Share

Minta maaf

Bab 04

Aku melihat ibu itu sudah mulai pucat, mungkin dia sudah merasa malu karena tetangga sudah pada rame di halaman rumah Mertua. Maklumlah sudah jam 5 sore, jam pulangnya orang dari ladang masing-masing.

"Tolong dijawab Bu, apa Ibu terima seandainya aku bicara seperti yang Ibu bicarakan tentang aku tadi?" sengaja ku ulangi karena kulihat ibu itu lagi tidak konsen, entahlah apa yang buat dia jadi tidak segalak tadi. Aku juga mengabaikan teriakan ibu-ibu tadi, sebab tujuanku hanya ingin membuat ibu ini jera saja, bukan sengaja mempermalukan.

"Sudahlah, aku mau pulang saja, aku mau pu-pulang saja. Percuma bicara dengan orang yang tidak punya perasaan." ucapnya sudah mulai gagap.

Waduh, gawat ibu ini, sama sekali tidak ada rasa bersalahnya, bebal juga ini ibu ya. Dari kemarin dia yang nuduh aku yang gak-gak, eh sekarang malah bilang aku tak punya perasaan. Terbuat dari batu kali hati ibu ini, sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas diucapkan.

"Tidak bisa Bu, kalau Ibu mau pergi dari rumah Mertuaku ini, silahkan minta maaf dulu kepada Amang dan Inang Mertua sekarang. Ini harga mati Bu, tidak bisa ditawar-tawar." Aku tetap berdiri ditengah-tengah pintu keluar rumah.

"Aku tidak salah, aku hanya menyarankan tadi agar Mertuamu mengajari kamu tentang kebiasaan di kampung ini, tak lebih dari situ kok, itu saja musti minta maaf?" Kali ini suara ibu itu sudah mulai agak melunak. Meskipun mode bertanya.

"Sudahlah Dek, tidak usah diperpanjang lagi. Biarkan Ibu ini pulang." Bang Linggom mendekatiku dan memegang tanganku agar aku bergeser kasih jalan ke ibu tersebut.

"Tidak Bang, agar ibu ini tahu gimana rasanya berhadapan dengan Preman, soalnya kemarin saat kita baru nyampai di rumah ini, ibu ini dengan beberapa temannya bilang kalau Abang bawa Preman, bukan menantu. Mereka terus mengejek dan mentertawakan aku selama mereka disini." ucapku, aku terus berdiri di tengah pintu meski Bang Linggom menarik tanganku.

"Ini ada apa ya kok rame-rame?" ucap seorang orang bapak datang menghampiri kami. Sementara aku dan Bang Linggom saling bertahan dalam pendirian masing-masing. Aku menghempaskan tangan bang Linggom yang sejak tadi menarik ku agar membiarkan ibu tukang bully ini pergi.

"Ini Pak Kepala Desa, aku tadi datang kesini bilang ke Pak Regar dan Ibu, agar menasehati menantunya, tadi aku risih melihat dia pakai basahan dari sungai pulang ke rumah. Alasannya karena tidak membawa baju ganti dari rumah. Tapi menantu baru ini, malah memaksa aku minta maaf, katanya aku datang mengganggu kenyamanan mereka di rumah ini." Ibu itu menjelaskan seolah-olah dia tidak bersalah.

Oh ... Ternyata Bapak itu Kepala Desa. Baguslah akan kutunjukkan kalau aku tidak bersalah, dikira aku takut, eh tidaklah Yao.

"Baiklah Bu Restu. Kita akan bicarakan masalah ini baik-baik, biar ada penyelesaiannya. Sekarang kita duduk semua, biar kita diskusi dari mana awal mula perdebatan ini." ucap Pak kepdes.

Oh, namanya Bu Restu to, mungkin ibu ini keberatan nama ya, sehingga tidak bisa merestui dengan lapang dada apa yang terjadi di desa ini, makanya seperti kata adek Bang Linggom tadi, banyak orang yang tidak suka padanya lantaran suka menjelekkan orang lain.

Ibu Mertua mengambil tikar besar dan membentangkannya di ruang tamu. Kami duduk bersama, begitupun orang-orang yang diluar ikut masuk dan duduk di tikar.

"Maaf Pak Regar, dan Ibu. Kita yang disini pengen tahu dulu awal mula perdebatan ini, untuk itu kami serahkan buat Bapak atau Ibu yang menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya." ucap Kepala Desa membuka diskusi dengan wibawa nya.

"Sebenarnya tidak ada masalah Pak, mantu Pak Regar ini saja yang kurang kerjaan." Bu Restu langsung nyosor pendapatnya meski belum diminta.

"Bu Restu tolong tenang dulu, nanti ada giliran Ibu kok buat bicara. Agar kita bisa mencari jalan keluar, maka kita harus mendengar cerita dari kedua belah pihak."

"Gimana aku mau tenang Pak, kalau hanya menegur yang muda saja aku harus disidang begini." Muka Bu Restu semakin kelihatan tidak nyaman.

"Silahkan Pak Regar atau Ibu untuk bicara yang sebenarnya."

Kasihan juga Bapak dan Mama Mertua jadi ikut-ikutan terseret gini karena mulut tajam Ibu ini. Gak tega juga lihatnya. "Maaf Pak Kepala Desa, bapak dan mama Mertua tidak tahu masalah ini, Ibu ini hanya bermasalah denganku."

"Tuh, sadarnya! tapi kenapa sok-sokan nyuruh aku minta maaf pada Mertuamu." Ih, semakin resek deh Bu Restu ini, aku kan hanya tidak mau kedua mertuaku jadi terbebani karena aku.

"Sudah, sudah Bu Restu. Baiklah Nak Riksa silahkan cerita awal mula perdebatan kalian ini."

"Iya Pak." Aku tarik nafas panjang agar bisa rileks untuk cerita. Aku tidak mau ada cerita sesungguhnya yang tertinggal. "Begini Pak, tadi aku pulang dari sungai, ibu ini melihatku dengan cara tidak suka, katanya aku tidak diajari orangtuaku sopan santun dan tata krama, karena memang aku pakai basahan kain sarung dari sungai ke rumah. Kata ibu ini, aku tidak punya ot*k dan ingin merayu suami ibu-ibu disini, makanya aku pakai basahan, padahal itu karna aku tidak bawa baju ganti ke sungai, selama aku hidup, baru kali ini Pak, sungai berfungsi jadi kamar mandi. Jadi aku mohon maaf karena belum tahu kebiasaan disini. Dan untuk kedepannya aku berjanji akan mengikuti kebiasaan di kampung ini." ucapku panjang lebar memberikan penjelasan kepada semua yang ada.

"Iya, tapi aku kan hanya ingin menegur mu saja, agar tidak begitu lagi lain kali." Bu Restu nyeletuk menimpali kalimatku.

"Menegur tidak harus berusaha menampar Bu," Bapak Mertua, melihat tajam Bu Restu.

Apa? Bapak Mertua membela aku, yes, terimakasih Tuhan... Ingin aku melompat mencium dan memeluk Mertuaku itu. Padahal aku tadi sudah takut akan dimarah karena tidak memperbolehkan ibu ini pulang.

"Iya karena menantu Pak Regar sudah lancang." sungut Bu Restu dengan mulut dimajukan kedepan. Benar-benar bebal Restu ini woi, sungguh sangat sulit menyadarkannya.

"Berarti ini hanya salah paham saja, niat Bu Restu baik ingin memberitahukan kebiasaan disini ke Riska sebagai mantu baru di desa ini. Cuma cara penyampaian Bu Restu yang tidak punya tata krama dan Sopan santun, jadi wajar Riska tersinggung dan Ibu Restu harus minta maaf." ucap Pak Kepala Desa bijak.

"Aku sadar sebagai anak Pak, untuk itu aku meminta ibu ini minta maaf kepada Babak dan Mama Mertua saja, tidak kepadaku. Biar lain kali jangan asal bicara, apalagi sampai menyinggung orangtuaku Pak, yang sama sekali belum dikenalnya." ucapku sedikit melow, sepertinya mataku sedikit merah menahan bulir bening yang terasa panas dan tertahan di mata ini.

"Baiklah, sekarang Bu Restu minta maaf pada Pak Regar sekeluarga, agar masalah ini tidak berlarut-larut." sahut kepdes dengan tegas.

Bu restu melihatku malu, mukanya merah lalu menunduk. " Ya sudah, aku minta maaf Pak Regar dan Ibu." ucapnya dengan suara kecil tapi jelas.

"Ibu minta maaf kepada Riska saja Bu, karena dengan Riska lah Ibu bermasalah." sahut Bapak Mertua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status