Latifa merasa familiar mendengar suara yang memanggil namanya, kemudian mengalihkan pandangan sejenak ke arah sumber suara tersebut untuk memastikan. Setelah itu, fokusnya kembali pada pria tampan penuh pesona yang ada di hadapannya untuk segera pamit pergi.
Anggukan serta senyum memesona dari pria tampan tersebut seakan menjadi kode jika izin pamitnya telah disetujui. Latifa pun beranjak pergi dari sana untuk menghampiri suara yang memanggilnya tadi.Tanpa Latifa sadari, senyum bahagia tersungging tipis dari sudut bibirnya saat melangkahkan kaki menghampiri Harsa, suaminya. Entah mengapa, meski kesal dijemput oleh suaminya secara mendadak seperti itu, tetap ada rasa bahagia yang tentu gengsi untuk Latifa ungkapkan. Terlebih, kali ini Harsa melakukannya tanpa ia minta sama sekali.Namun, pada kenyataanya kebahagiaan Latifa berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Harsa saat Latifa mendekat. Perasaan Harsa dipenuhi rasa curiga, melihat langkah kaki sang istri dengan diiringi senyuman tipis di bibirnya. Harsa merasa yakin senyuman Latifah tersungging karena dirinya berbincang dengan pria tadi. Namun, demi apa pun saat ini dirinya tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk membahasnya.Akhirnya tanpa ada sepatah kata sapaan terlebih dahulu, Harsa memilih langsung membukakan pintu mobil untuk Latifa yang tiba di hadapannya. "Makasih, Mas." Perempuan itu merasa senang diperlakukan manis oleh suaminya, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.Latifa terlihat menarik napas panjang, kemudian menghembuskanya secara perlahan, saat berada dalam satu ruangan dengan Harsa. Duduk berdua saja bersama Harsa seperti ini, nyatanya membuat degup jantung Latifa berpacu tidak karuan. Entah mengapa, rasa gugup itu bisa kembali hadir meski setelah jeda waktu cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama, walau hanya sekedar jalan berdua seperti saat itu.Sreet ... klek ...."Ehh, Mas, aku bisa sendiri, kok," cicit Latifa. Tubuhnya terkesiap kala Harsa menarik seat belt lalu memasangkannya untuk sang istri tercinta.Harsa hanya memasang senyuman tipis setipis tisu di bibirnya yang berwarna kecoklatan.'Detak jantung masih aman, kan? Suka banget melakukan sesuatu tanpa permisi dulu, sih, kamu, Mas,' gumam Latifa dalam hati. Kemudian Harsa mengulurkan tangan kanannya, sebagai kode pada sang istri, sebelum ia melajukan mobilnya.Latifa pun langsung paham, kemudian mencium punggung tangan suaminya itu dengan takzim. Lantas Harsa membalasnya dengan usapan lembut di atas kepala Latifa yang terbalut jilbab segi empat warna favoritnya, hitam.Pria itu mulai melajukaan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang mulai padat."Mas, merokok makin kuat, ya?" sindir Latifa pada Harsa."Jika sedang banyak yang dipikirkan, iya." Harsa mengaku. Seolah tidak menyadari kalimat sindiran yang istrinya katakan."Sehari habis berapa bungkus?" tanya Latifa. ia seolah- olah penasaran ketika mendengar pengakuan jujur suaminya, padahal Latifa menyadari, jika dirinya telah menanyakan perkara yang selalu berhasil menjadi bahan bakar pertengkaran di antara mereka. Namun, Latifa memilih mengabaikannya. Menurut Latifa, Harsa masih saja tidak peduli pada kesehatannya sendiri. Lalu bagaimana ia nanti bisa peduli pada kesehatan keluarga di sekitarnya?"Cuma dua atau tiga bungkus sehari, Sayang," jawab Harsa, tanpa merasa bersalah. Padahal Latifa sudah memasang muka masam. Harsa yang tengah fokus mengemudi itu memang tidak sempat memperhatikan wajah sang istri."What? Mas, memang sudah tidak sayang, ya, pada diri sendiri? Lalu, bagaimana, Mas mau sayang juga pada kami?" Latifa mencebik, terlalu kesal pada suaminya itu.'Mampus, kayaknya gue keceplosan,' gumam Harsa. Ia baru menyadari ucapannya terlalu jujur perihal yang tidak disukai istrinya tersebut."Tidak ada hubungannya rokok dengan sayangku pada kalian, ya," jawab Harsa beralibi. Ia bingung hendak menjelaskan seperti apa, karena semua jawaban seakan terasa percuma. Sang istri akan tetap merajuk."Tahu, ah! Aku pikir, Mas sudah berubah, ternyata masih sama saja". Latifa yang kesal lalu memalingkan wajahnya keluar jendela mobil.'Lah, dia ngambek beneran,' gumam Harsa.Menyadari istrinya itu merajuk, Harsa tentu tidak mau tinggal diam. Ia tidak ingin waktunya berdua dengan orang yang dirindukannya itu menjadi sia-sia. "Mas janji. ngurangi merokoknya, ya," kata Harsa. Ia mencoba membujuk istrinya kembali."Iya, dikurangi satu per satu dari bungkusnya, habisnya, mah, tetep saja berbungkus-bungkus juga sehari!" cicit Latifa.Wajah cantiknya masih dipalingkan dari Harsa.Ia masih hafal dengan jawaban Harsa, ketika dulu dirinya meminta suaminya itu mengurangi porsi merokok demi menjaga kesehatan bersama. Ia selalu mengucapkan kalimat tersebut. Padahal Harsa sudah tahu, istrinya memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan organ pernapasannya."Kamu, kok, pinter banget sih, jawabnya?" Harsa terkekeh sendiri. Ia ingat dahulu kalimat itu yang selalu diucapkanya di kala sang istri protes akan kebiasaan buruknya.Latifa nampak malas menanggapi, sehingga beberapa menit berlalu mereka masih saling membisu. Hanya suara mesin mobil saja yang memberi nyawa pada perjalan pulang mereka. Sebab tadi saat mulai melajukan mobilnya, Harsa bahkan sengaja tidak menyalakan music agar mereka lebih leluasa mengobrol bersama.'Emm, gue ajak makan bareng aja dulu apa, ya, kali, kalo perutnya kenyang, dia, bisa lebih jinak. Ehh, tapi kalo langsung nolak gimana? Dia, kan, biasanya kalo lagi mode ngambek gini susah dibujuknya,' Harsa jadi bermonolog dengan sendiri.'Oh iya. Lebih baik gue, posisikan diri gue aja kali ya sebagai objek,' gumam Harsa lagi. Ia segera mencoba idenya itu."Yang, laper tidak? Aku laper banget, nih, kita mampir makan dulu gimana?" tanya Harsa, sengaja memposisikan dirinya sebagai objek untuk mengajak istri nya itu makan berdua.Harsa kawatir, jika dirinya mengajak Latifa makan bersama sebelum pulang ke rumah secara langsung akan langsung ditolaknya."Memang tadi mau berangkat jemput aku, kamu tidak makan dulu, Mas?" tanya Latifa. Ia merespon ajakan Harsa masih dengan nada bicara kesal. Namun, saat menjawab pertanyaan Harsa ia sudah mau kembali menatapnya.Harsa menyadari itu kala melihat sekilas dari sudut ekor matanya. Kemudian Harsa menggelengkan pelan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan sang istri.Huffft ....Latifa terlihat mendenguskan napas kasar, dirinya sendiri yang tengah kesal tingkat dewi itu, memang tadinya ingin langsung pulang ke rumah. Tetapi, karena tidak tega mendengar suaminya kelaparan. Akhirnya terpaksa seperti dugaan Harsa, istrinya itu, tidak akan bisa menolaknya."Jadi, mau ya, temenin mas makan dulu sebelum pulang?" tanya Harsa memastikan ajakannya diiyakan sang istri."Terserah, Mas Harsa, saja," jawab Latifa, terdengar pasrah."Kalo kamu terpaksa temenin mas makan, tidak mengapa lah, kita langsung pulang saja.Dari pada nanti pas makan bareng, makannan yang kita makan jadi terasa tidak nikmat, alias hambar bin ambyar," ucap Harsa, berpura pura memasang mimik wajah sedih. Sejujurnya, saat mengatakan itu, Harsa pun takut istrinya itu malah kembali merajuk.Latifa melirik tajam ke arah Harsa sesaat."Katanya laper! Kenapa jadi kebanyakan drama sih, Mas," sahut Latifa."Galak banget, sih jawabnya? Aku pikir, tadinya kamu juga laper, baru pulang kerja gini, kan," ungkap Harsa, kembali keceplosan mengutarakan niat awalnya."Ohh, jadi tadi niatnya, Kamu, mau ajakin aku makan?" tebak Latifa, seolah tau niatan awal Harsa yang ingin mengajaknya makan sebelum pulang ke rumah."Eh, tidak ... tidak bukan seperti itu, aku memang beneran laper, kok, Yang. Jadi apa salahnya, kita mampir buat makan bareng terlebih dahulu," jawab Harsa cepat, ia tidak ingin istrinya makin ngereog karena mulutnya yang baru saja keceplosan."Ya habisnya, sudah tahu aku lagi kesel sama kamu, malah kebanyakan drama." Latifa akirnya jujur pada Harsa, dengan mengungkapkan kejengkelannya sedari tadi.Padahal tanpa diutarakan pun, Harsa sudah tahu istrinya itu sedang kesal padanya."Iya! Ya udah ,ya, maaf! Mas memang salah, niat mas sebenarnya justru ingin kasih kejutan buat kamu saja, tapi ternyata kamu malah terlihat tidak menyukainya, ya".Harsa memilih mengalah, dengan meminta maaf terlebih dahulu, supaya istrinya itu tidak lagi memperpanjang kehadirannya, yang memang tiba- tiba datang ke sana tanpa berkabar terlebih dahulu.Padahal selain itu, Latifa juga masih sangat kesal dengan janji Harsa yang pernah mengatakan, mau berhenti merokok tapi sampai detik ini sama sekali belum dipenuhi.Malah mungkin, sekarang saat tidak sedang bersama, suaminya itu bisa lebih parah dosis merokoknya.Namun, karena malas terus beradu argumen terlebih suaminya itu sudah meminta maaf. Latifa akhirnya mencoba memilih untuk menerima kehadiran suaminya itu."Bukan seperti itu juga kali, Mas, maksudnya. Memang, perempuan mana sih, yang tidak suka kalo dikasih kejutan. Tapi setidaknya, jika Mas berkabar dulu mau jemput aku, kan aku tidak perlu mengiyakan ajakan teman temanku tadi di kantor".Latifa sengaja mengutarakan itu supaya suaminya makin merasa bersalah. Namun, nyatanya yang terjadi justru sebaliknya dan di luar perkiraan Latifa.Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah