"Mas, aku mau kita cerai saja, kita jalani hidup kita masing-masing, supaya di antara kita, tidak terus menerus saling menyakiti," notifikasi pesan terakir dari Siti Latifa, yang kemudian menjadi alasan kuat Harsa Ishara pulang mengunjungi keluarga kecilnya di rumah mertuanya.
Setelah niat baiknya ikut pulang suami ke kampung halamanya dua tahun lalu disia-siakan, Latifa memilih pulang ke rumah orang tuanya, dengan luka yang sulit ia lupakan dari keluarga besar sang suami.
Harsa tiba di rumah orang tua Latifa.
"Astagfirullah!" ucap Siti Latifa.
Siti Latifa menyingkirkan dengan cepat tangan kekar yang melingkar di perut yang memeluknya dari arah belakang tubuhnya. Ia sangat terkejut, kesadaran cepat ia kuasai, sehingga tidak sampai membuat kegaduhan di pagi buta seperti ini, di rumah kedua orang tuanya.
"Mas Harsa? Mengapa dia bisa ada disini? Kapan dia datang?" guman Siti Latifa sembari berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia lekas beranjak dari posisinya yang kini sudah berubah pada posisi duduk.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Harsa pelan.
Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dan dalam keadaan mata yang nampak masih terpejam, namun, satu lengan Harsa berhasil menahan laju sang pujaan hati untuk tetap berada di posisinya.
Harsa berharap, sang istri, Siti Latifa, yang kerap dipanggil Ifa, itu, urung meninggalkannya. Karena, sejujurnya ia masih sangat merindukannya.
Dengan memejamkan mata malas, sesaat Latifa berusaha meredam rasa yang sulit diartikan saat ini, akhirnya ia memilih sambil meredam kekesalannya dan masih tetap pada posisinya, duduk di tepi tempat tidur dan urung hendak beranjak dari tempat tidur tersebut.
Ada rasa bercampur aduk dalam hati Siti Latifa saat ini, antara rindu, kesal juga benci, ketika mengingat perlakuan suaminya dahulu kepadanya. Namun, saat ini tentu bukan waktu yang tepat untuk mendeskripsikannya.
Sungguh, rasanya Latifa ingin pergi saja menghindari Harsa lebih dulu pada saat ini, jika tidak ingat akan membuat kegaduhan di rumah orang tuanya.
Sedangkan Harsa yang merasa lama tak kunjung mendapat respon dari sosok yang sangat ia rindukan selama ini, ia berangsur bangkit dari tidurnya yang posisinya masih sama saat memeluk Latifa dari belakang tadi.
Sett ....
Dengan sigap Harsa kembali memeluk dari belakang, kekasih hati yang hampir membuatnya setengah gila setahun belakangan ini.
"Mas Harsa, lepaskan!" pinta Latifa dengan nada bicara yang pelan, namun penuh penekannan di dalamnya.
"Sebentar saja, tolong tenanglah, atau pagi ini kita akan sukses membuat kegaduhan di rumah orang tua kamu ini," bisik Harsa, masih dengan posisi memeluk Latifa penuh ketenangan.
Bahkan saat ini, wajahnya berhasil ia tenggelamkan pada leher putih sang istri, ia ambil kesempatan itu untuk menghirup dalam aroma candu yang selalu berhasil membangkitkan gairahnya itu.
"Mas, jangan seperti ini, geli," Latifa kembali meminta dilepaskan.
Jika saja antara mereka berdua sedang dalam komunikasi yang baik, pasti semalam saat Harsa baru tiba sudah pasti langsung ia eksekusi perempuan yang statusnya masih sebagai istri sah-nya itu.
Akan tetapi, demi mendapatkan hati sang kekasih hatinya lagi, Harsa harus rela menahan hawa panas pada tubuhnya karena nafsunya yang mulai bergejolak ketika kulit mereka berdua saling bersentuhan. Harsa berjanji pada dirinya sendiri akan bersabar menumbuhkan cinta di hati sang istri kembali.
"Kamu membuatku gila, Sayang." Pelukan Harsa justru makin ia eratkan pada Latifa.
Sedangkan Latifa yang sedari tadi dipeluk Harsa dari belakang, masih berusaha melepaskan tubuhnya dan mulai semakin kesal dibuatnya, kala suaminya itu semakin erat memeluknya.
"Sudah ya, Mas, tolong lepaskan! Aku harus bersiap untuk pergi kerja," rengek Latifa, penuh penekanan minta dilepaskan. Namun Harsa masih belum mau melepas pelukannya.
"Aku kehabisan oksigen, Isha!" tegas Latifa, yang berhasil membebaskan diri dari pelukan erat Harsa.
Harsa akirnya mengalah untuk melepaskan pelukannya, pada saat istrinya itu menegaskan nama belakangnya.
"Nanti berangkat kerja aku yang antar, ya," bujuk Harsa lagi, berupaya mencuri kesempatan untuk bisa bersama dengan sang istri lebih lama.
"Tidak perlu, Mas, aku bisa berangkat sendiri!" tolak Latifa. Lalu dirinya beranjak dari posisinya untuk siap berkemas. Ia sengaja menolak diantar oleh Harsa karena masih sangat kesal dengan kepulangannya yang tanpa kabar itu.
Meskipun tidak dipungkiri, dirinya juga sama dengan Harsa yang belakangan ini cukup merasa tersiksa oleh rasa rindu pada sosok ayah dari anaknya tersebut. Namun nyatanya, ego dari rasa kecewa lebih mendominasi, sehingga Latifa enggan memiliki waktu lebih lama hanya berdua saja dengan Harsa.
***
Sore harinya, Harsa sengaja meminjam mobil adik iparnya untuk menjemput sang istri pulang bekerja, karena kebetulan dirinya pulang ke rumah mertuanya memang hanya menggunakan kendaraan umum.
"Pagi tidak boleh antar, sore gue jemput, tidak mungkin nolak kan dia," celoteh Harsa, penuh semangat ketika hendak menjemput sang istri pulang bekerja, bahkan kali ini ia sengaja menunggu di depan kantornya persis.
Namun ternyata, saat ini di tempat Latifa bekerja, dirinya yang memang merasa belum memiliki janji sepulang kerja itu, langsung mengiyakan ajakan kedua sahabatnya.
"Mas, di depan tempat kerja kamu, ya," notifikasi pesan dari sebuah nomor baru tiba-tiba muncul di layar pipih milik Latifa, usai dirinya mengiyakan ajakan salah seorang sahabatnya.
Latifa yang sedang sibuk berkemas untuk pulang pun hanya membaca sekilas, lalu mengabaikan kembali pesan dari nomor baru tidak bertuan yang baru masuk pada notifikasi pesan miliknya tersebut.
"Nomor baru? Mungkin salah kirim," guman Latifa santai, bahkan ia tak memiliki rasa curiga sedikit pun, jika nomor baru itu kemungkinan milik suaminya.
Ya ... nomor Harsa yang biasa digunakannya memang sedang Latifa blokir, sengaja ia lakukan itu saat kesal pada Harsa, nanti jika rasa kesalnya sudah menghilang, baru ia akan membuka blokirannya kembali.
Di dalam mobil yang sudah terparkir di depan kantor Latifa, Harsa yang merasa lama menunggu balasan saat pesan darinya sudah ceklis biru tanda telah terbaca itu pun memilih mengalihkan jempolnya menekan tombol call.
"Hallo," sapa Latifa dari seberang telefon sana yang langsung mengangkat panggilan dari nomor yang sama yang telah mengirimnya notifikasi pesan tadi.
"Hallo, Sayang, ini mas sudah ada di depan tempat kamu kerja ya, pulangnya bareng sama mas, ya," jawab Harsa memberitakan keberadaanya di sana.
Latifa yang mendapati perhatian Harsa itu bukannya senang, justru semakin kesal dibuatnya.
"Aishh, kebiasaan banget sih, sudah datang tidak berkabar, sekarang main jemput-jemput tanpa diminta lagi," celoteh Latifa pelan, namun ternyata masih sampai terdengar pada telinga Harsa di seberang telefon sana.
"Mas bukan jailangkung, Dek, mas hanya ingin manfaatin waktu mas buat bisa lebih lama sama kamu selama di sini, sudah itu saja," ucap Harsa saat mendengar celotehan sang istri.
"Memang siapa yang mengatakan kamu jailangkung, hah!" komentar Latifa asal. Dirinya jadi teringat, dahulu saat masih tinggal berdua dengan Harsa, saat mereka belum memiliki anak, rasanya meminta waktu sebentar saja untuk Harsa bisa menjemputnya sepulang kerja seperti ini, lebih banyak Harsa abaikan. Saat itu Harsa selalu beralibi, sibuklah, inilah, itulah, padahal saat itu Latifa tahu pekerjaan suaminya saat itu cukup santai, juga tidak terikat oleh waktu, karena memang sebagian besar pekerjaan yang terikat waktu sudah dikerjakan oleh para karyawannya.
"Bukankah kamu sendiri barusan yang mengatakan, aku datang secara tiba-tiba," jawab Harsa, yang malah menanggapi komentar nyeleneh istrinya.
"Sayang, ingat! Sampai kapanpun kamu itu akan tetap jadi istri aku! Kalian tanggung jawab aku, aku tidak akan pernah lepasin kamu, meski kamu sudah memintanya berulang kali dariku," ungkap Harsa jujur apa adanya, Ia sudah sadar bahwa selama ini sikapnya terlalu acuh pada ibu dari kedua anaknya itu.
"Pede amat aku mau sama kamu terus," ucap Latifa ketus.
"Kamu jangan berbicara seperti itu, Sayang, bagaimanapun caranya akan aku buat kamu jatuh cinta lagi sama aku. Sudah, lekas kemari, aku di depan gerbang, ya, pakai mobil Galih," kata Harsa sebelum akirnya memutuskan panggilannya sepihak.
"Apa sih mau dia sebenarnya? Mana sukanya maksa pula," gerutu Latifa kesal saat mendapati sambungan telefon yang terputus sepihak. Namun meski begitu ia tetap memilih pulang dengan suaminya dan akan membatalkan janjinya bersama kedua sahabatnya sore ini.
Di luar kantor, saat melihat para karyawan mulai keluar dari pintu utama kantor, Harsa memilih keluar dari dalam mobilnya.
"Ifa!" pekik Harsa dari gerbang kantor, saat melihat sang istri justru tengah mengobrol akrab bersama seorang laki laki berpakaian rapi nan tampan di sana.
Latifa merasa familiar mendengar suara yang memanggil namanya, kemudian mengalihkan pandangan sejenak ke arah sumber suara tersebut untuk memastikan. Setelah itu, fokusnya kembali pada pria tampan penuh pesona yang ada di hadapannya untuk segera pamit pergi.Anggukan serta senyum memesona dari pria tampan tersebut seakan menjadi kode jika izin pamitnya telah disetujui. Latifa pun beranjak pergi dari sana untuk menghampiri suara yang memanggilnya tadi.Tanpa Latifa sadari, senyum bahagia tersungging tipis dari sudut bibirnya saat melangkahkan kaki menghampiri Harsa, suaminya. Entah mengapa, meski kesal dijemput oleh suaminya secara mendadak seperti itu, tetap ada rasa bahagia yang tentu gengsi untuk Latifa ungkapkan. Terlebih, kali ini Harsa melakukannya tanpa ia minta sama sekali.Namun, pada kenyataanya kebahagiaan Latifa berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Harsa saat Latifa mendekat. Perasaan Harsa dipenuhi rasa curiga, melihat langkah kaki sang istri dengan diiri
"Oh, tadi kamu sudah ada acara? Aku kira tahu aku pulang, kamu akan dengan senang hati meluangkan waktumu untukku," ungkap Harsa.Laki laki itu mengutarakan kekecewaannya pada sang istri.'Iya, juga ya, kesannya kok jadi gue yang tidak menghargai kehadiran dia banget, gak sih?' gumam Latifa.Akhirnya karena merasa bersalah, Latifa memilih meminta maaf."Iya ... iya, maaf aku salah, Mas, habisnya aku kesel sama Mas jadi mengiyakan saja ajakan teman kantorku itu," ungkap Latifa."Sayang, bukan tidak boleh, ya! Tapi kamu pergi dengan temanmu itu, kan bisa kapan saja." Jelas Harsa sambil memberhentikan laju mobilnya kala memasuki antrian pengisian bahan bakar."Mas, aku ke toilet sebentar," pamit Latifa. Kemudian bergegas keluar dari dalam mobil.Harsa menggerutu setelah menghela napas kasar "Hufft ... tidak pengertian banget, sih kamu."Beberapa waktu menunggu istrinya kembali. Ponsel milik Latifa yang tidak senga
Pagi hari Harsa yang baru selesai berkemas itu kembali uring-uringan sendiri."Memang lagi apes banget gue sekalinya ketemu istri malah nggak bisa buka puasa," gerutu Harsa. Ia kesal karena semalam saat sedang ingin mengambil haknya, sang istri menyatakan tengah PMS."Semua sudah masuk tas, Mas?" tanya Latifa. Ia baru selesai mandi dan hanya menggunakan handuk sebagai penutup tubuhnya yang putih dan mulus itu.Gluk ....Harsa menelan saliva. Ia menjadi gagal fokus ditanya istrinya itu."Kamu sengaja mancing aku, ya!" tuduh Harsa pada Latifa.Tuduhan itu reflek begitu saja keluar dari mulut Harsa melihat sang istri yang hanya menggunakan handuk kala keluar dari kamar mandi."Mancing apa sih, Mas? Memang kamu ikan, dipancing? Lihat aku mau ambil baju ganti juga bukan bawa pancing." Latifa kemudian menutup almari baju kembali membawa baju seragam kerjanya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar.Harsa nampak mengipasi wajah yang memanas akibat ulah istrinya itu."Sudah tahu gue lagi
"Ehh, iya. Sory gue lagi nggak fokus. Lo lanjutin makan siang sendiri nggak papa kan Hana? Ada yang harus gue pastiin dulu soalnya," ucap Latifa pada Hana. Wanita itu beranjak dari duduknya mengembalikan trai makan siang. Lalu bergegas mencari tempat untuk menenangkan pikirannya. Latifa adalah tipikal orang yang cepat over thinking dan sulit melupakan setiap kejadian penting dalam hidupnya. 'Ok, Ifa. Sekarang lo nggak boleh over thinking dulu. Mas Harsa pasti segera kasih kabar baik ke lo,' cicit Latifa. Ia memilih pergi ke mushola kantor untuk sholat supaya hati dan pikirannya lebih tenang. Bali di waktu yang sama saat berita kecelakaan pesawat dengan maskapai penerbangan yang sama dengan yang Harsa naiki sedang disiarkan. Pria itu baru saja tiba di rumah orang tuanya. Adik dan papa Harsa yang menonton berita itu ikut gelisah. Mereka sempat Harsa beri kabar kala dirinya pagi tadi akan melakukan penerbangan. Mereka sangat bersyukur Harsa sampai di rumah dengan selamat. Meski kemud
"Jadi kamu menolak?" tanya Fadil pada Latifa."Bu-bukan seperti itu, Pak," jawab Latifa. Ia merasa tidak nyaman dengan permintaan Fadil yang lebih terasa seperti keharusan untuk dipenuhinya."Jika kamu tidak mau, tidak mengapa. Banyak yang mengantri posisi yang saya tawarkan ke kamu, kok. Nanti biar saya lempar ke yang lain saja." Fadil beranjak dari kursi kebesarannya menuju pintu keluar.Latifa yang mengira Fadil marah karena jawabannya itu, reflek mengiyakan permintaanya," baik, Pak saya akan coba."Fadil menghentikan langkah kaki kala mendengar jawaban Latifa yang sesuai dengan keinginannya. 'Yes,' gumam Fadil.Laki laki itu kembali menguasai diri saat memutar tubuhnya yang kini telah berhadapan langsung dengan Latifa. Wanita yang sama yang pernah mengisi sebagian hatinya kala mereka masih menjadi teman sekelas di bangku sekolah menengah atas dulu."Keputusan tepat, nanti sore tugas pertama kamu untuk belajar jadi sekretaris saya," ucap Fadil, yang kembali terdengar seperti perin
Hari ini kala jam makan siang kantor berlangsung Fadil iseng mengecek cctv kantor. Pria itu mendapati Latifa yang meninggalkan kantin tanpa menyentuh makanan di trai makan miliknya.Fadil yang khawatir Latifa akan jatuh sakit itu akhirnya memesan secara online beberapa buah roti untuk Latifa. Lalu mengantarkan langsung ke meja kerjanya.*Sore hari Fadil bersama Latifa sudah berada di resto mewah hotel bintang lima. Di tempat ini client Fadil mengatur jadual pertemuan mereka.'Ini restaurant memang sepi tidak ada pengunjung atau gimana, sih? Ehh, tapi harusnya kan jam segini ramai pengunjung.' Kaki Latifa mengekor langkah Fadil sambil pandangannya mengedar ke seluruh penjuru resto."Anda sudah tiba?" sapa wanita cantik yang ada di hadapan Fadil. Sedang Latifa fokus dengan isi pikirannya sendiri. 'Serius ini client yang akan pak Fadil temui sore ini?' gumam Latifa.Latifa mengernyit lalu memindai penampilan wanita cantik nan sexi yang hendak menyosor pipi Fadil namun, Fadil langsung m
_"Gimana, Fa?"_ tanya Hana._"Gue terlalu lama deh kayaknya ini ngerem di toilet bareng kalian. Gue duluan, ya. Pak Fadil minta gue menghadap soalnya."_Kembali tanpa menunggu persetujuan kedua sahabatnya itu. Latifa menekan tombol mengakhiri panggilan vidio call mereka bertiga._"Kayaknya jabatan mbak Ifa bakalan bikin doi sibuk banget itu, ya BaHan? Eh, maksudnya mbak Han, mbak Hana, hehehe,"_ ucap Neta pada Hana.Neta yang baru mendapatkan pengalaman pertama kali bekerja itu berfikir bagian pekerjaan baru Latifa cukup menguras waktu pribadinya. Bahkan saat ini sudah masuk waktu Isyak namun, wanita itu belum juga pulang ke rumah untuk istirahat sedang besok pagi sudah harus kembali lagi ke kantor untuk bekerja._"Sepertinya tetep dihitung lembur, deh,"_ ungkap Hana. Ia sama-samq tidak tahu.*Di waktu yang hampir sama dengan tempat Latifa berada. Harsa sedang berbicara serius dengan adik kandungnya."Mas kenapa mbak Latifa kemarin tidak ikut pulang bersama, Mas Harsa?" tanya Dewi p
Harsa yang kebetulan sedang online itu memilih melakukan panggilan vidio namun, Latifa langsung menekan tombol merah kala mendapati panggilan itu.Latifa yang tidak ingin Harsa salah paham illekas mengirim notifikasi pesan kembali yang ternyata bersamaan dengan Harsa yang juga langsung mengirimkan notifikasi pesan untuk Latifa kala panggilan vidio darinya di tolak._"Kamu sudah mau tidur, Sayang?"_ Harsa mengira Latifa menolak panggilan vidio call darinya karena sudah akan pergi tidur._"Maaf, Mas. Anak-anak sudah tidur semua, kita berbalas pesan saja, ya."_ Latifa beralibi. Ia memang sedang tidak ingin mengobrol secara langsung dengan siapapun. Pengalaman pertama menjadi seorang sekretaris bos nyatanya cukup membuatnya kelelahan. Terlebih saat ini waktu juga sudah cukup larut Latifa tidak ingin mengganggu penghuni rumah lainya yang pasti akan terganggu nantinya karena kebetulan kamarnya memang tidak kedap suara._"Iya, Sayang. Kamu kalo capek lekas ikut tidur juga, ya. Mas bisa tele