"... rasanya ada yang perlu kamu tahu soal dia.”Asha menghela napas panjang, "Nggak perlu, Ta. Aku nggak mau tahu apapun soal dia." ucap Asha tegas. Untuk apa dia tahu perihal lelaki itu? Sangat tidak penting! Asha sudah tidak mau peduli lagi padanya, apapun itu! "Ah ... baiklah, aku kirim ke kamu undangannya, Sha. Jangan khawatir, aku sama mas Geri bakalan datang, nemenin kamu di sana!" ujar suara itu lirih. Asha tersenyum, hatinya menghangat. Kepalanya refleks mengangguk dengan senyum di wajah. "Makasih banyak, ya? Aku bener-bener bersyukur punya sepupu sebaik kamu, Ta!" ucap Asha tulus. "Kita saudara, keluarga kamu udah banyak bantu keluarga aku, Sha. Jadi mungkin ini yang bisa aku lakukan untuk balas semua itu." Ista menjeda kalimatnya, "Aku tutup dulu, ya? Kita ketemu besok di sana!"Tut! Sambungan telepon terputus, disusul notifikasi pesan masuk. Asha segera membuka pesan dari Ista, sejenak Asha tertawa lirih, ia beringsut duduk di sofa tanpa melepaskan pandangan dari fot
"Asha, Ibu mau pamit pulang dulu!"Sosok itu kembali muncul, setelah beberapa lama pergi dari sini. Asha bangkit, ia mengangguk sembari menyunggingkan seulas senyum. "Eh ... Sabrina bangun?" tanya Reni seraya mendekat ke arah box. "Iya baru beberapa saat yang lalu, Ibu." jawab Asha sembari menyingkir barang beberapa langkah. Reni segera fokus pada Sabrina, ia mengambil bayi itu dari box, menggendong Sabrina sembari mendaratkan beberapa ciuman di puncak kepala. Asha tersenyum melihat pemandangan itu, namun sejenak ia terpikirkan sesuatu. "Bu, Asha boleh tanya?" Wajah Reni terangkat, ia menoleh dan menatap Asha dengan tatapan serius. "Boleh. Mau tanya apa?"Asha menelan ludah, ada perasaan takut dalam hatinya. Namun Asha tergerak untuk cari tahu, hatinya seperti belum tenang, tak peduli sebenarnya ia sangat takut. "Tadi bu Gina bilang kalau dia tidak akan datang kemari selama saya masih mengurus Sabrina. Apakah dia akan benar-benar begitu, Bu? Maksud Asha ... Asha jadi nggak e--"
"Ti-tidak, Bu. Saya nggak diapa-apain." tegas Asha cepat. Ia memang tidak diapa-apakan oleh perempuan itu, jadi jangan sampai Reni salah paham dan itu makin membuat masalah ini jadi pelik. Tatapan Reni melunak, ia mengusap bahu Asha dengan lembut. "Lantas? Jonathan marahin kamu?"Kembali Asha menggelengkan kepala. Walaupun sebenarnya tadi ia memang dimarahi oleh lelaki itu."Oh, bukan juga, ya?" sahut Reni. Wanita itu mengamati wajah Asha. "Terus kamu kenapa nangis begini? Ada apa?" kejar Reni nampak tidak puas, sorot penasaran tergambar jelas di mata perempuan itu. Reni memang terlampau peduli padanya sejauh ini. Wanita dengan sikap keibuan itu mengingatkan Asha pada orang tuanya sendiri. Tanpa sadar, pemikiran itu membuat hati Asha makin sakit."Sa-saya nggak ngerti juga, Ibu. Tadi saya nggak sengaja curi dengar obrolan bapak sama ibu Gina, refleks aja nangis begini." ucap Asha akhirnya jujur. Kini kening Reni berkerut, matanya bersorot tajam penuh penasaran. "Mereka ngomongi
"Mama nggak suka ya, Jo!" ucap suara itu dengan ketus, "Kamu udah nggak anggap mama ini mertua kamu? Mentang-mentang anak mama udah nggak ada?"Seketika langkah kaki Asha terhenti, ia yang tadinya hendak mengambil sesuatu langsung mengurungkan niatnya begitu mendengar keributan itu. Suara itu ... Asha menyipitkan matanya, berusaha mengingat betul di mana dan kapan ia pernah mendengar suara itu. Belum sempat Asha mendapatkan ingatannya, kembali percakapan itu tertangkap oleh telinganya. "Bukan gitu, Ma ... Jonathan udah jelasin, kan tadi? Boleh Mama bawa Sabrina menginap, tapi harus satu paket dengan Asha." jelas suara itu, Asha kenal betul suara ini. Ini Jonathan! Majikannya! "Pikirmu dia siapa sampai mama harus ajak dia kerumah? Ayolah, jangan sekaku ini, Jo!" Kini Asha ingat suara ini! Siapa pemilik suara ini! Wajah dan tatapan sinis itu terbayang-bayang dalam ingatannya, itu adalah mama mertua Jonathan! Bukankah tadi dia menyebut kata anak mama sudah nggak ada? Kenapa Asha tid
Jonathan melepaskan gown, ia segera mencuci tangan bersih-bersih dan melangkah keluar OK. Semua tanggungjawab Jonathan hari ini udah selesai, tinggal pulang kerumah, memantau semua dari rumah dan beristirahat. Baru saja satu langkah Jonathan pergi dari depan pintu OK, sosok itu sudah tertangkap oleh mata tengah melangkah dengan tergesa-gesa menghampiri Jonathan. "Loh Mama? Kok sampai sini?" tanya Jonathan heran. Meskipun bapaknya pemegang saham tertinggi di rumah sakit ini, baik bapak maupun ibu Jonathan, mereka tidak ada yang berpraktik di RS ini. Mereka punya klinik sendiri yang cukup besar skalanya, jadi jangan heran kalau Jonathan terkejut dengan kehadiran ibunya secara tiba-tiba. "Udah kelar? Mama mau ngomong." ucap Reni dengan nada serius. Semenit-dua menit, Jonathan paham alasan ibunya sampai jauh-jauh kemari pasti hendak membahas hal itu! Apalagi kalau bukan perselisihan sengit Jonathan dengan Gina lewat sambungan telepon tadi! "Mama Gina lapor ke Mama?" tanya Jonathan s
"Itu artinya ..."Jonathan bergumam, ia menatap Adit dengan pikiran berkecamuk. Sementara Adit, lelaki itu hanya mengangguk perlahan tanpa memalingkan pandangan. "Saya udah cek, Pak, memang benar. Bukan salah Bapak juga kalau tidak ngeh." lanjut Adit yang seketika membuat Jonathan menghela napas panjang. "Kirim semua data lengkap ke email saya, Dit. Tugas yang ini selesai tapi masih berkelanjutan, ya. Sekarang fokus ke tugas kamu yang satunya." titah Jonathan sembari menyesap kopi. "Baik, Pak. Hanya saja, saya tidak habis pikir, Pak." ucap Adit lirih. Jonathan kembali meletakkan cangkir, matanya tak lepas dari Adit, wajah Jonathan nampak lebih tenang dan santai. Agaknya ia sudah paham kemana arah pernyataan Adit barusan. "Tak habis pikir, kenapa?"Adit nampak takut-takut, ia meraih gelasnya, meneguk isi gelas sampai tinggal separuh. Sejenak setelah menelan kopi, Adit terdiam beberapa saat sampai kemudian kembali bersuara. "Bapak sampai sedetail ini ingin tahu, maaf kalau terkesa
"Mbak, ada paket nih!"Asha menoleh, ia mengangguk pelan sembari terus memperhatikan Sabrina yang sudah mulai tengkurap di playmate. Sani pun melangkah masuk, di tangannya ada satu kantong plastik yang cukup besar, sementara di tangan lainnya, ia membawa piring yang berisi gorengan. "Dari mbok Iin nih, spesial katanya." ucap Sani sembari ikut duduk di lantai dan meletakkan piring. "Pakai telur berapa nih?" kelakar Asha yang tidak bisa lagi menahan diri, ia segera mencomot sepotong gorengan hangat dari piring. "Mau pakai telor apa kagak, kalo bikinnya buat mbak Asha, pasti spesial! Gitu kata simbok." Sani ikut mencomot, mereka lantas tertawa bersama sembari menikmati gorengan. "Ngomong-ngomong, banyak amat paket, Mbak? Punya Sabrina?" tanya Sani dengan mulut penuh gorengan. "Iya. Bulan depan udah MPASI, bapak udah list noh apa-apa aja yang kudu dibeli. Yaudah aku cariin vie e-commerce aja." jawab Asha membenarkan, meskipun ada pula di antara paket-paket itu yang merupakan miliknya
"Pasti Mama mikir aneh-aneh nih!" Jonathan melangkah masuk ke dalam kamar, merentangkan kedua tangan dan menerima Sabrina dalam gendongannya. "Gimana nggak mikir aneh? Ka--"Reni tidak melanjutkan kalimatnya, ia menghela napas panjang lalu melangkah menuju pintu. Jonathan membulatkan mata, ia segera mengejar langkah ibunya sembari menggendong Sabrina. "Kamu bisa mandi dan istirahat dulu, Sha. Biar Sabrina sama saya!" ucap Jonathan sebelum menghilang dari pandangan Asha. Asha mengangguk-angguk, ia menghampiri meja ganti popok Sabrina, merapikan beberapa barang yang ditinggalkan Reni di atas sana. Setelah semua rapi, Asha meraih baskom di atas freezer, beberapa botol kotor ada di sana. Asha harus mencuci bersih-bersih botol dan merapikan kamar sebelum ia pergi mandi. Sejak dulu Asha paling tidak suka kamar berantakan dan itu terbawa sampai sekarang, apalagi semenjak tinggal di rumah Darmi, ia lah yang bertanggungjawab atas kebersihan rumah itu, membuat Asha jadi lincah dan fasih mem
"Serius, Mas! Saya bohong juga buat apa. Kan bisa dilihat sendiri kondisi makamnya gimana. Nggak ada yang dateng nengokin semenjak dipasang kijing."Asha menghela napas panjang, dadanya bergemuruh. Ia benar-benar marah detik ini. Pikirnya, dengan tidak mengizinkan Asha mengetahui di mana kuburan anak mereka, keluarga berengsek itu akan selalu berkunjung dan merawat makam ini, nyatanya mereka melupakan bayi yang meninggal karena keegoisan mereka begitu saja. Sementara itu, Jonathan menepuk bahu lelaki itu perlahan, satu tangannya merogoh saku, mengambil beberapa lembar uang dan menjejalkan uang itu ke tangan si penjaga makam. "Saya titip keponakan saya bisa ya, Pak? Ibunya pastiakan sering-sering berkunjung nanti." bisik Jonathan lirih, seolah ingin agar Asha tidak tahu. Lelaki itu mengangguk, ia segera memindahkan lembaran merah muda dari Jonathan ke dalam saku celananya. "Baik kalau begitu, Mas. Syukur kalau keluarga anak ini ada yang mau berkunjung. Saya kasian aja kalau liat ad