Share

Bab 6

Aku terbangun karena mendengar suara tangisan. Malam-malam begini siapa yang menangis, apa Husniah?

Kamarku dan kamar tempat dia tidur memang berdampingan dan tanpa pengedap suara. Jika malam hari suasana begitu sepi, pasti akan terdengar suara-suara jika posisinya sedekat ini. Aku bangkit dari tempat tidur, melihat jam analog di ponselku. 3.30 masih terlalu pagi. Kenapa sudah menangis saja.

Bergegas aku pergi ke kamar sebelah, untung saja sudah tidak dikunci lagi. Pelan kubuka pintu kamar tersebut. Tampak olehku gadis itu berbaring di atas sajadah. Apa mungkin dia menangis setelah sholat dan berdoa. Tapi kenapa posisinya berbaring seperti itu.

"Bunda, ajak aku bersamamu," ucapnya sambil terisak-isak.

Pelan kudekati tubuh itu, matanya terpejam. Sepertinya dia ketiduran lalu mengigau. Bibirnya terlihat kering dan pucat. Apa dia sakit?

Dengan keraguan kupegang keningnya, benar saja suhu tubuhnya begitu panas menyengat. Pantas saja dia mengigau. Nyusahin aja, pakai sakit segala. Segera kuraih tubuh mungil itu, aku harus segera membawanya ke dokter. Aku tidak pernah merawat orang sakit, khawatir malah terjadi apa-apa dengannya. Ditambah lagi suhu tubuhnya yang begitu panas.

Kubawa tubuh itu ke mobil tanpa membuka mukenanya. Hanya mukena bagian bawah saja yang aku buka. Selama ini, Husniah tidak pernah memperlihatkan rambutnya padaku, oleh sebab itulah aku tak berani membuka penutup kepalanya.

Segera kulajukan kendaraanku dengan tujuan klinik dua puluh empat jam. Sesampainya di klinik, aku segera membawanya ke UGD. Dia harus segera ditangani. Sebenci apapun aku padanya, di tidak boleh kenapa-kenapa, karena aku bertanggung jawab pada Ibu.

Husniah harus dirawat, dokter bilang gadis itu demam juga dehidrasi, serta kurang nutrisi. Oh astaga ... Apa selama di rumah dia tidak pernah makan, dan saat aku tinggal di kampus kemarin dia juga tidak makan. Aku memang tidak begitu peduli padanya. Saat di rumah aku tidak pernah makan bersamanya. Meskipun gadis itu masak dengan berbagai menu sesuai dengan stock bahan makanan yang aku belikan, tapi tak pernah kudapati dia makan. Aku juga baru merasakan berat badannya yang begitu ringan. Pantas saja semua bajunya terlihat kebesaran, dia hanya punya tulang dan kulit.

Pagi ini aku mendadak ijin tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Lita menelponku dengan khawatir, apa aku sakit karena kurang istirahat, sebab waktu istirahatku digunakan untuk menemaninya jalan-jalan. Tentu saja aku tidak menjawabnya karena itu.

Setelah Zuhur kami memutuskan pulang, Husniah tidak mau berlama-lama di klinik. Kondisinya juga membaik setelah habis satu kantong infus.

"Tolong jangan nyusahin aku, jagalah dirimu sendiri. Makan yang banyak, jangan lupa minum air putih, pastikan dirimu tetap sehat. Aku sudah cukup lelah dengan keberadaanmu jangan kau tambah lagi dengan sakit-sakitan," ucapku panjang lebar sepulang kami dari klinik.

Aku berusaha perhatian padanya tapi tetap saja kata-kata pedas yang keluar dari mulutku.

"Maaf," lirihnya.

"Bisamu hanya minta maaf saja, tunjukan dengan perbuatan."

Diam, gadis itu tak lagi mengucapkan sepatah katapun. Aku menghela nafas dalam-dalam.

"Sana istirahat," perintahku.

Husniah berlalu ke dalam kamar, menuruti perintahku tanpa berucap apapun.

Setelah kepergiannya, aku berlalu menuju ke dapur. Menyala kompor dan memasak bubur. Karena bertahun-tahun hidup sendiri, aku terbiasa memasak apapun. Akan kubuatkan bubur untuknya. Perutnya yang mungkin tidak diisi dengan makanan itu harus diberi makanan yang lembut-lembut terlebih dahulu.

Setelah masakan itu matang aku segera membawanya ke kamar. Saat kubuka pintu, terlihat olehku gadis itu sedang menatap ponselnya dengan pandangan kosong dan air mata menganak sungai. Apa dia melihat foto Bundanya. Jika saat menikah denganku baru satu minggu dia ditinggal pergi oleh Bundanya, maka sekarang ini belum ada satu bulan kepergiaan sang Bunda.

Dia masih dalam masa berkabung, ditinggal satu-satunya orang yang mencintai dan merawatnya dan aku terus saja menyakiti hatinya.

Melihat kedatanganku, gadis itu langsung mengusap air matanya dan menyimpan smartphone miliknya di atas tempat tidur.

"Makanlah." Aku berkata sambil menyodorkan semangkuk bubur padanya.

"Ini sudah sore, sudah waktunya makan lagi," sambungku saat melihatnya ragu-ragu menerima makanan dariku.

Husniah menerima mangkuk tersebut, lalu berdiri dari tempat tidur.

"Terimakasih, aku makan di ruang makan saja," ujarnya sembari melangkah keluar kamar.

Aku mengikuti langkahnya, harus kupastikan gadis itu memakannya agar cepat sembuh dan tidak menyusahkanku. Husniah memakan bubur itu hingga habis, entah suka, lapar atau karena aku terus menatapnya dengan tajam.

"Kenapa baru mau kuliah sekarang, bukankah seharusnya kamu sudah masuk kuliah tahun lalu. Kamu hampir seusia adikku." Aku membuka percakapan setelah gadis itu menyelesaikan makannya.

Husniah menatapku sekilas lalu menunduk kembali, mungkin tidak menyangka aku akan bertanya padanya hal remeh-temeh seperti ini.

"Aku tidak mau meninggalkan Bunda sendirian di rumah. Aku ingin merawatnya. Bunda sakit parah setelah aku lulus SMA," sahut Husniah mulai bercerita.

"Bunda tidak mau ke rumah sakit dan memilih untuk dirawat di rumah saja. Dokter bilang sudah tidak ada harapan lagi, oleh sebab itulah bunda enggan ke rumah sakit dan berobat. Meskipun dokter mengatakan usianya tidak lama lagi, tapi bunda bertahan satu tahun, hingga aku memasuki usia diperbolehkan untuk menikah.

"Sepertinya Bunda tidak ingin aku hidup sendirian, dan pada akhirnya Mas Hanan yang harus menanggung beban itu. Maafkan Bundaku, Mas. Aku janji akan segera mandiri dan pergi dari rumah ini."

Kali ini, gadis itu bicara lancar dan jelas, seperti tanpa beban.

Gadis itu selalu menyebut kata pergi dan mandiri, seakan semua itu adalah hal yang gampang dilakukan.

"Memangnya Bunda sakit apa?" tanyaku.

Belum sempat Husniah menjawab terdengar suara salam dari arah depan. Sepertinya ada tamu, aku segera berlalu meninggalkan gadis itu. Melihat siapa yang datang sore-sore begini.

Setelah pintu gerbang terbuka, tampak di depanku wanita dengan lesung pipi tersenyum padaku.

"Lita, ngapain kamu datang ke sini?" tanyaku tanpa mempersilahkan wanita itu masuk terlebih dahulu.

Di dalam ada Husniah, aku akan mengatakan apa padanya jika dia bertanya tentang gadis itu.

"Aku khawatir padamu, Mas. Katanya sakit makanya aku ke sini buat nengokin. Aku gak di suruh masuk nih?"

"Oh iya, masuklah," ucapku, mempersilahkan dengan enggan.

Wanita itu dengan santai masuk ke dalam rumahku. Dulu sekali, dia pernah datang juga ke sini saat aku sedang sakit juga. Dia tahu aku hidup sendiri, makanya dia tampak santai saja hendak masuk ke dalam rumah.

"Mas, itu siapa?" tanya Lita saat melihat Husniah yang hendak masuk ke dalam kamar.

Mati. Aku mau jawab apa sekarang.

Kami bertiga hanya saling memandang, lidahku kelu, tidak ada kosa kata yang bisa keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaan Lita. Apa iya aku akan mengatakan lagi kalau dia pembantuku. Pasti gadis itu akan bersedih lagi.

🍁 🍁 🍁

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Malika Yasna
indah ceritany
goodnovel comment avatar
Tuti Sulastri
knpa Hanan g jujur aj,klu Nia itu istrinya,sudah,jngn buat Nia menangis trus.....
goodnovel comment avatar
Widya Pratiwi
Suaminya kejam amat yak... Sampe nangis aku bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status