Share

Minta maaf

Author: Vania Ivana
last update Last Updated: 2023-10-20 23:43:02

Bab 04

Aku melihat ibu itu sudah mulai pucat, mungkin dia sudah merasa malu karena tetangga sudah pada rame di halaman rumah Mertua. Maklumlah sudah jam 5 sore, jam pulangnya orang dari ladang masing-masing.

"Tolong dijawab Bu, apa Ibu terima seandainya aku bicara seperti yang Ibu bicarakan tentang aku tadi?" sengaja ku ulangi karena kulihat ibu itu lagi tidak konsen, entahlah apa yang buat dia jadi tidak segalak tadi. Aku juga mengabaikan teriakan ibu-ibu tadi, sebab tujuanku hanya ingin membuat ibu ini jera saja, bukan sengaja mempermalukan.

"Sudahlah, aku mau pulang saja, aku mau pu-pulang saja. Percuma bicara dengan orang yang tidak punya perasaan." ucapnya sudah mulai gagap.

Waduh, gawat ibu ini, sama sekali tidak ada rasa bersalahnya, bebal juga ini ibu ya. Dari kemarin dia yang nuduh aku yang gak-gak, eh sekarang malah bilang aku tak punya perasaan. Terbuat dari batu kali hati ibu ini, sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas diucapkan.

"Tidak bisa Bu, kalau Ibu mau pergi dari rumah Mertuaku ini, silahkan minta maaf dulu kepada Amang dan Inang Mertua sekarang. Ini harga mati Bu, tidak bisa ditawar-tawar." Aku tetap berdiri ditengah-tengah pintu keluar rumah.

"Aku tidak salah, aku hanya menyarankan tadi agar Mertuamu mengajari kamu tentang kebiasaan di kampung ini, tak lebih dari situ kok, itu saja musti minta maaf?" Kali ini suara ibu itu sudah mulai agak melunak. Meskipun mode bertanya.

"Sudahlah Dek, tidak usah diperpanjang lagi. Biarkan Ibu ini pulang." Bang Linggom mendekatiku dan memegang tanganku agar aku bergeser kasih jalan ke ibu tersebut.

"Tidak Bang, agar ibu ini tahu gimana rasanya berhadapan dengan Preman, soalnya kemarin saat kita baru nyampai di rumah ini, ibu ini dengan beberapa temannya bilang kalau Abang bawa Preman, bukan menantu. Mereka terus mengejek dan mentertawakan aku selama mereka disini." ucapku, aku terus berdiri di tengah pintu meski Bang Linggom menarik tanganku.

"Ini ada apa ya kok rame-rame?" ucap seorang orang bapak datang menghampiri kami. Sementara aku dan Bang Linggom saling bertahan dalam pendirian masing-masing. Aku menghempaskan tangan bang Linggom yang sejak tadi menarik ku agar membiarkan ibu tukang bully ini pergi.

"Ini Pak Kepala Desa, aku tadi datang kesini bilang ke Pak Regar dan Ibu, agar menasehati menantunya, tadi aku risih melihat dia pakai basahan dari sungai pulang ke rumah. Alasannya karena tidak membawa baju ganti dari rumah. Tapi menantu baru ini, malah memaksa aku minta maaf, katanya aku datang mengganggu kenyamanan mereka di rumah ini." Ibu itu menjelaskan seolah-olah dia tidak bersalah.

Oh ... Ternyata Bapak itu Kepala Desa. Baguslah akan kutunjukkan kalau aku tidak bersalah, dikira aku takut, eh tidaklah Yao.

"Baiklah Bu Restu. Kita akan bicarakan masalah ini baik-baik, biar ada penyelesaiannya. Sekarang kita duduk semua, biar kita diskusi dari mana awal mula perdebatan ini." ucap Pak kepdes.

Oh, namanya Bu Restu to, mungkin ibu ini keberatan nama ya, sehingga tidak bisa merestui dengan lapang dada apa yang terjadi di desa ini, makanya seperti kata adek Bang Linggom tadi, banyak orang yang tidak suka padanya lantaran suka menjelekkan orang lain.

Ibu Mertua mengambil tikar besar dan membentangkannya di ruang tamu. Kami duduk bersama, begitupun orang-orang yang diluar ikut masuk dan duduk di tikar.

"Maaf Pak Regar, dan Ibu. Kita yang disini pengen tahu dulu awal mula perdebatan ini, untuk itu kami serahkan buat Bapak atau Ibu yang menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya." ucap Kepala Desa membuka diskusi dengan wibawa nya.

"Sebenarnya tidak ada masalah Pak, mantu Pak Regar ini saja yang kurang kerjaan." Bu Restu langsung nyosor pendapatnya meski belum diminta.

"Bu Restu tolong tenang dulu, nanti ada giliran Ibu kok buat bicara. Agar kita bisa mencari jalan keluar, maka kita harus mendengar cerita dari kedua belah pihak."

"Gimana aku mau tenang Pak, kalau hanya menegur yang muda saja aku harus disidang begini." Muka Bu Restu semakin kelihatan tidak nyaman.

"Silahkan Pak Regar atau Ibu untuk bicara yang sebenarnya."

Kasihan juga Bapak dan Mama Mertua jadi ikut-ikutan terseret gini karena mulut tajam Ibu ini. Gak tega juga lihatnya. "Maaf Pak Kepala Desa, bapak dan mama Mertua tidak tahu masalah ini, Ibu ini hanya bermasalah denganku."

"Tuh, sadarnya! tapi kenapa sok-sokan nyuruh aku minta maaf pada Mertuamu." Ih, semakin resek deh Bu Restu ini, aku kan hanya tidak mau kedua mertuaku jadi terbebani karena aku.

"Sudah, sudah Bu Restu. Baiklah Nak Riksa silahkan cerita awal mula perdebatan kalian ini."

"Iya Pak." Aku tarik nafas panjang agar bisa rileks untuk cerita. Aku tidak mau ada cerita sesungguhnya yang tertinggal. "Begini Pak, tadi aku pulang dari sungai, ibu ini melihatku dengan cara tidak suka, katanya aku tidak diajari orangtuaku sopan santun dan tata krama, karena memang aku pakai basahan kain sarung dari sungai ke rumah. Kata ibu ini, aku tidak punya ot*k dan ingin merayu suami ibu-ibu disini, makanya aku pakai basahan, padahal itu karna aku tidak bawa baju ganti ke sungai, selama aku hidup, baru kali ini Pak, sungai berfungsi jadi kamar mandi. Jadi aku mohon maaf karena belum tahu kebiasaan disini. Dan untuk kedepannya aku berjanji akan mengikuti kebiasaan di kampung ini." ucapku panjang lebar memberikan penjelasan kepada semua yang ada.

"Iya, tapi aku kan hanya ingin menegur mu saja, agar tidak begitu lagi lain kali." Bu Restu nyeletuk menimpali kalimatku.

"Menegur tidak harus berusaha menampar Bu," Bapak Mertua, melihat tajam Bu Restu.

Apa? Bapak Mertua membela aku, yes, terimakasih Tuhan... Ingin aku melompat mencium dan memeluk Mertuaku itu. Padahal aku tadi sudah takut akan dimarah karena tidak memperbolehkan ibu ini pulang.

"Iya karena menantu Pak Regar sudah lancang." sungut Bu Restu dengan mulut dimajukan kedepan. Benar-benar bebal Restu ini woi, sungguh sangat sulit menyadarkannya.

"Berarti ini hanya salah paham saja, niat Bu Restu baik ingin memberitahukan kebiasaan disini ke Riska sebagai mantu baru di desa ini. Cuma cara penyampaian Bu Restu yang tidak punya tata krama dan Sopan santun, jadi wajar Riska tersinggung dan Ibu Restu harus minta maaf." ucap Pak Kepala Desa bijak.

"Aku sadar sebagai anak Pak, untuk itu aku meminta ibu ini minta maaf kepada Babak dan Mama Mertua saja, tidak kepadaku. Biar lain kali jangan asal bicara, apalagi sampai menyinggung orangtuaku Pak, yang sama sekali belum dikenalnya." ucapku sedikit melow, sepertinya mataku sedikit merah menahan bulir bening yang terasa panas dan tertahan di mata ini.

"Baiklah, sekarang Bu Restu minta maaf pada Pak Regar sekeluarga, agar masalah ini tidak berlarut-larut." sahut kepdes dengan tegas.

Bu restu melihatku malu, mukanya merah lalu menunduk. " Ya sudah, aku minta maaf Pak Regar dan Ibu." ucapnya dengan suara kecil tapi jelas.

"Ibu minta maaf kepada Riska saja Bu, karena dengan Riska lah Ibu bermasalah." sahut Bapak Mertua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Istri dari Kota   Setan

    Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa

  • Pesona Istri dari Kota   terong belanda

    Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar

  • Pesona Istri dari Kota   Masak sendiri

    Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa

  • Pesona Istri dari Kota   Pindah?

    Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula

  • Pesona Istri dari Kota   Pelit bin kikir

    Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait

  • Pesona Istri dari Kota   Terimakasih

    Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status