Share

Part 6

"Siapa bilang aku sibuk nona sok manis? Brayen siapkan bola basketnya, Daddy akan melawan nona ini." Dia mengedipkan mata dan Brayen mengangkat dua jempolnya.

"Ok siap, Daddy." Si bocah semangat sekali mendukung Daddy nya. 

"Eh, tunggu dulu ...."

"Apalagi nona sok manis. Ha?" Dia mendekat. Kenapa lama-lama ini orang buat jantung rasanya mau copot.

"Tuan Reza tidak lihat kalau saya baru pulang dari rumah sakit. Butuh istirahat dulu, bagaimana kalau kita atur waktu." Aduh, kenapa juga aku bilang atur waktu.

"Kapan?" tanyanya. Jarak kami semakin dekat. Bisa habis oksigen ditubuhku dibuat.

"Satu minggu lagi. Bagaimana?"

"Baiklah ...." Dia makin mendekat dan secepat kilat aku masuk ke kamar. Benar-benar itu orang niat banget buat orang mati mendadak.

Eh, si bocah sama si Daddy nya malah tertawa melihat tingkahku. 

Sampai malam aku tidak keluar kamar. Lebih tepatnya mengatur strategi. Satu minggu kedepan aku harus lebih kerja keras agar bisa main basket dan menjadi juaranya.

****

Bangun pagi aku lebih fresh. Bermunajat kepada Rabb-ku menceritakan segala resah gelisah yang kurasa. Beberapa kali kupasrah dengan hidup yang kujalani saat ini. Namun, seketika semuanya pudar ketika mengingat bahwa aku adalah istrinya si Reza.

Ponselku berdering. Ada nama ibu di layar ponselku.

"Ibu ...."

"Nina ...."

"Assalamualaikum, Bu. Gimana kabar?"

"Alhamdulillah ibu sehat, bagaimana kabarmu." Inginku cerita sejujurnya, tapi tak mungkin nanti menjadi beban bagi ibu.

"Nina sehat, Bu. Nina kangen dengan ibu."

"Ibu juga, Nin. Baik-baik disana ya, ibu yakin kamu akan bahagia dengan nak Reza."

Suasana tiba-tiba hening. Bahagia? Semoga itu benar menimpaku. Aku menutup telpon dari ibu karena suara azan subuh berkumandang. Jika ibu saja yakin aku bahagia, mengapa aku tidak yakin. Tak terasa hari ini hari Kamis. Sebenarnya ingin berpuasa seperti yang sering kulakukan di desa, tapi aku baru saja sehat. Tidak mungkin memaksakan kehendak.

Setelah selesai mengadu kepada-Nya. Aku langsung membersihkan kamar dan menuju dapur. Pagi ini entah mengapa aku ingin membuatkan Reza secangkir kopi.

"Nona sedang apa, ini masih sangat pagi?" Tanya Miss Dora.

"Sedang buat kopi sekalian untuk tuan Reza."

"Nona tidak tahu kalau tuan Reza tidak suka minum kopi?" Maksudnya? Terus di rumah ibu kemarin bukannya dia begitu semangat minum kopi apa itu palsu?

"Oh, terus dia minum apa, Miss?" Dia nampak bingung karena aku tiba-tiba ingin membuatkan Reza minuman karena dua gelas sudah kusiapkan.

"Nona tidak salah pagi-pagi ...." Dia nampak curiga apa hubunganku dengan tuannya.

"Jangan mikir yang tidak-tidak, Miss. Ini hanya ungkapan terima kasih saja karena dia membantuku di rumah sakit kemarin."

"Itu hal biasa jika Tuan perhatian dan menjaga semua pekerjanya yang sedang sakit termasuk Nona juga yang ada di rumah ini." Tarik nafas, Nin. Aku ini istrinya, Miss. Bukan pembantunya.

"Iya, kenapa juga nona harus repot. Tuan Reza sudah ada asisten khusus di rumah ini. Namanya Miss Rania," ucap salah satu ART yang bertugas di dapur.

"Itu, Miss Rania." Miss Dora menunjuk gadis cantik yang setiap hari melayani Reza. Gaya sekali si Reza ini punya asisten khusus untuk melayani semua kebutuhannya.

"Miss, sarapan Tuan Reza apakah sudah ready. Jangan lupa makanannya harus fresh pagi ini." Hm, seketika aku mundur apalah daya aku yang hanya bisa membuat pisang goreng dan kopi sebagai cemilan pagi.

"Jangan lupa takarannya harus pas, karena Tuan akan berkunjung ke luar negeri Minggu depan untuk Mega proyeknya. Pastikan makanan yang dikonsumsi harus sehat dan bergizi." Ya sudahlah, memang aku ini hanya istri diatas kertas saja. 

Bisa dikatakan Reza ini orang kalangan atas yang semua kebutuhannya sudah ada yang membantu. Asisten di rumah dan di kantor bahkan berbeda. Lalu, untuk apa cari istri? Dan lucunya lagi istrinya dari Desa. Seketika aku insecure dengan si Reza.

"Morning ...." Si Reza menyambut semua pelayannya. Kesambet kali bangun pagi-pagi. 

Seperti biasa dia dengan gaya coolnya keluar. Daripada melihat tingkah si Reza yang banyak gaya lebih baik aku ke taman belakang saja sambil melihat bagaimana keadaan ibu mertua saat ini.

"Mau kemana? Kenapa ada dua gelas kopi ditanganmu?" Tanyanya menghalangiku.

"Awalnya mau buatkan tuan kopi, tapi sepertinya saya salah besar,  ternyata tuan tidak suka dengan kopi. Jadi kopi ini saya kasih pak Jum saja," jawabku sambil mengedipkan mata. Tidak sabar melihat reaksinya. 

"Eh, tunggu. Sini kopinya, enak sekali pak Jum dibuatkan." Seperti biasa dia langsung mengambil satu gelas ditanganku. Dasar orang aneh. 

Rania dan Miss Dora salin berpandangan 

"Tuan ...." Ah, biarkan saja dengan mereka yang akan ceramah melihat tuannya minum kopi, lebih baik kunikmati secangkir kopi ini di taman belakang. Hidup sudah berat jangan makin berat hanya gara-gara secangkir kopi untuk tuan yang sok cool itu.

Rumah ini sungguh besar bak istana. Di belakang ada taman tempat bersantai ria. Ah, seketika aku berkhayal bisa duduk dengan ibu mertua, dimana kami bercerita ini itu sebagai seorang anak dan orang tua.

"Jadi wanita itu jangan sering minum kopi, tidak baik bagi kesehatan." Siapa lagi kalau bukan Tuan Reza yang terhormat punya suara.

Yah, mau gimana lagi desa kami yang berada di bawah kaki gunung dengan udara yang dingin membuat kami menyukai minuman yang satu ini. Rasanya hangat dan menyegarkan di pagi hari.

"Jangan lupa seminggu lagi kita bertanding, siapkan diri karena aku bisa mengalahkanmu," ucapnya sambil berlalu. Memang sudah menjadi kebiasaannya mungkin datang sesuka hati dan pergi begitu saja.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ervi Monika Simatupang
semangat semoga gak ada rintangan nih bocah-bocah
goodnovel comment avatar
Musriah 67
semangat mga ngga ada rintangan bcanye
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status