Share

3. Kita Menikah

Author: Author MungiL
last update Last Updated: 2024-08-28 18:31:49

Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya.

Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi.

Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan.

Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan sangat terpaksa wanita berusia hampir 50 tahun itu membuka pintu kamar sang anak.

"Dia berangkat kerja tanpa memasak makanan untukku? Anak tidak tahu diuntung!" hardiknya seraya masuk kamar seraya mengacak isi lemari untuk mencari data.

Bu isni tak sadar bahwa beberapa pakaian dari Yuvika menghilang. Beliau yang tak mau tahu urusan sang anak bahkan kini kesulitan mencari data penting itu. Apa pun yang ada dalam lemari, beliau keluarkan demi menemukan sebuah kertas.

"Sialan! Di mana dia menyimpan berkasnya?" Wanita itu mulai putus asa sekaligus kesal. Setiap sudut kamar sudah beliau jelajahi, namun hasilnya nihil.

"Maaf, Pak. Sepertinya Bapak harus kembali lagi nanti sore. Yuvika sudah berangkat kerja dan saya tidak tahu di mana dia menyimpan data dirinya. Seluruh kamarnya sudah saya cari, tapi tidak ketemu. Nanti sepulang kerja saya akan mintakan ke dia."

"Di mana dia bekerja? Biar saya yang ke sana. Pak Elsaki meminta secepatnya, saya tidak mungkin menunggu selama itu."

Tanpa pikir panjang Bu Isni memberikan alamat beserta arahan menuju pabrik yang ditempati Yuvika mencari nafkah selama delapan tahun.

Dengan segera, pria yang dipercaya untuk mengurusi segala keperluan Elsaki itu meluncur ke tempat yang dimaksud. Tidak sampai lima menit ia sampai.

"Apa? Dia absen?" beo pria itu seraya melihat daftar absen yang berupa mesin absensi pabrik itu.

Tak mau buang waktu, ia segera menghubungi Elsaki untuk melapor. Ia mencurigai sesuatu, namun tetap saja ia harus membicarakan ini dengan atasannya.

"Maaf, Pak. Sepertinya Nona Yuvika melarikan diri..." Pria itu mulai menceritakan secara runtut apa saja yang ia lakukan hari ini.

"Cari sampai dapat! Dia hanyalah seekor kecoa yang berusaha melarikan diri bayangan kegelapan."

Elsaki memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia tak perlu cemas, khawatir, apalagi takut jika Yuvika tidak ditemukan. Seperti yang ia bilang tadi, wanita itu bagaikan kecoa yang tak punya power apa-apa untuk melarikan diri dari seorang Elsaki.

Sementara itu, Yuvika sudah tiba di terminal. Ia akan pergi ke kota mana pun yang tiketnya masih tersisa. Ia tahu ini sangat beresiko, ia tak punya tujuan lantaran kepergiannya yang mendadak dan tanpa perhitungan yang matang. Dengan tekad yang bulat dan usahanya yang kuat, ia berharap langkah yang ia ambil tidak salah dan akan membuahkan hasil yang ia inginkan.

Namun sayang, harapan yang ia cetuskan dalam hati dan pikirannya berbanding terbalik dengan kenyataan. Belum sempat ia membeli tiket, mulutnya sudah dibekap oleh seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. Yuvika berusaha memberontak, tetapi terasa percuma saja lantaran dirinya sudah lemah dan kalah dari sisi tenaga.

***

Yuvika mengerjapkan mata. Pusing masih mendera saat ia berusaha untuk mengingat apa yang terjadi. Bukannya ingat, ia justru semakin bingung saat berada di sebuah ruangan yang mirip kamar, dengan nuansa putih yang sangat dominan di sana. Langit-langit dan dinding putih bersih seakan memantulkan cahaya yang terlalu terang, membuat matanya sedikit perih. Ia seketika terduduk dengan rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti. Wanita itu menundukkan kepala seolah memastikan tak ada sesuatu yang terjadi padanya.

Perlahan, ia meraba-raba sekitarnya, menyadari bahwa ia berada di tempat yang asing. Tempat tidur yang ia duduki terasa empuk, dengan seprai putih yang rapi dan bersih. Di sudut ruangan terdapat meja kecil dengan vas bunga berisi bunga lili yang masih segar. Tak ada suara kecuali detak jantungnya yang semakin cepat.

"Kau sudah bangun?" suara seorang lelaki mengagetkannya.

Yuvika mendongak dengan terkejut, menatap pria yang berjalan ke arahnya. Untuk sesaat, ia tak menjawab, masih berusaha mengingat siapa lelaki itu dan bagaimana ia bisa berada di sini. Rasa takut dan bingung bercampur aduk dalam pikirannya.

Lelaki itu mengenakan kemeja putih yang terlihat mahal, dengan wajah yang memancarkan ketenangan, ia berjalan mendekat.

Yuvika menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia memaksa otaknya untuk bekerja lebih cepat, mencoba mengingat setiap detail yang mungkin dapat membantunya mengerti situasi ini. Namun, rasa pusing masih terlalu kuat, dan ia hanya bisa mengingat fragmen-fragmen samar dari kejadian sebelumnya.

"Kau pikir mudah lari dariku?" suara Elsaki kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Nada suaranya dingin, tanpa emosi.

Yuvika menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. Ia mencoba berbicara, namun suara yang keluar hanya bisikan lemah. Bukan karena takut, perutnya saat ini terasa lapar lantaran sejak pagi perutnya tak terisi apa pun.

"Apa yang kau harapkan diriku? Aku hanya wanita wanita biasa yang belum siap menikah. Aku tidak akan bisa melayanimu dengan baik. Jadi alangkah baiknya kau mencari pasangan yang memang siap menikah juga."

Elsaki tersenyum miring saat mendengar jawaban tak terduga dari wanita di depannya. Tak ia sangka, wanita ini banyak bicara dan tak lemah seperti di hadapan ibunya.

Ya, Elsaki tahu seluk beluk kehidupan Yuvika. Karena latar belakang Yuvika yang lemah dan mudah ditindas oleh ibunya itulah yang membuat Elsaki tertarik dengan wanita itu.

"Aku sudah mengeluarkan banyak uang, waktu, dan tenaga untuk sampai di titik ini. Tidak ada yang bisa merubah keputusanku, lagi pula aku sudah mengurus pernikahan kita. Untuk sekarang kau tinggal di sini, lusa kita akan menikah."

"Kau tidak bisa menikahiku kecuali kau bisa menemukan ayah kandungku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   49. Kotak Rahasia

    Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   48. Kotak Berharga

    Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   47. Tawaran Tinggal Bersama

    Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   46. Kecupan Seorang Ibu

    Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   45. Elsaki adalah Suamiku

    Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,

  • Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan   44.. Kau Yeman yang Baik

    Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status