Di sisi lain, Sera menghentikan langkahnya.
Karena emosi, dia tidak sadar jika berjalan tanpa arah, hingga menuju ke halaman belakang."Apa yang aku lakukan? Aku seharusnya tidak berbuat itu. Tapi, Bima datang. Dia bisa membuatku dihabisi suamiku sendiri, jika tahu aku–” ucapnya terhenti saat seseorang menariknya dari belakang.Kedua mata Sera melotot tak percaya ketika Bima mendekapnya erat.Pria itu memang diam-diam keluar kala Anggoro tengah ribut dengan Willem melalui pintu samping."Hentikan Bima!" teriak Sera sembari mendorong kuat tubuh Bima. Namun, dia kalah kuat. Bima kembali mendekapnya erat."Oh, jadi kau menolakku gara-gara akan menikahi kakakku yang lebih kaya. Dan ... ingin menjadi istri Bupati? Haha, tidak aku percaya. Ternyata kau ... licik juga." Bima semakin menarik Sera ke balik pohon yang cukup besar menutupi tubuh mereka berdua.Pria itu langsung mendekap kuat tubuh Sera dan mulai merayapi leher wanita itu dengan bibirnya."Hentikan Bima!" Sera meronta, ingin lepas.Namun, dia tak kuasa melakukannya karena tubuh pria itu sangat kekar dan kuat."Hahaha …” tawanya merendahkan, “asal kau tahu, Sera! Aku bertaruh 1 juta dengan semua temanku untuk mendapatkan tubuhmu. Ternyata, dengan mudah aku bisa melakukannya!"Mendengar itu, Sera semakin marah.Dia menginjak kaki lelaki itu dan mendorongnya cepat.BUG!Sera bahkan mengambil batu dan memukul kepala Bima."Apa yang kalian lakukan?!" teriak Anggoro tiba-tiba muncul seperti hantu. Tangan Sera bergetar, sambil menggenggam batu yang basah karena darah Bima."Kak! Dia merayuku," teriak Bima sambil memegang kepalanya yang berdarah. "Aku ke sini untuk meminta maaf atas perbuatanku tadi. Tapi, dia malah memaksaku untuk berselingkuh!" tuduh Bima secara mendadak."Aku hanya ingin kau menjaga kakakku. Kenapa saat aku menolakmu kau malah mengancam akan menghabisiku?!"Mendengar ucapan sang adik sepupu, Anggoro mendadak murka.Tadi, ia sampai bertengkar dengan sahabatnya karena Sera.Tapi, wanita ini ternyata malah merayu Bima?!"Sialan," maki Anggoro sambil menunjuk Sera yang menggelengkan kepala cepat.“Aku–” Mulut Sera tercekat. Ia berusaha membela diri, tapi Anggoro mendadak mencengkeram tubuhnya.Plak!Anggoro tiba-tiba menampar Sera."Kurung dia di ruangan bawah tanah!" ucap pria itu penuh emosi pada bawahan yang kebetulan mengikutinya.Tanpa banyak kata, calon Bupati itu meninggalkan Sera.***"ARGH!" pekik Anggoro membuang semua gelas dan botol anggur yang selalu dia nikmati di dalam kamarnya. Ini adalah pertama kalinya lelaki itu berani menyiksa wanita.Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Anggoro pun berjalan cepat menuju kamar Satria dan memandang anaknya itu."Ayah ...," ucap Satria sembari membuka kedua matanya."Satria?" Anggoro bergegas mendekati ranjang. Menatap sang anak sembari menarik napas panjang untuk menahan amarahnya yang masih menyelimuti tubuhnya. "Apa yang kau inginkan?""Aku mau dia berada di hadapanku," balas Satria.Anggoro mengernyitkan kedua alisnya sangat dalam. Tak mengerti dengan maksud anaknya."Maksudmu Sera? Untuk apa kau menginginkannya?""Apakah aku harus mengatakan semuanya? Sejak kapan Ayah menanyakan keadaanku? Sudah bertahun-tahun aku selalu hidup sendiri di rumah ini."Kedua mata ayah anak itu saling beradu tajam.Namun dalam diam, Anggoro merasakan sakit hati.Dia tidak akan pernah bisa mengulang apa pun yang akan dia sesali.Seandainya saja, dia dekat dengan anaknya sejak dulu, mereka mungkin tak akan bertengkar di mobil hari itu.Mungkin saja … meski Sera memang mendadak lewat, dia juga dapat menghindarinya lebih baik.“Baiklah,” ucap Anggoro pada akhirnya.***Sera kini menahan pedih di hati.Dia tadi diseret seperti binatang dari halaman belakang sampai ke sebuah ruangan kosong dan dihempaskan di sana begitu saja. Hanya ada satu lampu kecil di sana."Aku tidak bersalah!" teriaknya menggema. "Ini jebakan. Bagaimana mungkin, aku akan melakukan hal memalukan seperti itu?!"Sera menggedor pintu yang sudah terkunci agar dilepaskan. Namun, tak ada yang menolongnya."Aku tidak melakukannya. Aku mohon ...," rintihnya, lalu meringkuk di depan pintu itu sambil menangis."Oh, Tuhan! Apakah memang Kau mentakdirkan diriku seperti ini?"Lama dia terdiam–meratapi nasib.Ceklek!Sera terkejut ketika pintu itu tiba-tiba terbuka.Khawatir yang datang Bima, dia pun bergegas mengambil batu yang berada tepat di sebelahnya.Untungnya, yang datang ternyata Simbah dan Mbok Wati.“Nyonya …?”"Aku sudah memperingatkanmu. Jangan membuat anakku marah. Sekarang aku harus mengotori tanganku karena ulahmu," lanjut Simbah sembari mengarahkan tangan kepada Mbok yang segera membantu Sera untuk berdiri."Bersihkan dia. Bawa dia kembali menuju kamar anakku." Simbah memicingkan kedua matanya ke arah Sera, lalu mengamati dengan seksama."Maafkan saya. Ini semua salah saya–" ucap Sera terhenti ketika Simbah mengangkat tangannya."Dari mana kau bisa berbahasa Belanda?" tanya Simbah tanpa basa-basi, "wajahmu memang seperti keturunan indo.”Wanita tua itu mulai menggerakkan tongkatnya dan mengamati Sera seksama."Ibu yang mengajariku sebelum meninggal. Dia sangat pandai berbahasa Belanda," balas Sera pelan dengan tubuh gemetar. Dia takut dipukuli.Namun, Simbah ternyata hanya mengangguk. Tanpa kata, dia meninggalkan ruangan begitu saja. Seketika Sera dan Mbok, bisa bernapas lega saat melihatnya."Mbok ... aku tidak melakukannya. Dia sudah menjebakku, Mbok." Sera menangis sambil memeluk Mbok."Sabar ya, Nduk. Mbok percaya denganmu. Tapi, sekarang menurut dulu. Ayo kita pergi dari sini."Dengan langkah gemetar, Sera mengikuti Mbok menuju ruangan yang sebelumnya dia gunakan untuk melakukan perawatan. Mbok membantu Sera untuk membersihkan diri sebelum masuk ke dalam kamar Anggoro."Bersikap baik dan jangan berkata apa pun. Mbok hanya bisa menyarankan itu saja. Sekarang, kembalilah ke kamar Tuan," ucapnya dengan wajah cemas.Sera hanya menganggukkan kepala sambil melangkah perlahan. Dengan pandangan kosong, Sera hanya bisa bertahan dengan keadaannya sampai saat ini.'Aku tidak boleh mati. Bapak masih membutuhkan aku.' Dia berjalan sembari menahan air mata.Jantungnya semakin berdebar ketika sampai di kamar Anggoro. Dia menarik napas sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk ke dalam. Hanya saja, sepasang mata hitam dan pekat, sudah menyambutnya dengan tajam.Sera semakin melangkah mendekati Anggoro setelah menutup pintu."Memalukan! Baru sehari saja menikah, kau membuatku malu," ucap Anggoro pelan. Pandangannya masih saja dingin."Saya tidak bisa berbuat apa pun selain meminta maaf, Tuan. Tapi ... saya tidak seperti itu," balas Sera.Entah mengapa, dia ingin mengangkat kepalanya untuk menunjukkan dia tidak bersalah.Namun, Anggoro justru memandangnya dengan tatapan sulit diartikan kala kedua mata mereka bertemu."Kau tidak berhak memandangku saat berbicara!" bentak pria itu, “kau–”Anggoro seketika lupa apa yang hendak dia katakan.Seperti terbius, Anggoro tak mampu berkata-kata. Tatapan mata Sera yang berurai air mata itu, seolah menggelitik sesuatu dalam dirinya.PRANG!"Di mana bolaku!" teriak Satria dari kamarnya.Mendengar keributan itu, Anggoro seketika tersadar."Satria!"Dia segera berlari menuju kamar sang anak.Sera tentu saja mengikutinya dari belakang. Namun, dia terkejut kala melihat Satria ternyata tengah bermimpi buruk sambil mencekik lehernya sendiri.'Aku harus melakukan sesuatu.' Sera sontak bergegas mendahului Anggoro dan memeluk Satria–mencoba menenangkan.Anggoro jelas terkejut. Pria dingin itu ingin menarik tubuh Sera dari sang putra. Hanya saja, Anggoro terpaku saat melihat Satria seketika tenang mendengar nyanyian Jawa yang sangat merdu dilantunkan Sera."Akhh ...," rintih Satria. Suaranya tercekat di tenggorokan.Napasnya masih tersenggal-senggal. Namun, Sera semakin mengeratkan pelukannya.Dielusnya punggung anak itu dengan perlahan.Satria perlahan membuka kedua matanya. Tubuhnya yang berkeringat, masih bersandar di bahu Sera. Dia memandang wajah Sera yang tersenyum dan masih menyanyikan lagu untuknya.Anggoro semakin penasaran.Siapa istrinya sebenarnya?Kenapa wanita itu selalu mengejutkannya?Yang dia ketahui, Sera adalah wanita yang mendadak muncul di hadapannya ketika dia mengendarai mobil bersama Satria."Aku ingin kau berada di sini." Satria berkata sangat pelan. "Toh, ayahku tidak layak untukmu."Mendengar itu, Anggoro terkejut. "Satria!”Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san