Aku akan terus berusaha agar bisa mendapatkanmu. Walaupum dengan cara kotor sekali pun. _Brayen"Sudahi Tuan, semakin tuan memaksa semakin tersakiti," ucap Fahmi asisten yang selalu menjagaku."Kamu mungkin tidak pernah merasakan yang namanya penyesalan.""Justru karena penyesalan itu harusnya tuan sadar jika nyonya Monica harus bahagia."Dia benar, tapi nyatanya hati ini terlanjur sakit. Bayangan aku yang menelantarkan Monica dan Arvian selalu menghantuiku. Rasa penyesalan ini sangat menyiksaku."Tuan Aksen bahkan membantu mengurangi beban kita yang hampir bangkrut." Iya, Aksen dengan sukarela membantu semua asetku yang bangkrut. Bagi Aksen jika aku terpuruk maka Arvian anakku juga terpuruk. Sebaik itu Aksen. Namun, aku justru sebaliknya.Aku sampai tidak menyangka jika ada laki-laki yang sebaik Aksen. Laki-laki yang tulus, tapi hatiku yang disakiti tetap saja menganggap Aksen jahat.Bagi Aksen yang penting Monica bahagia, tapi kenapa aku seperti tidak rela. Rasanya aku tak ingin dia
Arvian memelukku, menciumku beberapa kali. Menambah deretan perasaan yang tak menentu dariku. Sebenarnya apa yang sedang Arvian pikirkan, aku merasa ada hal yang Arvian sembunyikan dariku. Pikiranku tentu saja pada ayahnya--Brayen."Ikutlah dengan ayah, Arvian," ucap abang Brayen."Aku ibunya, aku lebih berhak!" Tak bisa kutahan segala yang mengganjal di hatiku. Fix, ini semua pasti abang Brayen terlibat."Beda ceritanya jika kamu belum menikah," balas abang Brayen lagi. Dia belum mau mengalah."Arvian butuh sosok ayah, tapi itu bukan kamu!""Jangan egois Monica! Tidak ada anak yang mau orang tuanya berpisah, kamu saja yang peka!""Lalu aku harus bersamamu? Harusnya anda introspeksi diri!" dia diam, kenapa masih ada bayang-bayang mantan, bukankah dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan? Aksen memegang tanganku dengan lembut. Seperti memintaku untuk tidak melanjutkan lagi. Arvian yang melihat kami berseteru hanya diam, Aksen memeluknya dengan lembut."Jangan berdebat di depan anak
"Stop Arvian!" tanganku gemetar melihat Arvian yang berada di atas sendiri. Sekolah sebagus ini bahkan lepas kendali tidak melihat ada siswa sendiri yang di atas.Arvian hanya menatapku, aku merasa tatapannya terasa asing. Aku ingin mendekat, ternyata suara yang tidak asing itu terdengar."Jangan panik seperti itu, aku ada di sini," ucap abang Brayen yang tiba-tiba hadir.Aksen langsung menarikku agar aku tidak mendekat, suasananya begitu menegangkan. Untungnya sekolah ini sangat besar dan memiliki gedung yang tidak bisa dijangkau dengan siswa, jadi tidak ada yang bisa melihat kami. "Apa maumu?! Jangan jadikan anak sebagai korban obsesimu!" teriakku kembali. Rasanya tidak percaya melihat Arvian yang dijadikan alat oleh ayahnya sendiri."Kami hanya ngobrol, kenapa kamu sepanik itu," ucapnya enteng.Apa? Sepanik itu? Dia bahkan berani membawa Arvian untuk pasti dikelabui. Abang Brayen memang tidak bisa diprediksi. "Apa maumu tuan Brayen, semua maumu sudah kami turuti. Jangan jadikan
Perasaan AksenBaru saja bahagia itu kurasakan, Monica menerimaku dengan tulus, setidaknya perjuangan ini ada hasilnya. Namun, kenyataannya ternyata ujian itu datang dari arah yang lain. Tiba-tiba Arvian berubah pikiran, dia seperti tidak menginginkan kehadiranku. Apa selama ini aku salah? Apa aku terlalu percaya diri? Kupegang tangan Arvian yang dingin padaku, sebagai anak yang pernah mengalami broken home, aku tahu rasanya seperti Arvian. Aku tahu bagaimana untuk bertahan bahagia melihat orang tua dengan pilihannya sendiri. Itulah yang membuatku sangat menyanyangi Arvian, ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi ayah sambungnya."Dulu daddy juga bukan anak yang beruntung meski terlahir dari pewaris kaya raya." Aku masih menggenggam tangannya, meski dia terus menunduk.Arvian diam."Daddy sebenarnya tidak tertarik dengan orang tua daddy, tapi daddy sadar lahir dari rahim ibuku."Jujur mengulang kisah ini rasanya sakit. Inginku kubur semuanya, tapi nyatanya aku melihat sendiri Arvian
"Bawa aku pergi dari sini, Bang. Kemana saja asal sama Abang." Aksen menitikkan air mata, kali ini tak bisa dipungkiri jika aku begitu mencintainya.Dia ingin mengatakan sesuatu, langsung aku memakai telunjukku agar dia tidak berbicara. Aku takut dia mengatakan sesuatu yang membuat hati ini menjadi lemah."Aku tidak ingin mendengar penolakan, Bang. Aku ingin bahagia bersama abang," lanjutku lagi.Kali ini wajahnya lebih berbinar, tidak semurung tadi. Jika pasangan lain begitu gampang bahagia, itu tidak dengan percintaanku."Arvian bagaimana?" tanyanya lembut, tak lupa jilbabku dielusnya."Nanti aku yang merayunya, saat ini aku ingin bersamamu, Sayang. Ingin bahagia."Pecah tangis kami berdua. Aksen mampu meruntuhkan dinding yang tebal di hatiku. Dinding yang sejak dulu hanya ada satu nama, siapa lagi jika bukan Brayen. Salahkah aku jika ingin merasakan bagaimana bahagia itu, layaknya pasangan lainnya."Kita pulang, kita bertemu dengan Arvian, ya." Aku menggenggam tangannya, merasakan
Aroma rumah sakit menyeruak, sepertinya cukup lama aku tertidur. Aksen berada di sampingku. Tanganku dibelainya, apa segitu parahnya aku sampai dilarikan ke rumah sakit. Dia begitu setia, beberapa kali tanganku dikecupnya."Sudah bangun, Sayang," ucap Aksen. Tidak terlihat bunda dan daddy."Bunda dan Daddy baru saja pulang, abang yang memintanya.""Aku pingsannya lama, ya?" tanyaku, Aksen mengangguk pelan."Lumayan, seperti bayi yang tertidur pulas," katanya.Cukup lama aku mengingat sesuatu hingga akhirnya pikiranku tertuju pada Arvian. Iya, terakhir aku masih bersamanya."Arvian mana?" tanyaku."Dia dibawa ayahnya." Aku menarik napas, meski emosiku memuncak. Apa tidak ada rasa empati sedikit pun di hati mereka. "Apa Arvian tidak kasihan padaku, Bang. Disaat aku pingsan dia tidak menjagaku.""Kendalikan emosimu, Sayang. Arvian masih kecil dan labil," jawab Aksen."Anak sekecil itu labil, Bang? Rasanya sungguh aneh. Kenapa bunda dan daddy membiarkan.""Karena putusan pengadilan jat
Setelah dirawat dua hari akhirnya aku dibolehkan pulang. Aksen tentu setia merawatku. Sesekali kami salinh memandang. Semua perasaan bercampur berada di dekatnya.Ternyata dicintai dengan tulus itu benar-benar sampai ke hati. Meski ada rasa takut yang terkadang mendera. Takut kehilangan yang kedua kalinya."Akhirnya sudah bisa pulang, ya," ucap Aksen yang sedang membereskan tempatku tidur. Nuraninya sebagai dokter tentu tak bisa dipungkiri."Ini karena suamiku yang hebat.""Ini karena kamu yang berjuang, Sayang."Arvian turut serta mendampingku yang akan pulang, dia setia menjagaku. Setidaknya perasaan lega Arvian sangat peduli denganku. Dilengkapi dengan Aksen yang begitu semangat melihatku pulang."Bund, Arvian langsung ke sekolah, ya, tadi izin terlambat," kata Arvian."Keren sekali kamu, Nak. Sampai izin telat segala.""Sesekali memanfaatkan keadaan, Bund. Lagian itu sekolah milik ayah Brayen juga," sambungnya lagi. Jujur aku tidak suka, Arvian seperti anak yang semaunya. Meski ya
Aksen terus menggodaku, baru tahu ternyata tuan Aksen yang kalem bisa jahil begini. Tak lupa pipiku terus dibelainya. Aku pun tak mau kalah sesekali aku mencubit hidungnya. Setelah masalah kemarin aku ingin Aksen menyadari bahwa aku juga tak bisa jauh darinya."Ganti baju, Sayang. Masih bau rumah sakit," ucap Aksen menarikku dalam pelukannya."Siap sayang.""Jangan terlalu lama, masih masa pemulihan," katanya lagi."Siap pak dokter.""I love you, sayang." Rasanya begitu menenangkan. Aksen yang lembut membuat hati ini semakin tak menentu dibuat.Dia terus saja memelukku hingga dibuat tak bernapas rasanya. Aksen sungguh bucin kurasa, kami seperti remaja yang sedang dibuai asmara. Rasanya indah sekali."Kapan aku ke kamar mandi kalau tuan Aksen terus memelukku begini.""Apa aku mandikan saja dirimu sayang." Aduh, ini mah sudah lebay tuan Aksen."Gak perlu, aku bisa sendiri.""Biasanya kalau baru sembuh harus dikelonin dulu.""Aku bukan bayi!" kulepas pelukannya, bisa tidak jadi ke kamar