tanya Weni penasaran. Seketika bulu kuduknya berdiri, dia pun menyentuh kedua bahu Jenny dan pandangannya langsung terjatuh pada bajunya yang robek. "Astaga, apa ini juga perbuatan pria itu?" tanyanya sambil menyentuh baju.Jenny mengangguk cepat. "Iya, dia yang melakukannya. Dia menciumku dan sempat menyusu." Jenny memeluk tubuh Kaila dengan lembut, lalu menaikkan kedua kakinya ke atas kasur."Di mana orangnya? Kamu ketemu di mana?" Weni duduk di samping Jenny lalu memberikan segelas air putih supaya membuat hatinya sedikit tenang. Weni mengerti, pasti Jenny sangat syok."Di kamarnya Nona Kaila. Dia tiba-tiba datang dan menciumku, Mbak.""Masa, sih? Sebentar ... aku coba telepon satpam rumah dulu supaya dia mengeceknya." Weni mengambil ponselnya di atas nakas, lalu menelepon satpam rumah. Setelah diangkat dia pun langsung menjelaskan semuanya.***Bima membuka matanya yang terasa berat itu secara paksa akibat tepukan dipundaknya. Matanya mengerjap berulang kali sebab pandangannya terasa buram menatap pria di atasnya."Pak Bima kenapa tidur di lantai?" tanya pria itu yang ternyata satpam rumah, dia bernama Muklis."Di lantai? Masa, sih?" Bima mengucek kedua matanya, lalu menatap sekeliling. Benar, dia ada di lantai. Segera dia pun bangun hingga berdiri dibantu oleh Muklis."Apa tadi Bapak dijahati seseorang pas masuk ke kamar Nona Kaila?" tanya Muklis."Dijahati?" Bima terlihat seperti orang linglung. Wajar saja, dia memang tak ingat apa-apa sebab pengaruh alkohol. Sekarang saja kepalanya terasa sakit dan berat, bedanya sekarang Bima sudah sadar. "Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba ada di sini."Bima berjalan menuju ranjang Kaila sembari menyentuh kepalanya, keningnya mengerenyit saat mendapati anaknya itu tak ada di sana. "Di mana si cantik Kaila? Kok nggak ada?""Dia di kamar sebelah, Pak. Dibawa sama Jenny.""Siapa Jenny?""Ibu susu anak Bapak.""Oh ...." Bima sudah mendengar dari Budi kalau sudah ada ibu susu untuk anaknya, hanya saja dia tak tahu namanya."Benar Bapak nggak kenapa-kenapa? Mbak Weni bilang kalau Jenny mau diperkosa."Mata Bima membulat sempurna, rasa kantuk yang sempat menyeruak itu langsung hilang seketika. "Diperkosa? Sama siapa? Bagaimana bisa orang yang baru kerja di rumahku ada yang mau memperkosa?" tanyanya dengan tegas. Kedua tangannya sudah mengepal kuat. Orang-orang bawahannya adalah tanggung jawabnya. Jika ada yang menjahati tentu Bima turun tangan."Saya nggak tahu, mangkanya saya ke sini untuk memastikannya, Pak. Tapi hanya ada Bapak yang tergeletak di lantai.""Ah, pasti orang itu habis memukulku. Dan ...." Bima menyentuh benjolan pada kepala belakangnya. "Kepalaku juga seperti terbentur sesuatu. Kamu coba cek semua CCTV. Mungkin saja ada orang yang menyelinap masuk. Itu bahaya sekali, apa lagi sampai mencelakai Kaila.""Siap, Pak. Saya akan mengecek CCTV sekarang juga."Muklis langsung menunduk hormat, lalu berlari keluar dari kamar itu. Bima seketika merasa bingung sendiri tentang mengapa dirinya bisa ada di sini. Yang dia ingat, Bima sempat pergi ke bar dengan teman-temannya untuk meminum alkohol demi menghilangkan rasa setres di otaknya. Sudah hanya itu saja, dan alasannya sudah pulang pasti karena Budi yang mengantar. Pria itu sudah sering melakukannya.Setiap Bima pergi minum, dia pasti menyusul karena ingin mengantarnya pulang."Pasti ini kerjaan pria br*ngsek yang mau memperkosa Jenny. Kalau Muklis dapat menemukannya ... aku langsung beri dia pelajaran!" Bima mengepalkan kedua tangannya, lalu berjalan keluar kamar itu menuju kamarnya sendiri.***Keesokan harinya.Ceklek~Weni membuka pintu kamar, dilihat Jenny tengah menyusui Kaila. Gadis itu tampak seperti habis mandi, rambutnya pun basah."Jen, ayok turun. Kamu dipanggil Pak Bima." Weni berjalan menghampiri Jenny, lalu mengendong Kaila. Kebetulan bayi cantik itu memang sudah sejak tadi menyusu dan sepertinya sudah kenyang."Pak Bima sudah pulang, Mbak?"Weni mengangguk. "Iya, ayok turun. Temui dia di ruang tamu.""Iya, Mbak." Jenny mengangguk, dia pun membereskan rambutnya terlebih dahulu. Lalu menatap dress selutut yang dia kenakan, cukup sopan meskipun pakaian itu tampak kusut dan ada beberapa jahitan tangan pada roknya. 'Semoga Pak Bima orangnya baik hati.'Jenny terus berdoa sambil menuruni anak tangga, langkah kakinya itu langsung terhenti di ruang tamu tepat di mana seorang pria tampan berjas merah maroon sedang duduk menyilang kaki di sofa single.Mata Jenny seketika membulat, wajah pria itu adalah pria yang hendak memperkosanya semalam.Berbeda dengan Jenny yang tampak syok saat pandangannya bertemu, Bima justru mengerutkan dahi sebab merasa wajah Jenny tampak familiar."Tolong!" teriak Jenny yang mana membuat Bima terperangah, dia tampak bingung melihat gadis itu yang berjalan mundur menghindarinya."Kenapa kamu minta tolong?" tanya Bima.Jenny menoleh ke kanan dan kiri, dia mencari-cari seseorang yang ternyata adalah Bima. Tetapi dia sendiri tak tahu jika Bima adalah orang yang berada di depannya."Pak Bima, Pak!" teriak Jenny."Ada apa?" tanya Bima bingung, dia lantas berdiri lalu melangkah menghampiri Jenny."Bapak jangan mendekat!" tekan Jenny sembari menuding jari telunjuknya ke wajah Bima. "Pak Bima!" teriak Jenny sekali lagi."Iya, ada apa?" tanya Bima lagi."Aku bukan panggil Bapak! Tapi Pak Bima!" berang Jenny emosi."Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja." Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri. Kabar te
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!" Lukman sudah meninggalkan ruangan, tapi suaranya
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek