Kulihat waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Brayen seperti biasa mengerjai pengasuhnya. Mau dipakaikan seragam sekolah saja pengasuhnya ngos-ngosan. Benar-benar ini bocah menguji iman.
Si Reza sok keren sudah siap berangkat ke kantor, asistennya begitu sibuk menyiapkan perlengkapannya. Aku mah cuek saja walau beberapa kali dia memandangku.
"Miss Rania memang pas mendampingi tuan Reza kita mah apalah cuma ART biasa, tidak naik-naik pangkat," ucap salah satu ART di rumah ini yang bagian menyapu rumah.
"Memangnya Miss Rania itu mau sama tuan Reza?" tanyaku. Kenapa pula aku begitu kepo.
"Sangat mau miss. Kami bahkan takut dekat dengan tuan Reza kalau ada Miss Rania. Dia suka melototin. Namun, sayang, tuan Reza tidak membuka hatinya sedikit pun dengan gadis-gadis di rumah ini."
"Oh, begitu. Kok jadi takut."
"Sebaiknya nona fokus saja dengan tugas nona disini, jangan dekat -dekat dengan tuan Reza saingannya semua ART di rumah ini. Haha ...." Oala, seketika pengen ngumumin. Woi, aku ini istri sahnya si Reza jangan dekat-dekat.
Daripada melihat si Reza yang tebar pesona sana sini lebih baik menuju ke kamar ibu mertua.
"Lagi buat apa, mbak?" tanyaku ke perawat yang biasa menjaga ibunya Reza.
"Lagi buat sarapan nyonya besar sekalian jadwal minum obatnya."
"Boleh aku ikut membantu?" tanyaku dan mereka mengangguk.
Makanan ibunya Reza juga sangat steril. Ada asisten khusunya. Aku sedikit curiga dengan perawat yang menjaga ibunya Reza karena mereka saling berbisik-bisik.
Kusiapkan selembar kertas dan langsung kutulis.
IBU ... INI NINA
KEADAAN NINA SUDAH SEHAT.MAKANAN INI NINA YANG SIAPKAN.IBU MAKAN YA. KALAU SEHAT NINA INGIN MENGAJAK IBU BERCERITA DI TAMAN BELAKANG RUMAH.Walau pernah disakiti, aku merasa ibunya Reza membutuhkanku. Kutaruh selembar kertas itu dibawah piring makan ibunya Reza. Makanan tersaji tidak lupa obat ditaruh oleh perawatnya. Kuambil ponsel lalu memfoto obat yang diberi perawat itu. Kuhubungi dokter Gunawan untuk mengecek obat yang kufoto.
[Assalamualaikum dok, ini aku Nina. Aku mau minta tolong lihatkan komposisi dan diperuntukkan untuk penyakit apa obat ini.]
Tak berselang lama dokter Gunawan membalas.
[Walaikumsalam, baik dek Nina. Tapi mohon bersabar kalau sedikit lama ya.] [Siap, Dok] send.Setidaknya ada tempat untuk bercerita. Misiku kali ini akan selalu membuat tulisan setiap ibunya Reza makan. Karena hanya itu kesempatan yang kupunya. Terserah diterima atau tidak tulisan yang kubuat.
***
Sorenya kulancarkan aksiku kembali menaruh selembar kertas dibawah piring makan ibunya Reza. Memberikan kata motivasi siapa tahu menjadi jalan kesembuhannya di rumah ini. Di rumah ini aku memang istimewa segala kebutuhanku dipenuhi, dan aku tidak diperbolehkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, jujur aku penasaran dengan obat yang kukirim ke dokter Gunawan.Terkadang yang kelihatan baik belum tentu baik. Aku tidak bisa selalu percaya dengan semua yang ada di rumah ini.
Aku mulai scrol cara bermain basket agar bisa mengalahkan si Reza.
Dokter Gunawan memanggil.
"Assalamualaikum ... Dek Nina."
"Waalaikumsalam ... pak Dokter." Entah mengapa banyak kupu-kupu dihatiku mendengar suaranya.
"Maaf Dek Nina, belum ada info dengan obat yang dek Nina kirim. Semoga besok sudah ada info."
"Gak apa-apa pak Dokter."
Hening, kami sama-sama bingung mau ngomong apa.
"Dek Nina lagi ngapain?"
"Ini lagi nonton bagaimana bermain bola basket." Dia terdengar tertawa.
"Itu permainan yang sangat menyenangkan Nina. Perbanyak latihan dan usahakan happy menjalaninya pasti cepat bisa."
"Aku akan berusaha pak Dokter, minggu depan aku lomba."
"Dalam rangka apa?"
"Dalam rangka mempertahankan hidupku dengan orang yang paling sok cool disini." Dokter Gunawan semakin keras tertawanya. Sepertinya dia paham maksudku.
"Jangan jadikan beban. Anggap saja hobi baru. Kapan mulai latihan biar saya ajarin."
"Beneran pak dokter?"
Tak berselang lama suara bariton yang sudah tak asing lagi berteriak.
"Romantis sekali sama pak dokternya!"
Oala, apa sebenarnya si Reza ini ada rasa?
Reza terus tersenyum melihat tingkah Brayen, mereka seperti cinta lama bersemi kembali. Tanpa harus berucap pun mereka saling merindukan. Hanya saja mereka malu untuk mengutarakan. Bisa dikatakan mereka sebenarnya memiliki sifat yang hampir mirip.“Bukan Brayen yang nakal, tapi Daddy. Apa daddy ingin menyiksa Brayen lebih lama lagi?” tanya Brayen kepada Reza yang masih memalingkan wajahnya. Sementara Nina dan Shaka mundur teratur, memberikan ruang waktu kepada Brayen dan Reza. Monica menatap sebentar kepada Brayen mantan suaminya itu. Tatapan harapan agar semuanya baik-baik saja. Brayen spontan memegang tangan Monica dengan lembut.“Semuanya pasti baik-baik saja sayang,” bisiknya. Ucapan lembut dari Brayen membuat Monica bergetar. Hati yang semula layu tumbuh bermekaran lagi. Cinta memang luar biasa membuat hati dan pikiran tak menentu. Monica pamit keluar ikut memberikan ruang waktu Reza dan Brayen agar mereka leluasa untuk bercerita. “Dad, kita baikan yuk, kita jalan-jalan lagi s
“Daddy ….” Bayen menitikkan air mata di samping Reza yang terbaring lemah, kenangan masa lalu keluarga bahagia seperti kaset yang berputar. Brayen terus menitikkan air mata“Maafkan Brayen, Dad ….” Terdengar serak, Brayen tidak bisa tidak membendung air mata yang keluar.“Abang … kita semalam masih bisa bercerita tentang anak-anak kita, kenapa abang hanya tidur saja sekarang.” Ya Allah sesak rasanya melihat Nina menangis disamping Reza.“Abang pasti bercanda ‘kan? seperti dulu waktu kita baru bersama di awal pernikahan kita.” Shaka memeluk bundanya, menenangkan agar Nina tidak bersedih.Reza baru saja balik dari kritisnya, jantungnya ternyata serius dan harus melakukan penanganan yang lebih intensif. Brayen memeluk Nina."Maafkan Brayen, Bund. Jika ada kesempatan kedua aku ingin menjadi anak yang baik bagi daddy " Pecah tangis mereka di ruangan, Shaka yang sedari tadi hanya diam, terus mengeluarkan air mata.“Dad ….” Monica yang baru sadar ikut mencium tangan Reza.“Monica belum jadi
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu