Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi.
Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu.
Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya.
“Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membuatmu meninggal, tetapi aku curiga kalau kecelakaanmu telah direncanakan. Jika sampai ucapanku terbukti, aku bersumpah akan membuat orang yang sudah menghilangkan nyawamu itu menderita. Dia harus mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya,” ucap Arka sambil mengusapkan jari-jemarinya di atas foto Guntur.
“Sebenarnya aku punya objek kecurigaan. Kecurigaan itu pada istri mudamu yang cantik itu.”
Arka tersenyum sinis. “Meskipun aku belum memiliki bukti yang cukup kuat, aku bersumpah akan menyiksanya, sampai dia mengakuinya...”
“Pa, apakah Papa menyesal menikahi wanita serakah dan kejam seperti itu?”
Setelahnya, Arka pun kembali menaruh foto Guntur di atas meja. Dia menarik napas dalam, kemudian membuangnya secara perlahan. Baru saja Arka membenarkan letak kursinya untuk bisa mulai bekerja dengan nyaman, tiba-tiba matanya terpaku pada sebuah foto lain yang juga berada di meja itu.
Seketika keningnya berkerut heran.
“Ini foto Mama. Dan Papa menyimpannya di atas meja kerjanya? Tapi, kenapa Papa hanya memajang foto Mama saja di sini. Kenapa aku tidak melihat satu pun foto Naina?” gumamnya bertanya-tanya sambil meraih foto ibu kandungnya dan menatapnya dengan wajah bingung.
***
“Masuk!” suara baritone milik Arka terdengar menyahut dari dalam. Naina langsung merasa jantungnya berdetak resah. Tangannya memutar kenop, kemudian mengayunkan daun pintu hingga pintu kamar itu terbuka perlahan.
Begitu pintunya terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh Naina adalah tubuh jangkung Arka yang berdiri membelakanginya. Lelaki itu menghadap kasur, dari gerakan tangannya, Naina menebak jika Arka sedang membuka satu per satu kancing kemeja bagian atasnya.
“Bik Atin bilang kau memanggilku. Ada apa?” Naina langsung bertanya to the point. Dia tidak ingin membuang waktu dan berdebat dengan Arka.
Arka pun membalikan badannya. Benar saja, tiga kancing kemeja bagian atasnya sudah terlepas. Membuat dadanya yang bidang, tampak mengintip di balik kemeja itu. Naina berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari sana. Menatap ke arah Arka justru membuatnya merasa canggung.
“Tutup pintunya!” bukannya menjawab pertanyaan Naina, Arka justru mengedikan dagunya ke arah pintu.
Naina memutar kepalanya ke sana, lalu kembali menatap Arka dengan kening yang berkerut. “Tapi kenapa pintunya harus ditutup?” tanya Naina, perasaan tidak enak menyergap hatinya.
Seketika Naina berpikir yang macam-macam. Apa yang akan Arka lakukan padanya di dalam kamar itu jika pintunya ditutup.
“Kubilang tutup pintunya!” tekan Arka mengulangi perintah.
Melihat mata dingin Arka yang menatapnya setajam elang, membuat Naina membuang napas pelan. Mau tak mau dia pun menurut dan menutup pintu itu dengan rapat, seperti yang diperintahkan oleh anak tirinya.
Ketika Naina sedang menutup pintu, Arka membuka sisa kancing kemejanya hingga lepas semua. Naina membalikan badan dan matanya melebar melihat perut sixpack lelaki itu sudah terlihat jelas di depan matanya. Naina menggeleng pelan, segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Namun tiba-tiba Arka melangkah makin dekat ke arahnya. “Kau tahu kenapa aku menyuruhmu ke kamarku? Aku ingin kau melayaniku sekarang,” ucap Arka sambil melepaskan kemejanya dan membuat Naina menjerit.
“Aaakhh!” sontak Naina memundurkan langkahnya ke belakang, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Reaksinya membuat Arka mengerutkan kening. “Apa yang akan kau lakukan? Aku ibu tirimu. Bagaimana mungkin kau memintaku untuk melayanimu,” sentak Naina yang masih menutup wajahnya dengan tangan.
Mendengar itu, Arka mengangkat sebelah alisnya. Senyum miring tercetak di bibirnya. Langkah Arka semakin mendekat, membuat Naina memundurkan langkahnya ke belakang. Hingga punggungnya tersudut ke dinding.
Arka menurunkan tangan Naina dari wajah wanita itu. Senyum penuh ejekan tercetak di wajahnya begitu melihat kedua mata Naina yang terpejam rapat.
Arka menjepit dagu Naina dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu mendongkakannya hingga jarak di antara wajah mereka saling berdekatan.
“Buka matamu!” perintah Arka. Perlahan Naina membuka kelopak matanya, dan dia menelan ludah saat wajah tampan Arka terlihat jelas di depan matanya.
“Ibuku yang baik, apa yang kau pikirkan? Apakah kau pikir aku akan menyentuh tubuhmu? Jangan konyol, aku tidak suka wanita yang tidak perawan, terutama wanita yang telah ditiduri oleh ayahku.” Arka mencibir.
Naina merasa hatinya berdenyut sakit mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak tirinya itu. Arka tidak tahu kalau sebenarnya Naina masih perawan karena selama pernikahan, Guntur tidak pernah sekali pun menyentuhnya.
“Aku hanya ingin kau melayaniku seperti seorang pembantu. Maka dari itu aku memanggilmu ke sini. Masukkan kemejaku ke keranjang cucian!” kata Arka sambil melemparkan kemejanya ke arah Naina. Dengan sigap Naina menangkapnya. Naina terkejut mendengar perkataan Arka. Dia menahan sakit di hatinya atas penghinaan dari lelaki itu.
Saat Naina memasukkan kemeja Arka ke dalam keranjang cucian yang ada di dalam kamar itu, Arka mendudukan dirinya di sebuah sofa panjang yang ada di sudut kamar. Kedua kakinya naik ke atas meja.
“Sekarang lepaskan sepatuku!” perintahnya lagi.
Naina membuang napasnya pelan, lalu mendekati Arka dan terpaksa berjongkok di hadapannya. Arka tersenyum miring melihat Naina yang menuruti semua perintahnya.
Namun, ketika Naina sedang melepaskan sepatu Arka dengan posisi menunduk, saat itu mata Arka tak sengaja melihat dua bulatan indah milik Naina yang tampak mengintip dari bagian atas bajunya.
Arka mendengus kesal, lalu menarik kakinya dan membuat Naina terkejut.
“Sudah. Hentikan! Sekarang kau boleh keluar dari kamarku.”
Kening Naina berkerut dalam. Dia bingung, mengapa tiba-tiba saja Arka menarik kakinya. Padahal Naina belum selesai melepaskan sepatunya yang satu lagi.
Sementara itu, milik Arka yang bersembunyi di balik celananya kini malah bangkit dengan lancangnya. Hal itu membuat Arka menggeram dalam hati.
“Tapi sepatumu masih belum kulepaskan satu lagi.”
“Biar aku yang melakukannya. Sekarang keluar lah dan siapkan saja makan malam untukku!” Arka memerintah dengan penuh penekanan. Membuat Naina mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan akhirnya memilih untuk keluar dari kamar lelaki itu.
Seperginya Naina, Arka berdecak kesal sembari mengacak pelan rambutnya.
“Ck! Sial! Kenapa aku jadi memikirkan tubuh Naina yang putih dan mulus itu?” tanyanya gusar.
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang