"Apa maksud Bapak? Kenapa anak saya harus menikah dengan orang yang sudah melukainya?" protes Dania.
"Ibu dan anak Ibu pasti akan mendapatkan banyak keuntungan jika anak Ibu mau menikah dengan anak saya," jelas Adrian. "Saya akan membantu memberikan dukungan finansial pada Ibu dan putri Ibu setelah menikah nanti. Saya sudah tahu sedikit mengenai kondisi keluarga Ibu saat ini. Mendiang suami Ibu hanya bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji pas-pasan, dan Ibu sendiri hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Dengan kondisi anak Ibu yang seperti sekarang ini, Ibu pasti akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, 'kan?" ungkap Adrian. "Bapak pikir kami menginginkan uang Bapak?" balas Dania. Savira melirik ke arah ibunya. Gadis itu memperhatikan uban di rambut Dania dan keriput di wajah ibunya itu. "Sekarang Ayah udah nggak ada dan aku lumpuh. Aku nggak akan bisa kerja lagi," batin Savira dengan wajah muram. Savira mulai mencemaskan ibunya. Mau tak mau, Dania harus banting tulang sendirian mencari nafkah untuk melanjutkan hidup. Dania sudah tidak bisa bergantung lagi pada Rahman dan wanita tua yang sering sakit-sakitan itu masih harus merawat putrinya yang lumpuh. Savira tak tega membayangkan ibunya yang sudah tua harus bekerja keras untuk mencari nafkah dan mengurus dirinya. Savira tak mau menjadi anak yang tidak berguna dan beban orang tua. Jika tawaran dari Adrian mampu memberikan solusi bagi masalah ekonomi di keluarganya, maka tawaran tersebut layak untuk dipertimbangkan. "Silakan Bapak pergi dari sini! Kami tidak butuh uang Bapak! Saya masih mampu menafkahi anak saya!" seru Dania. "Tolong dipertimbangkan lagi, Bu. Ini solusi terbaik untuk permasalahan keluarga Ibu saat ini," sahut Adrian. Savira segera menarik tangan ibunya dan menenangkan Dania sebelum Dania meninggikan suaranya lagi di depan Adrian. "Bu, aku boleh kasih pendapat, 'kan?" tanya Savira. "Kamu tenang aja, Savira! Ibu pasti akan melindungi kamu! Kamu nggak perlu menerima tawaran aneh ini," ujar Dania. Savira tak mau melihat ibunya menderita. Savira akan menikah dengan Refal jika perlu, asalkan kehidupan ibunya bisa terjamin. "Kalau saya menerima tawaran ini, apa yang akan didapatkan Ibu saya? Apa Tuan benar-benar bisa menjamin hidup Ibu saya?" tanya Savira. Adrian melempar senyum tipis. "Saya adalah seorang pengusaha di bidang ekspor impor. Saya juga mempunyai banyak cabang bisnis di bidang lain. Kalau hanya soal uang, itu bukan masalah besar bagi saya. Saya tidak akan membiarkan kamu dan Ibu kamu kekurangan apa pun," jawab Adrian. "Savira, apa yang kamu lakukan?" omel Dania. Savira tahu, ini jalan terbaik yang harus diambil saat ini. "Ibu tenang aja. Aku tahu apa yang harus aku lakuin." "Apa yang harus saya lakukan jika saya menerima pernikahan ini?" tanya Savira. Adrian tersenyum. Savira paham betul, gadis itu tak mungkin menerima kebaikan Adrian secara cuma-cuma. Savira sudah tahu, Adrian pasti juga ingin mendapatkan keuntungan darinya. "Kamu gadis yang pintar. Memang ada satu syarat yang harus kamu penuhi jika kamu mau menikah dengan anak saya," ungkap Adrian. "Kamu tidak boleh membocorkan kasus kecelakaan ini pada siapa pun, sampai kapan pun juga. Kamu harus menutup mulut kamu selamanya." Savira tak akan bisa mewujudkan keadilan untuk ayahnya. Bahkan untuk membuka mulut saja, Savira dilarang, apalagi untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan. Sudah jelas, Savira tidak akan bisa membawa kasus ini ke ranah hukum. "Kamu hanya akan menikah dengan Refal selama 2 tahun sampai kamu sembuh. Setelah itu, kamu harus berpisah dari anak saya. Setelah berpisah pun, kamu tetap tidak boleh mengungkit kasus ini pada siapa pun. Apa kamu mengerti?" papar Adrian. "Kami sudah cukup bertanggung jawab, jadi tolong jangan seret anak saya ke pengadilan." Savira mengangguk setuju. Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri kasus ini dengan pernikahan. "Dasar gadis lumpuh miskin! Kenapa dia harus setuju? Kenapa dia nggak nolak aja?" geram Refal dalam hati. Refal benar-benar marah dan kesal. Pria itu harus terjebak dalam pernikahan kontrak selama 2 tahun lamanya. Mimpinya untuk menyusul Rania ke Paris pun langsung pupus begitu saja. Awalnya Refal berencana untuk mengejar Rania sampai ke Paris. Tapi pria itu tak akan bisa menikahi Rania jika ia masih terikat pernikahan dengan Savira. Kehadiran Savira sudah menjadi bencana bagi hidup Refal. Rencana Refal rusak karena kedatangan Savira. "Aku nggak akan biarin kamu hidup damai!" batin Refal, seraya menatap Savira dengan penuh kebencian. Refal melimpahkan semua kesalahan pada Savira. Pria itu menganggap Savira sudah menjadi penghalang baginya. Refal bertekad akan membuat gadis itu menderita dan tidak betah selama hidup bersama dengannya. Satu minggu kemudian, pernikahan antara Refal dan Savira pun dilaksanakan dengan ala kadarnya. Setelah keduanya resmi menjadi pasangan, Savira pun diboyong ke rumah keluarga besar Refal. Mulai hari ini, gadis itu akan hidup sebagai menantu dari keluarga konglomerat. "Savira, mulai sekarang kamu akan tinggal di sini bersama kami," ucap Adrian pada Savira. "B-baik, Pak." Savira terlihat begitu canggung dan sungkan. Gadis itu tertegun melihat rumah mewah yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. "Dasar kampungan!" gerutu Refal. Pria itu menghampiri Savira seraya melempar tatapan sinis pada gadis yang sudah menjadi istrinya itu. "Meski kita sudah menikah, jangan harap aku akan memperlakukan kamu sebagai istri di rumah ini! Aku akan membuat kamu seperti hidup di neraka!" ***"Oke, pastiin kamu nggak bikin masalah di luar selama kamu ke rumah sakit." Luna berucap dengan nada sedikit mengancam. Savira terkesiap saat ia hanyut dalam lamunannya tentang beberapa hal yang terjadi pagi ini. Pun setelah kepergian Luna dan suasana di ruang makan terasa hening. Ia dikejutkan dengan kemunculan ibu mertua dan ocehannya yang terdengar dingin, tetapi ada ancaman tersirat dalam nada bicaranya."Kita semua ingin kamu cepat sembuh, tapi jangan sampai ada hal lain yang bikin keluarga ini tercemar," ucap bu Rosnita lagi.Savira hanya mengangguk, berusaha perasaan sesak dalam hatinya. "Aku ngerti, Ma. Aku akan fokus pada terapiku."Bu Rosnita tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Savira duduk sendirian di ruang makan, menatap sarapan yang belum sempat ia sentuh karena suasana yang terus menekannya. Hatinya terasa sesak. Setiap hari ia harus menghadapi cemoohan dan sindiran dari keluarga ini. Namun, ia tahu bahwa ia harus bertahan. Satu-satunya
"Bismillahirrahmaanirrahiim ...."Savira menarik napas panjangnya, berusaha menenangkan diri sebelum menggerakkan kursi rodanya menuju ruang makan.Pagi itu suasana di rumah keluarga Adrian tampak seperti biasanya, penuh dengan aktivitas dan suasana sarapan yang sibuk. Savira mendorong kursi rodanya perlahan menuju ruang makan. Sejak semalam, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk hari ini, mencoba menguatkan hati setelah kejadian tak terduga yang dialaminya dengan Refal. Ia berusaha melupakan hal itu meski sulit. Bahkan setiap pagi selalu menjadi momen yang sulit baginya, terutama saat harus bertemu dengan ibu mertuanya dan adik iparnya yang selalu bersikap seenaknya.Di ruang makan, bu Rosnita sudah duduk di kursinya, ditemani oleh Luna yang sedang sibuk menata rambutnya. Sedangkan Adrian tengah asyik menyesap kopinya. Refal datang tak lama setelahnya, mengenakan pakaian kerja yang rapi dengan wajah tanpa ekspresi. Lelaki itu tampak memijat-mijat pelipisnya berusaha berjalan dengan be
"Satu lagi!" teriak Refal pada bartender di hadapannya.Tanpa berlama-lama, baternder itu lekas mengisi gelas kosong milik customernya sampai penuh. Kemudian Refal segera meneguk minuman tersebut sampai habis hingga kini posisinya sudah terkulai dumi atas meja, tidak kuat menahan kepalanya karena pengaruh alkohol yang sudah mulai menguasai dirinya.Namun di sela-sela itu pula, Refal berusaha tersadar dan kembali mengacungkan gelasnya. "Beri aku satu lagi ...," pintanya, dengan suara yang sudah mulai lemah.Bartender itu pun geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Anda sudah mabuk, Tuan.""Nggak!" Refal lalu mengerjap, seketika mengangkat kepalanya berusaha menatap bartender itu meski kesadarannya entah kemana, "aku nggak mabuk!""Ck! Merepotkan! Dengan siapa anda datang?"Refal tentu tidak akan menjawab, karena pria itu kini telah kembali terkulai lemas di atas meja, kesadarannya benar-benar sudah kacau. Entah berapa gelas minuman yang telah ia habiskan selama beberapa jam terakhir.Ba
"Astaga ... ada apa denganku!?" gumam Refal merutuki sikapnya.Di kantornya yang sepi, Refal duduk di kursi kerjanya dengan wajah muram. Pekerjaan yang biasanya bisa membuatnya tenggelam dan melupakan sejenak kehidupan rumah tangganya, kali ini tak mampu menyelamatkannya dari keresahan yang melanda hatinya. Pikirannya terus melayang pada percakapan dengan asistennya sebelumnya. Refal kemudian memijit pelipisnya, mencoba mengusir kegelisahan yang tak kunjung hilang. Mengapa ia harus merasa resah hanya karena mendengar cerita interaksi antara Savira dan dokter Aryan? Bukankah seharusnya ia tidak peduli? Toh, selama ini ia bahkan tidak pernah memedulikan kondisi Savira secara sungguh-sungguh. Namun, entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja, mengusik ketenangannya. “Nggak mungkin ... aku nggak mungkin mikirin dia,” gumam Refal pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Hatiku hanya untuk Rania. Hanya untuk kekasihku.”Refal menghela
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa
"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda