Share

03

"Oh, tadi kamu sudah ada acara? Aku kira tahu aku pulang, kamu akan dengan senang hati meluangkan waktumu untukku," ungkap Harsa.

Laki laki itu mengutarakan kekecewaannya pada sang istri.

'Iya, juga ya, kesannya kok jadi gue yang tidak menghargai kehadiran dia banget, gak sih?' gumam Latifa.

Akhirnya karena merasa bersalah, Latifa memilih meminta maaf.

"Iya ... iya, maaf aku salah, Mas, habisnya aku kesel sama Mas jadi mengiyakan saja ajakan teman kantorku itu," ungkap Latifa.

"Sayang, bukan tidak boleh, ya! Tapi kamu pergi dengan temanmu itu, kan bisa kapan saja." Jelas Harsa sambil memberhentikan laju mobilnya kala memasuki antrian pengisian bahan bakar.

"Mas, aku ke toilet sebentar," pamit Latifa. Kemudian bergegas keluar dari dalam mobil.

Harsa menggerutu setelah menghela napas kasar "Hufft ... tidak pengertian banget, sih kamu."

Beberapa waktu menunggu istrinya kembali. Ponsel milik Latifa yang tidak sengaja tertinggal di dalam mobil bergetar.

"Halo, kamu sudah sampai rumah, Ifa? Maaf aku khawatir kamu tadi pamit tergesa saat sedang berbincang denganku," ucap suara pria dari seberang telepon sana.

Nut ... nutt ... nutt ....

Panggilan langsung Harsa akhiri sepihak tanpa mengucap sepatah kata sebagai jawaban panggilan dari sang pria.

'Berani sekali dia! Siapa sebenarnya pria itu?' geram Harsa mendapati istrinya diperhatikan oleh laki-laki lain.

Klek ....

Pintu mobil terbuka, mendapati Latifa telah kembali dari toilet.

" Loh, Mas? Ponselku, kok, bisa sama kamu?" tanya Latifa. Ia melihat ponsel miliknya ada pada sang suami.

"Oh, itu, barusan fans kamu telepon," ucap Harsa. Kemudian ia mengembalikan ponsel istrinya.

Meski sedang terbakar api cemburu, Harsa tidak mau langsung menuduh istrinya itu selingkuh.

'Fans? Siapa maksudnya?' Latifa bergumam kemudian mengecek notif panggilan terakhir.

Harsa sendiri memilih kembali melajukan mobilnya menyusuri jalanan sore yang mulai ramai pedagang makanan di pinggir jalan.

"Jadi kita mau makan di mana ini?"  Harsa bertanya pada Latifa yang sedang melamun.

"Ehh ... itu, Mas tadi kan yang laper? Terserah Mas Harsa saja. Kok malah jadi tanya ke aku." Latifa terperanjat saat menjawabnya.

"Kamu melamun apa? Jangan bilang pria yang mengkhawatirkan kamu tadi, ya!" tuduh Harsa pada Latifa.

" Jangan mengada-ada kamu, Mas. Lagian siapa juga yang sedang melamun." Latifa mengelak semua tuduhan suaminya itu.

"Halah, sudah jelas ketahuan juga masih berani mengelak," gerutu Harsa pelan. Namun, ternyata masih bisa di dengar Latifa.

Harsa sangat geram karena istrinya itu tidak mau langsung berterus terang padanya.

Sedangkan Latifa sendiri kini juga tengah bingung sebab tuduhan suaminya itu.

'Panggilan terakhir tadi dari Pak Fadil. Sebenarnya ada perlu apa dia sampai harus telepon gue? Bukankah masalah pekerjaan sudah beres semua di kantor tadi.' Latifa Memutar-mutar benda pipih di tanganya, sebab pusing sendiri menerka tuduhan suaminya itu.

"Mas tau kamu bukan tipe yang pandai berbohong, mau cerita langsung ke mas atau mas cari tahu sendiri, hemm?"

Di todong seperti itu oleh Harsa tentu membuat Latifa kesal sendiri.

"Aku harus cerita apa coba? Sedang aku sendiri tidak tahu apa yang kamu tuduhkan itu," jawab Latifa.

Ngikk ....

Harsa yang sudah sangat emosi itu, akhirnya menepikan laju mobilnya.

"Kamu jelaskan sekarang juga hu-bung-an kamu dengan pria yang baru saja menyatakan rasa khawatirnya terhadapmu itu," titah Harsa tegas bahkan penuh penekanan pada sang istri.

"Maksud, Mas, Pak Fadil?"

"Entah siapa lah pria itu, yang jelas dia baru saja menelepon istriku, dan bilang mengkhawatirkannya. Kamu pikir suami mana yang bisa tetap baik-baik saja, hah?" Harsa menggebu-gebu menjelaskan kegelisahannya pada Latifa.

Latifa menghela napas panjang sebelum menjelaskannya pada Harsa.

"Huff ... Pak Fadil itu atasan aku di kantor, Mas. Memang dia tadi bicara apa saat telepon aku?" tanya Latifa pada Harsa.

"Yakin, hubungan kalian hanya sebatas itu?" tanya Harsa masih penuh curiga.

"Aku sih, iyes! Ya, Mas," jawab Latifa.

" Aku tidak pernah anggap Pak Fadil lebih dari sekedar atasanku." Yakin Latifa sambil membalas tatapan tajam mata sang suami.

Harsa yang mendapat penjelasan dari sang istri mulai percaya jika istrinya itu berkata jujur. Namun, hatinya tetap tidak tenang jika istrinya masih harus setiap hari berjumpa dengan atasannya, yang ia tahu bernama Fadil itu.

"Mas Harsa, percaya aku, kan?" tanya Latifa pada Harsa.

"I ... iya, mas percaya. Tapi tidak pada atasan kamu yang bernama Fadil itu," ungkap Harsa mengutarakan kegelisahan hatinya.

Latifa yang menyadari kegelisahan suaminya itu mencoba meminta solusi padanya. Ia tentu tidak mau langkahnya berangkat kerja tidak mendapat ridho dari sang suami.

"Terus aku harus gimana, Mas? Aku sebagai karyawan tetap harus profesional bukan?"

"Berhenti bekerja di sana," ucap Harsa sambil kembali melajukan mobilnya.

"Loh, tidak bisa langsung berhenti bekerja dari sana begitu saja dong, Mas. Aku juga masih butuh uang untuk kebutuhan pribadi aku," ungkap Latifa jujur.

Memang setahun belakangan ini, Harsa yang mengirim uang untuk keluarga kecilnya hanya cukup untuk kebutuhan pokok anak-anaknya saja, sehingga Latifa memutuskan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan pribadinya.

Harsa yang kesal mendengar jawaban Latifa, memilih menyalurkan amarahnya pada sebatang rokok. Tak lupa jendela mobil lebih dulu ia buka.

Latifa yang melihat sang suami merokok memilih ikut menurunkan jendela mobil, hendak melarang merokok saat ini pun rasanya sungkan karena ia sadar telah memberikan jawaban yang sama sulitnya untuk saling menerima.

"Mas, kita makan di warung bakso Pakde belakang toserba saja, ya," ucap Latifa pada Harsa. Ia memberanikan diri mengusulkan tempat kuliner baru guna mencairkan suasana runyam di antara mereka berdua.

Meski tidak mendapat jawaban dari Harsa, ia tahu suaminya itu setuju saja dengan tempat pilihannya. Latifa memilih menunjukan jalan saja pada suaminya itu.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di warung bakso Pakde. Harsa kembali menurut saja memesan pesanan sesuai rekomendasi Latifa.

"Kamu dan anak-anak, ikut mas saja pulang ke Bali lagi," ajak Harsa pada Latifa, disela waktu mereka menunggu pesanan makannan tiba.

"Loh, Mas, mau pulang ke kampung lagi?" tanya Latifa.

"Sebenarnya mas pulang dadakan tanpa kabar ini juga karna dari kemarin galau ingin pulang urus Nanang (panggilan bapak di Bali) yang sudah keluar masuk rumah sakit terus," ungkap Harsa memulai ceritanya.

"Oh, iya, Mas. Tapi maaf aku belum bisa kalo harus ikut kamu kembali ke sana sekarang," ucap Latifa murung.

"Kamu masih marah sama keluargaku?" tanya Harsa penasaran.

"Ti ... tidak, Mas. Sama sekali aku sudah memaafkan mereka. Aku hanya belum siap saja, jujur aku belum bisa melupakan kejadian itu ...!" ucap Latifa yang belum selesai menjelaskan sudah Harsa potong kalimatnya lebih dulu.

"Itu berarti kamu belum bisa memaafkan," ungkap Harsa.

"Mas, bisa tidak, sih! Jika aku sedang menjelaskan kamu tidak main potong aja." Latifa mulai terpancing amarahnya karena Harsa memotong penjelasannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status