"Siapa bilang aku sibuk nona sok manis? Brayen siapkan bola basketnya, Daddy akan melawan nona ini." Dia mengedipkan mata dan Brayen mengangkat dua jempolnya.
"Ok siap, Daddy." Si bocah semangat sekali mendukung Daddy nya.
"Eh, tunggu dulu ...."
"Apalagi nona sok manis. Ha?" Dia mendekat. Kenapa lama-lama ini orang buat jantung rasanya mau copot.
"Tuan Reza tidak lihat kalau saya baru pulang dari rumah sakit. Butuh istirahat dulu, bagaimana kalau kita atur waktu." Aduh, kenapa juga aku bilang atur waktu.
"Kapan?" tanyanya. Jarak kami semakin dekat. Bisa habis oksigen ditubuhku dibuat.
"Satu minggu lagi. Bagaimana?"
"Baiklah ...." Dia makin mendekat dan secepat kilat aku masuk ke kamar. Benar-benar itu orang niat banget buat orang mati mendadak.
Eh, si bocah sama si Daddy nya malah tertawa melihat tingkahku.
Sampai malam aku tidak keluar kamar. Lebih tepatnya mengatur strategi. Satu minggu kedepan aku harus lebih kerja keras agar bisa main basket dan menjadi juaranya.
****
Bangun pagi aku lebih fresh. Bermunajat kepada Rabb-ku menceritakan segala resah gelisah yang kurasa. Beberapa kali kupasrah dengan hidup yang kujalani saat ini. Namun, seketika semuanya pudar ketika mengingat bahwa aku adalah istrinya si Reza.Ponselku berdering. Ada nama ibu di layar ponselku.
"Ibu ...."
"Nina ...."
"Assalamualaikum, Bu. Gimana kabar?"
"Alhamdulillah ibu sehat, bagaimana kabarmu." Inginku cerita sejujurnya, tapi tak mungkin nanti menjadi beban bagi ibu.
"Nina sehat, Bu. Nina kangen dengan ibu."
"Ibu juga, Nin. Baik-baik disana ya, ibu yakin kamu akan bahagia dengan nak Reza."
Suasana tiba-tiba hening. Bahagia? Semoga itu benar menimpaku. Aku menutup telpon dari ibu karena suara azan subuh berkumandang. Jika ibu saja yakin aku bahagia, mengapa aku tidak yakin. Tak terasa hari ini hari Kamis. Sebenarnya ingin berpuasa seperti yang sering kulakukan di desa, tapi aku baru saja sehat. Tidak mungkin memaksakan kehendak.
Setelah selesai mengadu kepada-Nya. Aku langsung membersihkan kamar dan menuju dapur. Pagi ini entah mengapa aku ingin membuatkan Reza secangkir kopi.
"Nona sedang apa, ini masih sangat pagi?" Tanya Miss Dora.
"Sedang buat kopi sekalian untuk tuan Reza."
"Nona tidak tahu kalau tuan Reza tidak suka minum kopi?" Maksudnya? Terus di rumah ibu kemarin bukannya dia begitu semangat minum kopi apa itu palsu?
"Oh, terus dia minum apa, Miss?" Dia nampak bingung karena aku tiba-tiba ingin membuatkan Reza minuman karena dua gelas sudah kusiapkan.
"Nona tidak salah pagi-pagi ...." Dia nampak curiga apa hubunganku dengan tuannya.
"Jangan mikir yang tidak-tidak, Miss. Ini hanya ungkapan terima kasih saja karena dia membantuku di rumah sakit kemarin."
"Itu hal biasa jika Tuan perhatian dan menjaga semua pekerjanya yang sedang sakit termasuk Nona juga yang ada di rumah ini." Tarik nafas, Nin. Aku ini istrinya, Miss. Bukan pembantunya.
"Iya, kenapa juga nona harus repot. Tuan Reza sudah ada asisten khusus di rumah ini. Namanya Miss Rania," ucap salah satu ART yang bertugas di dapur.
"Itu, Miss Rania." Miss Dora menunjuk gadis cantik yang setiap hari melayani Reza. Gaya sekali si Reza ini punya asisten khusus untuk melayani semua kebutuhannya.
"Miss, sarapan Tuan Reza apakah sudah ready. Jangan lupa makanannya harus fresh pagi ini." Hm, seketika aku mundur apalah daya aku yang hanya bisa membuat pisang goreng dan kopi sebagai cemilan pagi.
"Jangan lupa takarannya harus pas, karena Tuan akan berkunjung ke luar negeri Minggu depan untuk Mega proyeknya. Pastikan makanan yang dikonsumsi harus sehat dan bergizi." Ya sudahlah, memang aku ini hanya istri diatas kertas saja.
Bisa dikatakan Reza ini orang kalangan atas yang semua kebutuhannya sudah ada yang membantu. Asisten di rumah dan di kantor bahkan berbeda. Lalu, untuk apa cari istri? Dan lucunya lagi istrinya dari Desa. Seketika aku insecure dengan si Reza.
"Morning ...." Si Reza menyambut semua pelayannya. Kesambet kali bangun pagi-pagi.
Seperti biasa dia dengan gaya coolnya keluar. Daripada melihat tingkah si Reza yang banyak gaya lebih baik aku ke taman belakang saja sambil melihat bagaimana keadaan ibu mertua saat ini.
"Mau kemana? Kenapa ada dua gelas kopi ditanganmu?" Tanyanya menghalangiku.
"Awalnya mau buatkan tuan kopi, tapi sepertinya saya salah besar, ternyata tuan tidak suka dengan kopi. Jadi kopi ini saya kasih pak Jum saja," jawabku sambil mengedipkan mata. Tidak sabar melihat reaksinya.
"Eh, tunggu. Sini kopinya, enak sekali pak Jum dibuatkan." Seperti biasa dia langsung mengambil satu gelas ditanganku. Dasar orang aneh.
Rania dan Miss Dora salin berpandangan
"Tuan ...." Ah, biarkan saja dengan mereka yang akan ceramah melihat tuannya minum kopi, lebih baik kunikmati secangkir kopi ini di taman belakang. Hidup sudah berat jangan makin berat hanya gara-gara secangkir kopi untuk tuan yang sok cool itu.Rumah ini sungguh besar bak istana. Di belakang ada taman tempat bersantai ria. Ah, seketika aku berkhayal bisa duduk dengan ibu mertua, dimana kami bercerita ini itu sebagai seorang anak dan orang tua.
"Jadi wanita itu jangan sering minum kopi, tidak baik bagi kesehatan." Siapa lagi kalau bukan Tuan Reza yang terhormat punya suara.
Yah, mau gimana lagi desa kami yang berada di bawah kaki gunung dengan udara yang dingin membuat kami menyukai minuman yang satu ini. Rasanya hangat dan menyegarkan di pagi hari.
"Jangan lupa seminggu lagi kita bertanding, siapkan diri karena aku bisa mengalahkanmu," ucapnya sambil berlalu. Memang sudah menjadi kebiasaannya mungkin datang sesuka hati dan pergi begitu saja.
Reza terus tersenyum melihat tingkah Brayen, mereka seperti cinta lama bersemi kembali. Tanpa harus berucap pun mereka saling merindukan. Hanya saja mereka malu untuk mengutarakan. Bisa dikatakan mereka sebenarnya memiliki sifat yang hampir mirip.“Bukan Brayen yang nakal, tapi Daddy. Apa daddy ingin menyiksa Brayen lebih lama lagi?” tanya Brayen kepada Reza yang masih memalingkan wajahnya. Sementara Nina dan Shaka mundur teratur, memberikan ruang waktu kepada Brayen dan Reza. Monica menatap sebentar kepada Brayen mantan suaminya itu. Tatapan harapan agar semuanya baik-baik saja. Brayen spontan memegang tangan Monica dengan lembut.“Semuanya pasti baik-baik saja sayang,” bisiknya. Ucapan lembut dari Brayen membuat Monica bergetar. Hati yang semula layu tumbuh bermekaran lagi. Cinta memang luar biasa membuat hati dan pikiran tak menentu. Monica pamit keluar ikut memberikan ruang waktu Reza dan Brayen agar mereka leluasa untuk bercerita. “Dad, kita baikan yuk, kita jalan-jalan lagi s
“Daddy ….” Bayen menitikkan air mata di samping Reza yang terbaring lemah, kenangan masa lalu keluarga bahagia seperti kaset yang berputar. Brayen terus menitikkan air mata“Maafkan Brayen, Dad ….” Terdengar serak, Brayen tidak bisa tidak membendung air mata yang keluar.“Abang … kita semalam masih bisa bercerita tentang anak-anak kita, kenapa abang hanya tidur saja sekarang.” Ya Allah sesak rasanya melihat Nina menangis disamping Reza.“Abang pasti bercanda ‘kan? seperti dulu waktu kita baru bersama di awal pernikahan kita.” Shaka memeluk bundanya, menenangkan agar Nina tidak bersedih.Reza baru saja balik dari kritisnya, jantungnya ternyata serius dan harus melakukan penanganan yang lebih intensif. Brayen memeluk Nina."Maafkan Brayen, Bund. Jika ada kesempatan kedua aku ingin menjadi anak yang baik bagi daddy " Pecah tangis mereka di ruangan, Shaka yang sedari tadi hanya diam, terus mengeluarkan air mata.“Dad ….” Monica yang baru sadar ikut mencium tangan Reza.“Monica belum jadi
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu