"Tinggalkan istrimu, sejumlah uang akan saya transfer setiap bulannya." Frans Harding, seorang CEO sebuah perusahaan ternama, menyuguhkan bukti transfer sebesar sepuluh juta rupiah ke rekening milik salah satu pegawainya yang berprofesi sebagai office boy. Pria itu bernama Dani Setiawan.
Tidak langsung memberikan jawaban. Dani melangkah maju, mempertajam penglihatannya, memastikan Apakah benar nama dirinya yang tercantum pada bukti transfer yang ditunjukkan oleh sang atasan? Dalam hitungan detik raut wajah Dani berubah senang. Dia membuka matanya lebar-lebar, lalu mengajukan pertanyaan sebelum memberikan jawaban."Apakah Anda tidak akan mengingkari janji Anda, Pak?" Dia memang gila harta, tetapi cukup hati-hati dalam mengambil keputusan. Sok jual mahal, padahal dia sangat menginginkan uang itu."Dani, kamu tahu siapa saya? Kamu bisa bongkar rahasia ini ke publik kalau saya berbohong. Dan, kamu tahu apa dampak bagi saya juga perusahaan? Nama baik perusahaan saya akan tercoreng. Kamu pikir saya akan membiarkan hal itu terjadi?"Kini, tanpa ada keraguan Dani pun mengangguk setuju. "Baiklah, Pak. Berikan saya waktu satu bulan untuk menceraikan istri saya.""Tidak satu bulan," tolak Frans yang sudah tidak sabaran."Baiklah tiga minggu.""Tidak juga tiga minggu, saya tidak bisa menunggu selama itu.""Lalu," tanya Dani lagi."Satu minggu. Tidak ada tawar-menawar!""Terlalu singkat, Pak. Saya harus mencari alasan yang tepat.""Ceraikan istrimu dalam kurun waktu satu minggu, saya tambahkan sepuluh juta lagi. Kalau kamu merasa tidak sanggup, baiklah. Saya punya segalanya, saya bisa mencari wanita lain." Frans menutup laptopnya, lalu mempersilakan Dani untuk keluar. "Silakan kamu keluar, Dani."Tidak ingin membuang-buang kesempatan, akhirnya Dani pun menyanggupinya tepat saat Frans akan menghubungi security untuk mengusir dirinya dari sana. "Baiklah, Pak. Dalam kurun waktu satu minggu, saya akan menceraikan istri saya.""Bagus. Saya suka itu." Frans kembali mengambil handphone-nya dari atas meja, melakukan transaksi untuk yang kedua kalinya, dengan jumlah yang sama, juga dengan nama penerima yang sama."Bersenang-senanglah, uang senilai dua puluh juta sudah saya transfer ke rekening milikmu."Dani tersenyum lebar, lalu mengucapkan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya. "Terima kasih banyak, Pak. Sungguh saya sangat berterimakasih.""Oh, iya. Saya ingin bertemu dengan istrimu, apa pun caranya, tolong suruh dia menghadap saya.""Baik, Pak. Saya akan meminta istri saya ke sini, untuk mengambil uang gaji saya.""Baik, saya tunggu besok."Setelah menyepakati sebuah kesepakatan, akhirnya Dani pun keluar dari ruang kerja Frans. Di sudah tidak sabar ingin melakukan transaksi untuk mengambil uangnya di ATM, lalu bersenang-senang dengan banyak perempuan.***Keesokan harinya, sesuai dengan keinginan Frans, Dani memerintahkan sang istri ke kantor menghadap sang atasan untuk mengambil gajinya yang kebetulan turun hari ini, dengan alasan dirinya harus lembur karena akan ada acara di kantor. Tanpa menaruh curiga, wanita cantik bernama Karina Putri itu pun mematuhinya. Dia datang menghadap sang atasan tepat pukul sebelas siang."Siang, Pak."Frans yang saat ini sedang fokus pada layar laptopnya pun melihat ke arah sumber suara, tersenyum menyeringai saat melihat seorang wanita yang dicintainya berdiri di depan meja kerjanya."Hai, Karin."Dahi Karin langsung mengerut, menatapnya penuh tanya. "Dari mana dia tau namaku?" batinnya bergumam."Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Frans sambil dengan senyum tulus."Mas Dani meminta saya menghadap Pak Frans untuk mengambil uang gajinya. Bapak betul Pak Frans?" tanya Karin sedikit ragu, pasalnya baru kali ini dia melihat sekaligus mengenali atasan suaminya."Iya, saya Frans." Dia mengeluarkan amplop coklat, lalu menyerahkan amplop coklat itu kepada Karin "Ini upah suami kamu."Karin menerima amplop tersebut seraya mengucapkan ucapan terima kasih. "Terima kasih, Pak.""Sama-sama.""Kalau begitu saya permisi dulu, Pak," ucap Karin seraya menunduk hormat, lalu melangkah mundur hendak pergi.Belum puas melihat wajah cantik sang pujaan hati, Frans memanggilnya. "Tunggu, Karin."Terpaksa dia harus menghentikan langkahnya, kembali berdiri menghadap meja kerja Frans. "Iya, Pak? Ada apa, ya?""Tolong sampaikan ke suami kamu, jangan lupa nanti malam jam tujuh antar saya ke mall.""Bapak mau minta anter suami saya ke mall?""Iya, memangnya kenapa? Suami kamu sibuk?""Ng–nggak sih, Pak. Cuma ....""Tadi saya sudah bilang sama suami kamu dan dia setuju. Tolong bantu kamu ingatkan lagi.""Oh. Baiklah, Pak.""Selain itu, kamu juga harus ikut.""Saya, Pak?" Kedua bola mata Karin terbuka lebar, saking terkejutnya."Iya kamu.""Kenapa saya juga harus ikut?""Saya mau beli hadiah buat pacar saya, saya rasa kamu punya selera yang bagus.""Saya nggak ngerti apa-apa, Pak. Selera saya biasa aja, mana saya mengerti selera orang-orang kaya.""Kamu nggak tau karna belum liat, coba nanti kalau udah liat, pasti tau mana yang cocok buat pacar saya.""Tapi, Pak ....""Ini perintah. Saya akan anggap lembur dan uang lembur kalian saya bayar di muka sebanyak lima juta. Bagaimana?" tawar Frans dengan keyakinan penuh, kalau Karin akan menyetujui perintahnya. Apa lagi mendengar nominal yang disebutkan.Hanya menemani si bos ke mall, membantu memilih sebuah hadiah untuk kekasihnya dihargai uang sebanyak lima juta? Siapa yang berani menolak? Apa lagi seperti Karin yang selama ini hidup serba kekurangan, dibandingkan penghasilan Dani satu bulan, masih jauh ke mana-mana dengan bayaran lima juta yang ditawarkan. Jawabnya tentu iya, toh mereka tidak pergi berdua, ada Dani di sana."Boleh, Pak.""Bagus. Nanti jam tujuh tunggu di persimpangan jalan depan kantor.""Baik, Pak. Ada lagi yang mau Anda sampaikan?'’"Tidak ada, kamu boleh pergi sekarang.""Baiklah saya permisi, Pak. Selamat siang."Setelah Karin pergi, teman Frans bernama Lukas yang juga ada di sana dan mendengar semua percakapan mereka, langsung angkat bicara. "Bisa aja kamu modusnya.""Yah, namanya juga usaha." Frans kembali duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum penuh kemenangan."Dia udah punya suami, Frans. Ingat," ucap Lukas seraya mengingatkan."Iya aku tau. Lagi pula memangnya apa yang akan aku lakukan? Aku cuma meminta bantuannya untuk memilihkan hadiah.""Nggak, nggak ada yang salah, kok. Apa pun yang kami lakukan adalah benar.""Loh. Iya, kan? Aku nggak sembunyi-sembunyi dari suaminya. Ke mall juga sama suaminya.""Bagus." Lukas mengacungkan kedua jempolnya. "Itu namanya cerdas.""Makanya, punya ini dipake." Frans menunjuk ke arah kepala sisi sebelah kanan, lalu ia kembali fokus pada layar laptopnya, begitupun dengan Lukas yang memilih acuh, karena sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu.Jangankan Frans seorang anak pemilik perusahaan, seorang karyawan saja banyak yang main perempuan di luar rumah dengan pergi ke tempat hiburan, karaoke, juga tempat hiburan lainnya. Bagi mereka hal seperti itu sudah dianggap biasa."Kalau aku ajak dia ke hotel, kira-kira bakal mau nggak, ya?" ucap Frans tiba-tiba."Jangan gila kamu, Frans. Kamu bisa tidur sama semua wanita, tapi nggak dengan wanita yang bersuami.""Oh, ya? Kita lihat saja nanti."Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan