Share

BAB 6

Author: Celebes
last update Huling Na-update: 2023-11-01 23:39:41

Anggoro masih saja tidak percaya. Bagaimana mungkin, Satria akan meminta hal itu kepada wanita yang jelas-jelas sudah merusak masa depannya!

"Satria! Dia yang menyebabkanmu lumpuh," ucapnya pelan dengan pandangan tajam.

"Hahaha," tawa Satria mendadak kencang, semakin mengejutkan Anggoro. Tawa itu terhenti ketika Sera kembali menatap dan menggelengkan kepala.

Sera mengusap wajah anak itu dan semakin tersenyum.

"Satria, kau anak yang sangat baik. Aku akan menemani ayahmu. Itu tanggung jawab seorang istri. Hmm, besok aku akan menemanimu seharian. Bagaimana?"

Sera mencium kening Satria, seperti seorang Ibu pada anaknya.

Dan … putranya itu tak memberontak?

Melihat itu, Anggoro semakin tak percaya karena Sera berhasil “mengendalikan” Satria.

Terlebih, kala melihat Satria kembali tertidur sembari tersenyum.

Anggoro lantas meninggalkan kamar Satria begitu saja. Dia tak bisa berkata apa pun dengan drama mengejutkan barusan.

Tentu saja, Sera mengikuti suaminya itu.

Anehnya, Anggoro mendadak berhenti—membuat jantung Sera berdetak cepat. Langkahnya pun terhenti tidak jauh dari posisi suaminya.

Terlebih, pria itu mendekat, hingga jarak keduanya hanya beberapa senti saja.

"Apakah kau memang memiliki rencana mendekati keluargaku?” ucapnya mendadak, “kau dan Bima juga saling mengenal, kan?"

Napas Sera semakin sesak ketika nama Bima kembali disebut. Akan tetapi, dia tak tahu harus membalas apa. Hal ini jelas membuat Anggoro semakin salah paham. Hanya saja, pria itu menepis pikirannya yang terus saja tertuju pada wanita di hadapannya ini.

Sesuatu yang selama bertahun-tahun tidak pernah dia rasakan entah mengapa kembali muncul, setiap melihat mata wanita ini.

Bahkan, air mata Sera yang menuju leher putih yang sangat mulus–juga menarik perhatiannya. Tubuh lelaki itu seketika tergelitik cukup hebat. Bulu kuduknya merinding, semakin membuat dia tidak bisa berpikir jernih.

Anggoro menghela napas. Dia sedikit menjauh untuk mengatur dirinya sendiri. "Besok acara pelantikan Bupati. Sedikit kesalahan saja yang kau lakukan, aku tidak akan pernah memaafkanmu," tegasnya.

Tak lama, pria itu pun membalikkan tubuh dan segera menuju ranjangnya–menahan sesuatu yang menegang di kedua pangkal pahanya.

****

Sementara itu, Sera terkejut dengan tingkah Anggoro. Hanya saja, dia tak mau memikirkannya lebih lanjut dan memilih kembali merebahkan tubuhnya di lantai. Satu hal yang harus dia lakukan adalah, bertahan.

‘Semoga semua berjalan lancar.' Dia sedikit melirik punggung kekar Anggoro, sebelum akhirnya terlelap.

Tanpa disadari Sera, pagi kembali datang. Sinarnya matahari membuat dia perlahan membuka kedua matanya.

"Ah, aku kok berada ..."

Namun, dia segera duduk ketika melihat suaminya sudah memakai seragam kebesaran pejabat berada tepat di hadapannya. Menatap tajam seolah-olah siap menghakiminya.

Tak hanya itu, Sera pun menyadari dirinya berada di atas sofa ….

Bukankah ...?

Seolah tahu pertanyaan dalam diri Sera, Anggoro tiba-tiba berkata, "Jangan berpikiran apa pun. Waktumu hanya sebentar untuk menyiapkan diri."

Perempuan itu jelas terpaku. Dia masih bingung. Tak mungkin, seorang Anggoro menyentuhnya, kan?

"Nduk!"

Teriakan Mbok dari luar kamar menyadarkan Sera dari lamunan.

"Ya, Mbok. Mohon bantu aku, ya. Kata Tuan Anggoro, waktuku sedikit," ucapnya sembari menarik Mbok.

Mereka pun menuju ruangan yang biasanya dipakai untuk berdandan.

Untungnya, Mbok sangat profesional dan Sera sudah cantik sejak awal.

Tak butuh lama, perempuan itu pun selesai bersiap.

Penampilannya sungguh sempurna dan seperti istri-istri pejabat. Sera pun berusaha terbiasa dengan busana mahal yang kini dia harus pakai. Apalagi batik Parang Kusumo kini menghiasi tubuhnya.

Mbok mengangguk puas dan mengantarkan Sera ke mobil–tempat Anggoro menunggu.

"Maafkan Mbok terlambat membangunkan kamu, Sera,” ucap Mbok tiba-tiba, “aduh, kamu tidak sempat sarapan. Padahal pelayan sudah menyiapkan." Mbok menepuk jidatnya.

"Kalau kamu pingsan bagaimana?" cemasnya.

Sera tersenyum. Dipegangnya kedua pundak Mbok. "Doakan saja aku bisa pulang dengan tersenyum," ucapnya pelan, “itu yang terpenting sekarang.”

Mbok mengangguk dan keduanya saling tersenyum.

Hanya saja, Sera terkejut kala tak sengaja melihat Satria yang berada di sebelah Simbah. Entah mengapa, perempuan itu merasa harus berjalan mendekati sang anak sambung. Diusapnya pipi kanan Satria dan tersenyum. "Aku akan menemanimu setelah ini.”

Anak laki-laki di atas kursi roda itu pun terperanjat. “Hah? Aku–”

“Iya, tunggu aku, ya. Tapi, kuharap kamu tersenyum saat aku pulang nanti," tambah Sera lalu melambaikan tangan ke arah Satria yang terkekeh pelan.

"Sepertinya, aku menemukan mainan baru di sini," gumam bocah tersebut seketika.

"Dia bukan mainan, Satria," potong Simbah menggerakkan tongkatnya dan berdiri di hadapan anak itu.

"Tapi, jika itu bisa membuatmu tertawa—"

"Hahaha … lucu sekali," potong Satria lalu tertawa sinis. "Sejak kapan kalian memperhatikan aku? Selama ini, memangnya di mana kalian?"

Selang beberapa detik, tawa itu kembali hilang–digantikan ekspresi dingin.

"Aku lumpuh pun sebenarnya karena ulah kalian. Bukan wanita itu!" teriak Satria.

Ditatapnya Simbah dengan tajam. "Sungguh, keluarga yang luar biasa,” lanjutnya kemudian memutar kursi rodanya–meninggalkan Simbah yang hanya bisa menghela napas.

"Simbah," bisik kepala pengawal tiba-tiba sambil menyodorkan ponselnya.

“Ada apa?” tanya wanita tua itu cepat.

"Saya menemukan Ibu kandung Den Satria," imbuhnya sambil menunduk.

Mendengar itu, Simbah segera menerima ponselnya.

Kedua matanya melotot tajam mendengar informasi lanjutan dari sang penelpon.

**

Sementara itu, mobil dinas sedan hitam mewah berplat nomor pejabat yang ditumpangi Anggoro dan Sera telah berhenti di depan alun-alun.

Warga tampak tumpah ruah di sana, seolah bersiap untuk menyambut kedatangan lelaki yang mereka pilih menjadi memimpin.

Melihat itu, Sera meremas kesepuluh jemarinya. Itulah kebiasaannya ketika cemas.

Belum lagi, perutnya berbunyi karena lapar.

Tanpa kata, Anggoro tiba-tiba saja menyodorkan satu roti yang dibungkus tisu.

"Makanlah," titah singkat Anggoro.

"Tu–tuan?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 135

    Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 134

    Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 133

    Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 132

    Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 131

    Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s

  • Pesona Istri Desa sang Bupati   Bab 130

    "Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status