Share

02

Latifa merasa familiar mendengar suara yang memanggil namanya, kemudian mengalihkan pandangan sejenak ke arah sumber suara tersebut untuk memastikan. Setelah itu, fokusnya kembali pada pria tampan penuh pesona yang ada di hadapannya untuk segera pamit pergi.

Anggukan serta senyum memesona dari pria tampan tersebut seakan menjadi kode jika izin pamitnya telah disetujui. Latifa pun beranjak pergi dari sana untuk menghampiri suara yang memanggilnya tadi.

Tanpa Latifa sadari, senyum bahagia tersungging tipis dari sudut bibirnya saat melangkahkan kaki menghampiri Harsa, suaminya. Entah mengapa, meski kesal dijemput oleh suaminya secara mendadak seperti itu, tetap ada rasa bahagia yang tentu gengsi untuk Latifa ungkapkan. Terlebih, kali ini Harsa melakukannya tanpa ia minta sama sekali.

Namun, pada kenyataanya kebahagiaan Latifa berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Harsa saat Latifa mendekat. Perasaan Harsa  dipenuhi rasa curiga, melihat langkah kaki sang istri dengan diiringi senyuman tipis di bibirnya. Harsa merasa yakin senyuman Latifah tersungging karena dirinya berbincang dengan pria tadi. Namun, demi apa pun saat ini dirinya tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk membahasnya.

Akhirnya tanpa ada sepatah kata sapaan terlebih dahulu, Harsa memilih langsung membukakan pintu mobil untuk Latifa yang tiba di hadapannya. 

"Makasih, Mas." Perempuan itu merasa senang diperlakukan manis oleh suaminya, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.

Latifa terlihat menarik napas panjang, kemudian menghembuskanya secara perlahan, saat berada dalam satu ruangan dengan Harsa. Duduk berdua saja bersama Harsa seperti ini, nyatanya membuat degup jantung Latifa berpacu tidak karuan. Entah mengapa, rasa gugup itu bisa kembali hadir meski setelah jeda waktu cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu  bersama, walau hanya sekedar jalan berdua seperti saat itu.

Sreet ... klek ....

"Ehh, Mas, aku bisa sendiri, kok," cicit Latifa. Tubuhnya terkesiap kala Harsa menarik seat belt lalu memasangkannya untuk sang istri tercinta.

Harsa hanya memasang senyuman tipis setipis tisu di bibirnya yang  berwarna kecoklatan.

'Detak jantung masih aman, kan? Suka banget melakukan sesuatu tanpa permisi dulu, sih, kamu, Mas,' gumam Latifa dalam hati. Kemudian Harsa mengulurkan tangan kanannya, sebagai kode pada sang istri, sebelum ia melajukan mobilnya.

Latifa pun langsung paham, kemudian mencium punggung tangan suaminya itu dengan takzim. Lantas Harsa membalasnya dengan usapan lembut di atas kepala Latifa yang terbalut jilbab segi empat warna favoritnya, hitam.

Pria itu mulai melajukaan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang mulai padat.

"Mas, merokok makin kuat, ya?" sindir Latifa pada Harsa.

"Jika sedang banyak yang dipikirkan, iya." Harsa mengaku. Seolah tidak menyadari kalimat sindiran yang istrinya katakan.

"Sehari habis berapa bungkus?" tanya Latifa. ia seolah- olah penasaran ketika mendengar pengakuan jujur suaminya, padahal Latifa menyadari, jika dirinya telah menanyakan perkara yang selalu berhasil menjadi bahan bakar pertengkaran di antara mereka. Namun, Latifa memilih mengabaikannya. Menurut Latifa, Harsa masih saja tidak peduli pada kesehatannya sendiri. Lalu bagaimana ia nanti bisa peduli pada kesehatan keluarga di sekitarnya?

"Cuma dua atau tiga bungkus sehari, Sayang," jawab Harsa, tanpa merasa bersalah. Padahal Latifa sudah memasang muka masam. Harsa yang tengah fokus mengemudi itu memang tidak sempat memperhatikan wajah sang istri.

"What? Mas, memang sudah tidak sayang, ya, pada diri sendiri? Lalu, bagaimana, Mas mau sayang juga pada kami?" Latifa mencebik, terlalu kesal pada suaminya itu.

'Mampus, kayaknya gue keceplosan,' gumam Harsa. Ia baru menyadari ucapannya terlalu jujur perihal yang tidak disukai istrinya tersebut.

"Tidak ada hubungannya rokok dengan sayangku pada kalian, ya," jawab Harsa beralibi. Ia bingung hendak menjelaskan seperti apa, karena semua jawaban seakan terasa percuma. Sang istri akan tetap merajuk.

"Tahu, ah! Aku pikir, Mas sudah berubah, ternyata masih sama saja". Latifa yang kesal lalu memalingkan wajahnya keluar jendela mobil.

'Lah, dia ngambek beneran,' gumam Harsa.

Menyadari istrinya itu merajuk, Harsa tentu tidak mau tinggal diam. Ia tidak ingin waktunya berdua dengan orang yang dirindukannya itu menjadi sia-sia. 

"Mas janji. ngurangi merokoknya, ya," kata Harsa. Ia mencoba membujuk istrinya kembali.

"Iya, dikurangi satu per satu dari bungkusnya, habisnya, mah, tetep saja berbungkus-bungkus juga sehari!" cicit Latifa.

Wajah cantiknya masih dipalingkan dari Harsa.

Ia masih hafal dengan jawaban Harsa, ketika dulu dirinya meminta suaminya itu mengurangi porsi merokok demi menjaga kesehatan bersama. Ia selalu mengucapkan kalimat tersebut. Padahal Harsa sudah tahu, istrinya memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan organ pernapasannya.

"Kamu, kok, pinter banget sih, jawabnya?" Harsa terkekeh sendiri. Ia ingat dahulu kalimat itu yang selalu diucapkanya di kala sang istri protes akan kebiasaan buruknya.

Latifa nampak malas menanggapi, sehingga beberapa menit berlalu mereka masih saling membisu. Hanya suara mesin mobil saja yang memberi nyawa pada perjalan pulang mereka. Sebab tadi saat mulai melajukan mobilnya, Harsa bahkan sengaja tidak menyalakan music agar mereka lebih leluasa mengobrol bersama.

'Emm, gue ajak makan bareng aja dulu apa, ya, kali, kalo perutnya kenyang, dia, bisa lebih jinak. Ehh, tapi kalo langsung nolak gimana? Dia, kan, biasanya kalo lagi mode ngambek gini susah dibujuknya,' Harsa jadi bermonolog dengan sendiri.

'Oh iya. Lebih baik gue, posisikan diri gue aja kali ya sebagai objek,' gumam Harsa lagi. Ia segera mencoba idenya itu.

"Yang, laper tidak? Aku laper banget, nih, kita mampir makan dulu gimana?" tanya Harsa, sengaja memposisikan dirinya sebagai objek untuk mengajak istri nya itu makan berdua.

Harsa kawatir, jika dirinya  mengajak Latifa makan bersama sebelum pulang ke rumah secara langsung akan langsung ditolaknya.

"Memang tadi mau berangkat jemput aku, kamu tidak makan dulu, Mas?" tanya Latifa. Ia merespon ajakan Harsa masih dengan nada bicara kesal. Namun, saat menjawab pertanyaan Harsa ia sudah mau kembali menatapnya.

Harsa menyadari itu kala melihat sekilas dari sudut ekor matanya. Kemudian Harsa menggelengkan pelan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan sang istri.

Huffft ....

Latifa terlihat mendenguskan napas kasar, dirinya sendiri yang tengah kesal tingkat dewi itu, memang tadinya ingin langsung pulang ke rumah. Tetapi, karena tidak tega mendengar suaminya kelaparan. Akhirnya terpaksa seperti dugaan Harsa, istrinya itu, tidak akan bisa menolaknya.

"Jadi, mau ya, temenin mas makan dulu sebelum pulang?" tanya Harsa memastikan ajakannya diiyakan sang istri.

"Terserah, Mas Harsa, saja," jawab  Latifa, terdengar pasrah.

"Kalo kamu terpaksa temenin mas makan, tidak mengapa lah, kita langsung pulang saja.

Dari pada nanti pas makan bareng, makannan yang kita makan jadi terasa tidak nikmat, alias hambar bin ambyar," ucap Harsa, berpura pura memasang mimik wajah sedih. Sejujurnya, saat mengatakan itu, Harsa pun takut istrinya itu malah kembali merajuk.

Latifa melirik tajam ke arah Harsa sesaat.

"Katanya laper! Kenapa jadi kebanyakan drama sih, Mas," sahut Latifa.

"Galak banget, sih jawabnya? Aku pikir, tadinya kamu juga laper, baru pulang kerja gini, kan," ungkap Harsa, kembali keceplosan mengutarakan niat awalnya.

"Ohh, jadi tadi niatnya, Kamu, mau ajakin aku makan?" tebak Latifa, seolah tau niatan awal Harsa yang ingin mengajaknya makan sebelum pulang ke rumah.

"Eh, tidak ... tidak bukan seperti itu, aku memang beneran laper, kok, Yang. Jadi apa salahnya, kita mampir buat makan bareng terlebih dahulu," jawab Harsa cepat, ia tidak ingin istrinya makin ngereog karena mulutnya yang baru saja keceplosan.

"Ya habisnya, sudah tahu aku lagi kesel sama kamu, malah kebanyakan drama." Latifa akirnya jujur pada Harsa, dengan mengungkapkan kejengkelannya sedari tadi.

Padahal tanpa diutarakan pun, Harsa sudah tahu istrinya itu sedang kesal padanya.

"Iya! Ya udah ,ya, maaf! Mas memang salah, niat mas sebenarnya  justru ingin kasih kejutan buat kamu saja, tapi ternyata kamu malah terlihat tidak menyukainya, ya".

Harsa memilih  mengalah, dengan meminta maaf terlebih dahulu, supaya istrinya itu tidak lagi memperpanjang kehadirannya, yang memang tiba- tiba datang ke sana tanpa berkabar terlebih dahulu.

Padahal selain itu, Latifa juga masih sangat kesal dengan janji Harsa yang pernah mengatakan, mau berhenti merokok tapi sampai detik ini sama sekali belum dipenuhi.

Malah mungkin, sekarang saat tidak sedang bersama, suaminya itu bisa lebih parah dosis merokoknya.

Namun, karena malas terus beradu argumen terlebih suaminya itu sudah meminta maaf. Latifa akhirnya mencoba memilih untuk menerima kehadiran suaminya itu.

"Bukan seperti itu juga kali, Mas, maksudnya. Memang, perempuan mana sih, yang tidak suka kalo dikasih kejutan. Tapi setidaknya, jika Mas berkabar dulu mau jemput aku, kan aku tidak perlu mengiyakan ajakan teman temanku tadi di kantor".

Latifa sengaja mengutarakan itu supaya suaminya makin merasa bersalah. Namun, nyatanya yang terjadi justru sebaliknya dan di luar perkiraan Latifa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status