Share

Bab 2. Alasan

Setelah menerima bayaran dari Frans sebanyak 1,5 juta rupiah, Karin pergi ke pasar membeli beras juga sembako lainya untuk kebutuhan sehari-hari. Begitu sampai di rumah, dia segera beraksi di dapur, memasak makanan kesukaan Dani. Namun, belum selesai memasak, Dani datang menghampiri Karin dan langsung mempertanyakan gajinya.

"Mana uang tadi?"

"Mau ngapain kamu tanya uang? Gaji kamu itu cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari. Masih aja ditanyin."

"Terus uang 1,5juta itu mau kamu makan sendiri? Punya otak nggak sih kamu?" Dani bicara sambil berkacak pinggang berdiri di samping Karin.

"Satu setengah juta untuk kebutuhan satu bulan? Kamu pikir cukup? Buat bayar kontrakan aja cuma sisa setengahnya, belum beli beras, sabun mandi, sabun cuci, bensin kamu, rokok kamu. Cukup dengan uang segitu?"

"Ya itu urusan kamu, ngapain aku harus pusing-pusing mikirin hal kayak gitu. Udah aku capek kerja, masih disuruh mikir keperluan rumah juga. Usaha dong kamu, jangan cuma diem di rumah aja. Enak banget jadi perempuan tinggal minta duit." Dani mengacak-acak tempe yang sedang Karin iris untuk dijadikan orek, hingga tempe tersebut berserakan di lantai.

Selalu seperti itu dan Karin tidak pernah mau meneruskan perdebatan karena akan percuma. Dani yang tidak mau mengerti, tidak akan pernah mengerti sekalipun Karin menjelaskan semuanya secara detail. Dari pada melawan, dia lebih memilih memunguti tempe yang jatuh dan tetap akan mengolahnya walau sambil berderai air mata.

Dani berjalan menuju meja makan, lalu menuangkan air minum ke dalam gelas sambil berpikir. "Beruntung aku menyetujui keinginan pak Frans dan sekarang aku semakin yakin akan keputusan itu."

Dani menenggak minumannya sampai habis, lalu bicara kepada Karin. "Nanti malem kita temenin pak Frans ke mall. Dia mau beli hadiah buat pacarnya."

"Aku udah tau," balas Karin singkat.

"Kamu disuruh ikut."

"Dia juga udah bilang."

"Bagus deh kalau gitu. Uang lembur yang diberikan pak Frans, itu milik aku. Buat satu bulan ke depan kamu nggak usah ngasih aku uang bensin. Tapi kalau rokok tetap kamu yang beli."

Karin tidak perduli, dia terus menyelesaikan masaknya di dapur, lalu Dani pergi ke kamarnya. Setelah Dani pergi, Karin coba menetralkan perasaannya dengan menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan.

"Gini amat berumahtangga sama kamu, Mas. Kamu berbeda dengan mas Dani yang dulu. Sekarang semakin ke sini, kamu semakin aneh dan egois," gerutu Karin. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, mengepalnya cukup kuat.

***

Malam hari, Karin sudah berpakaian rapi. Begitupun dengan Dani. Mereka pergi ke persimpangan jalan menggunakan angkutan umum, lalu duduk di sebuah halte bus, menunggu dijemput oleh Frans. Baru beberapa menit mereka duduk, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan mereka, lalu Fans pun keluar dari mobilnya.

"Malam, Pak." Dani menyapa lebih dulu, penuh dengan rasa hormat.

"Malam, Dan. Kita berangkat sekarang?"

"Siap, Pak. Izinkan saya yang membawa mobilnya."

Frans menyerahkan kunci mobilnya kepada Dani dengan cara dilempar, lalu Dani bicara kepada Karin. "Kamu duduk di belakang sama pak Frans, ya."

"Loh, kok? Kenapa?" tanya Karin dengan dahi mengerut.

"Kalau kamu duduk di depan sama aku, kesannya Pak Frans penumpang. Nggak mungkin, kan? Lebih nggak mungkin lagi kalau Pak Frans yang bawa mobilnya. Sama aja dengan kita ngelunjak," jelas Dani akan kebingungan istrinya.

"Nggak apa-apa, Dan. Sini biar saya saja yang bawa," pinta Frans seraya mengulurkan tangan.

"Jangan, Pak. Udah biar saya aja."

Tidak enak jika harus berdebat, Karin pun mengangguk setuju. "Ya udah nggak apa-apa. Sebelumnya saya minta maaf ya, Pak. Bukan maksud saya lancang mau duduk di samping Pak Frans. Tapi ...."

Belum selesai satu kalimat diucapkan, Frans memangkasnya dengan cepat. "Tenang aja, saya sama sekali nggak ada pikiran ke sana. Justru saya yang seharusnya berterima kasih karena kalian mau membantu saya. Sebelumnya saya juga mau minta maaf, karena sudah merepotkan kalian."

"Nggak kok, Pak," balas Dani. "Ayo kita jalan sekarang, Pak."

"Mari silakan."

Frans membuka pintu mobil, lalu mempersilahkan Karin masuk. Dia memperlakukan Karin seperti dia memperlakukan orang spesial saja. Aneh sih, tetapi tidak ada waktu untuk Karin berpikir saat pintu mobil sudah dibukakan. Dia masuk lebih dulu ke dalam mobil, disusul oleh Frans yang duduk di sebelahnya.

Sepanjang perjalanan Dani dengan Frans mengobrol, membicarakan proyek mereka yang tengah dikerjakan. Sedangkan Karin, dia memilih diam, memalingkan wajahnya ke arah jendela, tanpa ada niatan ikut dalam perbincangan.

Tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhinya mereka pun sampai di tempat tujuan. Dani memarkirkan mobil dengan rapi, lalu mereka pun keluar dari mobil secara bersamaan. Namun, saat akan masuk ke dalam mal, handphone milik Dani berdering. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari dalam sakunya, lalu menjawab panggilan, sambil berjalan menjauh.

"Iya, halo. Pak Agus, ada apa ya, Pak?"

Sementara Dani menerima telepon, Frans bersama Karin menunggu sambil berdiri di samping mobil.

"Sudah berapa lama kamu menikah?" Pertanyaan Frans memecah keheningan di antara keduanya.

"Lima tahun, Pak," jawab Karin dengan ekspresi datar.

"Oh, udah punya anak?" tanya Frans lagi.

"Kebetulan udah." Karin berdiri dengan gusar, sesekali dia melirik ke arah sang suami yang masih menerima panggilan.

"Maaf, kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan kamu, atau membuat kamu kurang nyaman."

"Oh, nggak kok, Pak. Saya sama sekali nggak tersinggung."

"Syukur deh. Tapi, boleh saya bertanya lagi?"

"Silakan, tanya saja."

"Apakah kamu bahagia sama pernikahan kamu?"

Karin diam untuk beberapa waktu. Saat akan menjawab, Dani datang menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah antara Frans dengan Karin. "Maaf, Pak. Tadi saya dapat telepon dari kepala kebersihan, pak Agus."

"Ada apa di kantor?" tanya Frans.

"Bukannya besok kantor akan ada acara? Saya sama beberapa OB lainnya disuruh beres-beres di lantai lima, Pak. Acara akan diselenggarakan di sana."

"Oh, iya. Aku hampir lupa. Iya, besok kantor akan ada acara."

"Nah, kayaknya saya nggak bisa anter Bapak ke dalem, sama istri saya aja nggak apa-apa kan, Pak?"

"Terserah," jawab Frans singkat.

Setelah bicara dengan Frans, Dani bicara kepada sang istri. "Nggak apa-apa kan, Rin?"

"Tapi, Mas ...."

Dani mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Karin, lalu berbisik, "Jangan nolak! Nggak enak sama pak Frans. Soalnya dia udah transfer uang lembur aku."

Mau tidak mau Karin pun mengangguk patuh. "Ya udah deh."

Setelah Karin setuju, Dani kembali berpamitan. "Saya pulang dulu ya, Pak." Dia menyerahkan kunci mobil kepada Frans, lalu Frans menyerahkan sejumlah uang untuk ongkos.

Senyum Dani menyeringai. Setelah mendapatkan upah lima juta di muka, dia juga diberi ongkos untuk pulang sebanyak lima ratus ribu. Masih banyak sisanya.

"Terima kasih, Pak." Setelah diberi ongkos pulang, Dani pun pergi tanpa melihat lagi ke belakang.

Karin hanya bisa melihat punggung suaminya berjalan cepat menuju jalan raya. Terlihat dia menghentikan taksi, lalu pergi bersama taksi tersebut. Dalam hati Karin bergumam, "Kenapa kamu dengan mudah meninggalkan aku dengan pria lain, Mas. Kamu sama sekali nggak cemburu? Kamu nggak takut hal buruk terjadi kepadaku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status