Tubuh Sera menegang. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Dia khawatir dengan apa yang akan dikatakan Maya barusan. Bisa-bisa, Anggoro dan Simbah menghabisinya hari ini.Namun, Maya justru tak menjawab sama sekali dan hanya tersenyum. “Selamat pagi, Pak Bupati.”Anggoro pun mengangguk. Tanpa banyak kata, dia pun menjemput Sera dari sana dan “mengenalkannya” pada para warga. Sera bisa menarik napas lega mengetahui sang suami tidak membahasnya. Dia mengikuti langkah Anggoro yang sangat cepat."Ada apa ini?" Hanya saja, Anggoro tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar cepat. Dia rasanya ingin marah kala menyadari mata para lelaki memandang Sera tanpa berkedip. Tanpa sadar, dia menarik lengan Sera dengan sangat kasar–mendekat padanya.Maya yang masih memperhatikan keduanya pun terkekeh pelan. Sangat senang melihat Sera diperlakukan kasar. "Itulah yang pantas didapatkan oleh anak wanita panggilan," gumamnya masih tersenyum puas."Kenapa anak dari wanita panggilan bisa sangat can
Mendengar pembelaan Anggoro, Sera tercengang.Yang lain, juga sama. Maya bahkan sampai bergeming kaku. Bayangannya, Sera akan mendapat tamparan keras dari suaminya. Namun, ada apa ini? "Sialan!" umpatnya. Tak mungkin dia ke sana dan ikut campur lebih dalam. Bisa-bisa, Anggoro membalasnya berkali lipat. Kadi, Maya pun segera meninggalkan tempat. Di sisi lain, lelaki biang onar yang dibayar Maya itu tidak menyerah. Dia menunjuk Sera dengan tegas. Kedua matanya melotot. "Kamu tidak pantas! Bupati harus turun!""Bupati, kami memilih Bapak. Jadi, tolong jelaskan saja masalah ini," sela warga lainnya yang diikuti sorak semua warga. "Ya, kami ingin penjelasan!"Suasana memanas dan lelaki pembuat masalah itu tersenyum, sampai Willem tiba-tiba datang. Perawakannya yang berbeda dari warga kebanyakan, jelas membuat atensi warga tertuju padanya. "Istri Bupati tidak hanya cantik. Dia cerdas dan jago berbahasa asing," ucap Willem tiba-tiba sembari tersenyum menatap Anggoro. Dia kini men
Anggoro masih terpaku. Kedua alisnya mengernyit sangat dalam. Kejutan apalagi ini?"Apa yang kau lakukan?" Anggoro melangkah perlahan. Mendekati Sera yang kini menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam. Hanya terlihat kedua matanya yang bewarna abu-abu."Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Anggoro dengan nada pelan. Kedua mata hitam itu tidak terlepas dari wajah Sera."Wajah ini hanya untuk suamiku. Saya memang bersalah. Paling tidak, izinkan saya membalas dengan pengabdian."Balasan itu, semakin membuat jantung Anggoro berdebar. Tidak ada wanita yang akan tahan dengan siksaan. Tapi ... memang kali ini dia menghadapi wanita yang sangat berbeda. Hanya saja, apakah kedua mata itu bisa menutup kecantikannya?Anggoro masih saja terpaku dengan keindahan kedua mata itu. Bahkan, semakin terpaku saat bulu mata lentik itu bergerak ketika mengedip. Sontak dia kembali memalingkan wajahnya."Kau akan menemaniku bertemu Bapak Gubernur. Lakukan saja tugasmu dengan baik."Anggoro berjalan keluar
Ini tidak bisa terjadi. Sera tidak mau mendapatkan hal buruk. Sejenak dia memejam, mengingat perlakuan Broto saat itu. Lelaki itu dengan tega menginjak tubuh Sera yang sudah terkapar di lantai. Menghujam dengan hinaan luar biasa kepadanya, "kau tidak pantas untuk anakku. Wanita tidak tahu diri! Berani sekali kau mengaku anakku harus bertanggung jawab?!"Ketika itu, Sera menemui Bima setelah dirinya sadar berada sendirian di vila. Bima meninggalkan Sera setelah menjebak dirinya dengan memberikan obat di minuman hingga pingsan. Dengan bebas Bima bisa menikmati tubuhnya. Sera sangat frustasi. Dia bergegas menuju kediaman Bima dan meminta pertanggung jawaban. Tapi semua sia-sia. Sera gadis desa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Dia hanya bisa pergi dalam keadaan hina. Berjalan tanpa arah hingga takdir membawanya ke rumah Simbah."Tuan Bupati memanggil Anda, Nyonya," ucap sang asisten.Lamunan Sera seketika teralihkan."Ah, iya," balas Sera sembari menarik napas panjang. Entah apa ya
Saat senyuman masih terpampang jelas di wajah Maya, dia kembali terkejut ketika Anggoro mendadak keluar bersama Sera yang menutup sebagian wajahnya. "Apa-apa'an ini?" gumamnya lalu mendekati mereka dan menyapa, "pagi ini aku sangat terkejut. Hmm, jadi sekarang istri Bupati memang sangat berbeda?"Anggoro menghentikan langkah. Dia tak percaya melihat pamannya masih berada di sini. Anggoro semakin menatap tajam, "kenapa Paman masih di sini? Kerjakan saja pekerjaan Paman!" Kedua matanya melirik sang asisten yang segera mendekatinya."Jangan pernah membiarkan siapapun masuk atas izinku," ucapnya pelan dengan pandangan tajam. Sang asisten pun menganggukkan kepala.Masih di tempat, Broto semakin berdiri kaku ketika beberapa pengawal akan mendekatinya. Dia mengangkat tangan, membuat mereka menghentikan langkah. "Anggoro tenanglah."Kedua alisnya mengernyit dalam. Dia tak menghiraukan kemarahan sang keponakan. Ada hal lain yang membuatnya lebih menarik untuk diperhatikan.Kenapa keadaan mas
"Kau jangan mengambil kesempatan seperti ini," bisik Anggoro. Mendadak dia melepaskan pelukannya. Kemudian berdiri, lalu membenarkan jasnya."Seharusnya kau berhati-hati. Sudah tahu lampu itu akan jatuh malah diam saja. Sangat merepotkan!" lanjutnya masih membentak. "Kau selalu saja membuatku susah! Apakah ini tugas seorang istri? Selalu mempermalukan suaminya!""Tuan, maafkan saya." "Jangan lemah dan cepat berdiri! Apa kau lumpuh!""Sungguh saya tadi--"Sera menghentikan ucapannya saat Willem mengulurkan tangan untuk membantunya. Wanita itu menggelengkan kepala. Dia berusaha berdiri tanpa bantuan siapapun. Anggoro yang melihat pun tidak menyukainya, ketika Willem memaksa Sera menerima ulurannya."Aku akan membantumu, Nyonya."Anggoro dengan cepat melangkah dan melewati Willem. Spontan tangannya yang semula terulur, menekuk seketika. Willem pun semakin kesal melihat Anggoro sengaja melakukannya."Kenapa lampu itu!" teriak Anggoro sambil menatap semua pengawal yang spontan menundukkan
'Ada apa ini? Kenapa mereka bisa masuk dengan mudah? Dan pandangan itu ...'Kini situasi semakin sulit diterima. Anggoro terpaku sambil menahan amarah kala Bima hadir dan menampakkan pandangan sangat aneh. Pikirannya kembali ke beberapa hari lalu ketika dia memergoki Sera dan Bima. Apakah memang keduanya saling mengenal?Dia menggelengkan kepala, berusaha memusatkan pikirannya kembali. Ada hal penting yang harus dia lakukan hari ini. Dia juga tidak mau terlihat buruk di hadapan Gubernur."Maafkan saya. Banyak sekali gangguan di sini." Anggoro mendekati Gubernur yang masih menatap Sera. Dalam batinnya, 'kenapa lelaki penting ini berani melakukannya?' Dia berusaha bersikap normal, seakan tidak ada hal apa pun yang perlu dikhawatirkan."Bapak Gubernur? Jalan desa yang sudah kita kunjungi pekan lalu mulai diperbaiki. Saya berterima kasih Bapak sudah membantuku," sela Anggoro sembari menampakkan senyuman ramah yang sebenarnya dia paksakan. Perlahan dia mendekati Sera yang masih menundukka
Anggoro menatap sang sepupu. Sudah pasti apa yang dia rasakan benar. Bima ada hubungannya dengan Sera.Kakinya melangkah mendekati Bima yang masih memandangnya tajam."Katakan dan jangan berbelit," ucapnya pelan. Nadanya sangat dingin, memperlihatkan amarah. Anggoro tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah mempermainkan dirinya. Bima tersenyum ketika melihat hal itu. Dia menatap Sera yang masih tak sadarkan diri. Dalam batinnya, 'kau akan segera menjadi mainanku lagi.'"Kak, ini terjadi beberapa hari lalu. Kau harus mengerti dan menerimanya. Mungkin, ini akan sulit kau terima. Tapi aku memiliki bukti kuat.""Jangan menahan apa yang akan kau katakan. Aku tidak memiliki waktu."Anggoro semakin menatap Bima yang malah tersenyum puas. Dia akan menghancurkan Anggoro dalam sekejap dan mempermalukannya. Membalas rasa sakitnya di masa lalu."Kak, kau harus percaya kalau istrimu itu sudah pernah--""Tuan Anggoro ...," lirih Sera membuat sang suami meninggalkan Bima begitu saja.Anggor