"Alhamdulillah!" gumam Savira saat tiba di rumah sakit dokter terapisnya.Keadaan rumah sakit kini tampak lebih ramai dari biasanya terlebih karena Savira sedikit terlambat. Bahkan sepanjang perjalanan pikiran Savira terus berkecamuk dengan kejadian malam sebelumnya. Ia mencoba mengusir ingatan itu, tetapi nama "Rania" yang disebut Refal saat mabuk masih terus terngiang di telinganya. Begitu sampai di tempat itu, Hadi membantu Savira turun dari mobil dan mengantarnya masuk. Saat tiba di ruang terapi, dokter Aryan sudah menunggu dengan senyuman ramah di wajahnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dari tatapan dokter muda itu. "Selamat pagi, Savira," sapa dokter Aryan dengan hangat.Savira pun mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Selamat pagi, Dokter. Maaf, saya datang agak terlambat.""Datang dengan selamat saja sudah membuat saya tenang," balas dokter Aryan, matanya tidak pernah lepas dari Savira. Savira mengalihkan pandangannya, sedikit heran dengan ucapan dokter itu. Ia
"Oke, pastiin kamu nggak bikin masalah di luar selama kamu ke rumah sakit." Luna berucap dengan nada sedikit mengancam. Savira terkesiap saat ia hanyut dalam lamunannya tentang beberapa hal yang terjadi pagi ini. Pun setelah kepergian Luna dan suasana di ruang makan terasa hening. Ia dikejutkan dengan kemunculan ibu mertua dan ocehannya yang terdengar dingin, tetapi ada ancaman tersirat dalam nada bicaranya."Kita semua ingin kamu cepat sembuh, tapi jangan sampai ada hal lain yang bikin keluarga ini tercemar," ucap bu Rosnita lagi.Savira hanya mengangguk, berusaha perasaan sesak dalam hatinya. "Aku ngerti, Ma. Aku akan fokus pada terapiku."Bu Rosnita tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Savira duduk sendirian di ruang makan, menatap sarapan yang belum sempat ia sentuh karena suasana yang terus menekannya. Hatinya terasa sesak. Setiap hari ia harus menghadapi cemoohan dan sindiran dari keluarga ini. Namun, ia tahu bahwa ia harus bertahan. Satu-satunya
"Bismillahirrahmaanirrahiim ...."Savira menarik napas panjangnya, berusaha menenangkan diri sebelum menggerakkan kursi rodanya menuju ruang makan.Pagi itu suasana di rumah keluarga Adrian tampak seperti biasanya, penuh dengan aktivitas dan suasana sarapan yang sibuk. Savira mendorong kursi rodanya perlahan menuju ruang makan. Sejak semalam, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk hari ini, mencoba menguatkan hati setelah kejadian tak terduga yang dialaminya dengan Refal. Ia berusaha melupakan hal itu meski sulit. Bahkan setiap pagi selalu menjadi momen yang sulit baginya, terutama saat harus bertemu dengan ibu mertuanya dan adik iparnya yang selalu bersikap seenaknya.Di ruang makan, bu Rosnita sudah duduk di kursinya, ditemani oleh Luna yang sedang sibuk menata rambutnya. Sedangkan Adrian tengah asyik menyesap kopinya. Refal datang tak lama setelahnya, mengenakan pakaian kerja yang rapi dengan wajah tanpa ekspresi. Lelaki itu tampak memijat-mijat pelipisnya berusaha berjalan dengan be
"Satu lagi!" teriak Refal pada bartender di hadapannya.Tanpa berlama-lama, baternder itu lekas mengisi gelas kosong milik customernya sampai penuh. Kemudian Refal segera meneguk minuman tersebut sampai habis hingga kini posisinya sudah terkulai dumi atas meja, tidak kuat menahan kepalanya karena pengaruh alkohol yang sudah mulai menguasai dirinya.Namun di sela-sela itu pula, Refal berusaha tersadar dan kembali mengacungkan gelasnya. "Beri aku satu lagi ...," pintanya, dengan suara yang sudah mulai lemah.Bartender itu pun geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Anda sudah mabuk, Tuan.""Nggak!" Refal lalu mengerjap, seketika mengangkat kepalanya berusaha menatap bartender itu meski kesadarannya entah kemana, "aku nggak mabuk!""Ck! Merepotkan! Dengan siapa anda datang?"Refal tentu tidak akan menjawab, karena pria itu kini telah kembali terkulai lemas di atas meja, kesadarannya benar-benar sudah kacau. Entah berapa gelas minuman yang telah ia habiskan selama beberapa jam terakhir.Ba
"Astaga ... ada apa denganku!?" gumam Refal merutuki sikapnya.Di kantornya yang sepi, Refal duduk di kursi kerjanya dengan wajah muram. Pekerjaan yang biasanya bisa membuatnya tenggelam dan melupakan sejenak kehidupan rumah tangganya, kali ini tak mampu menyelamatkannya dari keresahan yang melanda hatinya. Pikirannya terus melayang pada percakapan dengan asistennya sebelumnya. Refal kemudian memijit pelipisnya, mencoba mengusir kegelisahan yang tak kunjung hilang. Mengapa ia harus merasa resah hanya karena mendengar cerita interaksi antara Savira dan dokter Aryan? Bukankah seharusnya ia tidak peduli? Toh, selama ini ia bahkan tidak pernah memedulikan kondisi Savira secara sungguh-sungguh. Namun, entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja, mengusik ketenangannya. “Nggak mungkin ... aku nggak mungkin mikirin dia,” gumam Refal pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Hatiku hanya untuk Rania. Hanya untuk kekasihku.”Refal menghela
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh