Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!"
"Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Maksud Anda?" Karin menghentikan langkah kakinya, begitu pun dengan Frans. "Saya peringatkan ya, Pak. Tidak ada hubungan suami istri, kita belum menikah!""Karin, saya rasa suara kamu kurang kencang. Kamu bisa pakai toa biar semua orang bisa mendengar suara kamu."Karin langsung menutup mulut dengan tangannya, lalu celingukan ke kanan, kek kiri, depan, belakang, memperhatikan sekitar khawatir ada orang lain yang mendengar ucapannya barusan dan beruntunglah di sana hanya ada mereka berdua."Belajar pelankan suaramu, ini bukan di kampung. Kenyamanan penghuni di sini sangat diutamakan.""Bapak yang mancing saya untuk berteriak.""Lagi pula, saya nggak bilang kalau saya akan menyetubuhi kamu, kan? Saya cuma mau kebebasan. Kapan pun saya mau bertemu kamu, tidak ada yang melarang, tidak ada yang bergunjing, tidak ada yang mengawasi. Cuma itu.""Awas saja kalau sampai Anda melanggar peraturan saya.""Memangnya apa yang akan kamu lakukan kalau saya melanggar aturan kamu?""Anda akan kehilangan saya untuk selama-lamanya.""Apa? Kabur? Saya akan menemukan kamu sekalipun kamu bersembunyi di lubang semut. Paham!"Karin diam, Frans kembali berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Sekitar lima meter dari lokasi mereka berdebat barusan, Frans berhenti di depan pintu unitnya. Dengan menekan pin, terbukalah kunci."Ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka pintu, lalu mempersilahkan Karin masuk duluan.Dengan perasaan ragu Karin pun melangkah masuk, dan lampu otomatis menyala. Hal itu membuat Karin terkejut sampai terperanjat ke dalam pelukan Frans. Sadar diri saat ini dia berada di tempat yang salah, Karin langsung menjauh dari Frans."Jangan pegang-pegang saya!" pekik Karin."Apa saya nggak salah dengar? Kamu yang loncat ke dalam pelukan saya, Karin.""Itu karna saya terkejut.""Berarti siapa yang salah?" Frans melingkarkan kedua tangannya di dada."Lampu. Yang salah lampu, kenapa dia nyala sendiri?""Ini apartemen bukan kontrakan, Karin."Lagi-lagi Karin diam, lalu Frans menyuruhnya untuk masuk. "Kenapa masih di sini? Ayo masuk!""Nggak, Bapak aja masuk duluan. Saya kan nggak tau di depan ada bahaya apa yang mengancam keselamatan saya."Frans menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu ia masuk lebih dulu menuju ruang utama keluarga dan pria itu menghidupkan semua lampu.Ingat apa yang Frans katakan tadi? Ini apartemen mewah, bukan kontrakan kumuh di pinggir jalan. Tentu isinya pun semua barang-barang mewah, bukan KW yang ada di pasar atau toko bangunan. Televisinya saja memiliki ukuran kisaran delapan puluh inchi. Bisa dibayangkan bagaimana luas ruang tersebut? Bisa dikatakan jika semua barang dihilangkan, ruang khusus keluarga itu berukuran seluas lapangan futsal."Di sini hanya ada satu kamar dan itu adalah kamarnya," tunjuk Frans ke arah kanannya.Karin melihat ke arah yang ditunjuk, lalu bertanya, "Kenapa apartemen seluas ini hanya ada satu kamar?""Karna saya tidak suka ada orang lain yang menginap di sini, apartemen adalah tempat privasi saya.""Lalu, kenapa Anda bawa saya ke sini?" Karin mengajukan pertanyaan sambil berjalan ke arah kamar yang tadi ditunjuk oleh Frans. Pintu kamar itu terlihat unik, membuat Karin merasa penasaran dengan isinya."Karna kamu spesial," jawab Frans tanpa ragu.Saat pintu dibuka, kamar dalam keadaan gelap. Karin masuk dan mencari stop kontak, lalu menghidupkan lampu kamar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut akan isi di dalam kamar tersebut.Ranjang dengan ukuran besar, sprei yang lembut, kasur yang empuk, dan selimut bulu halus cukup tebal."Nggak gerah apa?" celetuk Karin seraya mengusap selimut selembut sutra itu."Kamar saya ini ada pendingin ruangannya, Rin," balas Frans yang saat ini berdiri di ujung ranjang, sedangkan Karin berdiri di tepian ranjang sisi sebelah kiri."Saya tau, Pak. Saya juga nggak katro-katro amat kali, Pak.""Kalau tau, kenapa tadi tanya?""Saya nggak tanya apa-apa, tadi saya cuma ngobrol sendiri.""Iya, iya. Terserah kamu deh, Rin."Setelah puas melihat dan merasakan betapa empuknya kasur tersebut, Karin berjalan ke arah meja rias yang mana di sana sudah tersedia beberapa makeup lengkap. Ada lipstik, bedak, toner, cream malam, serum, dan masih banyak lagi. Perlengkapan itu semua membuat Karin ingin bertanya."Kenapa banyak sekali makeup di sini? Anda juga pakai lipstik?" Satu lipstik berwarna pink itu ia tunjukkan di depan Frans."Itu semua milik kamu.""Saya pikir milik tunangan Anda.""Tidak ada satu pun barang di sini yang saya khususkan untuk dia."Karin meletakkan kembali lipstik tersebut ke tempat semula. Setelah itu dia berjalan ke arah kamar mandi, melihat isinya dan lagi-lagi Karin dibuat terkejut. Bukan hanya satu ruangan yang berisi barang merah, tetapi di seluruh ruangan termasuk kamar mandi."Anda ini terlampau kaya atau gimana sih, Pak. Dari pada meminta saya cerai sama mas Dani, kenapa tidak Anda berikan saja saya bantuan secara cuma-cuma? Hitung-hitung beramal.""Enak aja cuma-cuma. Di dunia ini nggak ada yang gratis, Karin. Apa lagi saya harus mentransfer uang setiap bulan ke mantan suami kamu.""Jika Anda keberatan, kenapa Anda menginginkan saya?""Karna saya suka. Dan, apa pun yang saya mau, harus menjadi milik saya." Frans bicara sambil melangkah maju, bersamaan dengan Karin yang melangkah mundur."Jangan macam-macam ya, Pak. Saya bisa teriak sekencang mungkin.""Ada manfaatnya kamu teriak?" Kini wajah Frans dengan wajah Karin jaraknya sudah sangat dekat, Karin sampai harus membuang muka agar tidak terjadi kontak fisik."Cobalah kalau ada manfaatnya." Semakin Frans mendekatkan wajahnya, Karin langsung mendorong kuat-kuat pemilik tubuh kekar itu agar menjauh dari dirinya hingga ia terhuyun satu langkah ke belakang."Bisa nggak sih ngomongnya dari jauh aja. Saya kehabisan oksigen tau nggak."Frans tersenyum menyeringai seraya memperhatikan Karin dari ujung kaki hingga wajahnya yang semakin dilihat, menurutnya semakin memesona."Hanya pria bodoh yang mau melepaskan kamu.""Dan, menurut Anda suami saya itu adalah pria bodoh?"Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan