Share

Bab 5. Pertemuan Pertama

Taksi berwarna biru berhenti tepat di depan pagar rumah mewah yang menjulang tinggi. Seorang wanita keluar dari dalam taksi itu, setelah mengucapkan terima kasih pada sopir yang mengemudi.

Perlahan dia melangkah mendekat pada gerbang. Seorang satpam yang tengah berjaga di pos segera bangkit berdiri membukakan gerbang untuknya.

"Bu Maira sudah sembuh?" tanya satpam itu dengan senyum mengembang. Maira mengangguk seraya membalas senyum satpam yang menjaga rumahnya.

"Bapak tidak ada menjemput, Bu?" tanya satpam itu lagi. Maira menggeleng lemah.

"Lagi sibuk katanya, Pak. Makanya saya dijemput taksi," balas Maira sambil terkekeh, dia tidak mau orang-orang di sekitarnya mengetahui kemelut rumah tangganya.

"Saya masuk dulu, ya, Pak." pamitnya seraya melangkah pelan menuju pintu utama.

Maira menghela nafas lega setelah berhasil menjatuhkan pelan bobot tubuhnya di ranjang. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah cukup membuatnya merasa lelah. Maklum, lagi hamil muda. Dia pejamkan kembali netranya untuk menyesapi kenyamanan yang tidak dia dapatkan di rumah sakit. 

Entah berapa lama dia tertidur, Maira terbangun saat perutnya terasa lapar minta diisi. Dia hanya makan sedikit di rumah sakit tadi, dan kini dia sudah lapar kembali.

Bangun perlahan dari ranjang, Maira berniat ke dapur untuk mencari makanan yang bisa dimakan.

Saat langkah kakinya terus melangkah melewati satu demi satu anak tangga. Tak sengaja gendang telinga Meira menangkap sayup-sayup suara orang sedang berbicara. Langkahnya terhenti seketika. Dia tajamkan lagi indera pendengarannya. Dan benar saja, dia mendengar seperti ada orang berbicara di ruang tamu. 

Diayunkan kembali langkahnya sedikit lebih cepat. Siapa gerangan yang telah berani masuk ke dalam rumahnya. Begitu pikir Maira, setahu dia suaminya masih ada di kantor. Biasanya pria itu akan pulang jika jam menunjukkan pukul lima sore.

"Pokoknya aku nggak mau tahu, ya, Mas. Wanita itu harus segera kamu usir dari sini. Aku nggak mau jadi yang kedua, aku mau jadi satu-satunya nyonya Alfin Mahendra." Hati Maira serasa bagai dibakar dalam tungku api yang membara. Suara wanita asing itu sukses membuat emosi Maira naik ke ubun-ubun.

Melangkah lebih cepat ke arah sumber suara. Dan pemandangan tidak mengenakkan terpampang nyata di depan Maira. Sesosok wanita dengan pakaian pas membalut tubuhnya yang sintal sedang merebahkan kepalanya di dada bidang Sang Suami. Netranya memanas menatap suaminya mengelus rambut wanita itu.

"Siapa yang mau menjadi nyonya Alfin Mahendra satu-satunya," sahut Maira dengan suara yang sedikit keras, hal itu sukses membuat kedua insan yang sedang dimabuk asmara di depannya terjingkat. Alfin segera melepaskan tangannya dari tubuh Tania, dan menggeser duduknya, kepalanya menunduk dalam tidak berani menatap istrinya.

Berbeda dengan Alfin yang sedikit gugup menghadapi Maira, Tania malah menatap angkuh seperti menantang. 

"Aku, aku yang akan menjadi nyonya Alfin Mahendra satu-satunya. Dan kamu," ucapannya terjeda, jari telunjuknya menunjuk Maira dengan angkuh, "aku pastikan tidak lama lagi akan terusir dari keluarga Mahendra." Sambung Tania dengan wajah pongah.

Alfin yang duduk di samping Tania, menatap wanita itu seraya menggeleng pelan. Bahaya kalau sampai Maira mengadu pada orang tuanya. Bisa habis dia. Begitu pikir Alfin.

Maira tertawa, membuat Tania mengernyitkan dahinya. Kedua ujung bibir Maira  terangkat menjadi lengkungan senyum. Senyum yang meremehkan. 

"Percaya diri sekali Mbak bicara seperti itu, Mbak sudah pernah bertemu dengan orang tua Mas Alfin?" Maira melontarkan pertanyaan pada Tania. Tetapi ekor matanya melirik pada Alfin yang kian menunduk dalam.

"Bukan hanya pernah bertemu, bahkan keluarga kami sangat akrab. Dan asal kamu tahu, aku ini adalah tunangan Mas Alfin. Aku harap kamu sadar akan posisimu yang hanya sebagai cadangan. Dan kini, aku telah kembali. Jadi mundurlah dari keluarga Mahendra." 

Maira mendelik menatap wanita angkuh itu. Bagai disayat pisau yang tajam, seandainya bisa dilihat mungkin saat ini hatinya sedang berdarah-darah. Sakit mendengar ucapan Tania yang mengatakannya hanya cadangan. Kini tatapannya beralih pada Alfin. 

"Apa benar yang dikatakan wanita itu, Mas," desak Maira, kedua bola matanya memanas, dadanya terlihat naik turun menahan  gemuruh. Alfin perlahan mengangkat kepalanya, memberanikan diri membalas tatapan tajam Maira.

"Biar aku jelaskan dulu, Mai." ucapnya memohon, "sini duduk di samping, Mas," sambung Alfin dengan menepuk sofa di sebelahnya, mempersilakan istrinya untuk duduk di sebelahnya.

Bukannya menurut, Maira justru memilih duduk di sofa single agak jauh dari suaminya. Dia merasa jijik dengan kelakuan sang suami yang seenak hati membelai wanita lain yang bukan istrinya.

"Jadi, apa yang mau kamu jelaskan, Mas? Perlu kah aku menelpon Mama sama Papa untuk ikut menjelaskan semuanya?" Maira melayangkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab Alfin. 

"J–jangan, Mai. Jangan bilang sama Mama, Papa. Mas, bisa jelaskan sendiri."

Dahi Maira berkerut dengan alis naik sebelah. Mata bulatnya memicing. "Kenapa Mas seperti orang ketakutan begitu?" selidik Maira.

Alfin terlihat salah tingkah, sebelah tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eh, nggak, kok, Mai. Lagian apa yang mesti ditakutkan," sahutnya asal. Sementara Tania duduk di sebelah kiri Alfin dengan tangan bersedekap di dada. Dagu lancipnya terangkat menambah kesan sombong di wajahnya.

"Oh, ya sudah, sekarang jelaskan semuanya, apa benar yang dibilang wanita di sampingmu itu? Apa karena wanita ini, kamu memintaku menggugurkan darah dagingmu sendiri?" cecar Maira. Tatapan tajam dia layangkan pada sepasang manusia durjana di depannya.

Tania terlihat mencebikkan bibirnya. "Udah deh, nggak usah banyak drama. Cepetan jelasin sama dia, Mas, siapa aku sebenarnya. Biar dia tahu diri, syukur-syukur kalau mau cepat pergi dari sini," sinis Tania. 

"Sayang, kamu diam dulu, ya. Biar aku yang jelasin sama Maira." tukas Alfin kemudian. Membuat perut Maira mual dan ingin muntah, bahkan dengan sadar Alfin memanggil wanita itu dengan panggilan sayang di depannya. Tidak dapat dipungkiri, sejujurnya ada segumpal daging di dalam dada yang terasa ngilu.

"Mai, sebelumnya kenalkan ini Tania, tunangan ku waktu itu. Dan sekarang dia telah kembali. Jadi tolong izinkan aku untuk menikahi Tania." 

Deg …

Bagai dihantam batu besar, hati Maira hancur seketika. Tubuhnya yang masih ringkih sedikit limbung, untung sofa yang diduduki memiliki sandaran, sehingga dia tidak sampai jatuh.

"Jadi benar karena wanita itu kamu ingin menggugurkan darah dagingmu sendiri, Mas? Di mana hati nuranimu? Bahkan disaat aku harus berjuang mempertahankan calon anak kita, kamu malah memilih menemani wanita itu?" Maira menunjuk Tania. 

Merasa dirinya tidak dihargai oleh Maira. Tania menjadi naik pitam, dengan angkuh wanita dengan pakaian sexy itu menatap tajam Maira. "Singkirkan jarimu itu, tidak sopan! Beraninya kau menunjuk-nunjuk diriku dengan jari kotormu itu!" hardik Tania.

"Kotor, ya, Mbak? Lebih kotor mana dengan diri Mbak, yang dengan sukarela menawarkan tubuh Mbak pada suami orang?" balas Maira telak. Tania semakin melotot, sampai bola matanya seperti akan keluar dari tempatnya. 

"Siapa yang kau sebut suami orang, hah? Mas Alfin calon suamiku, dasar wanita nggak tahu diri!" Tania terus saja meluapkan kekesalannya. Dia tidak terima dikata-katai oleh Maira. Walau sebenarnya dalam hati kecilnya membenarkan perkataan Maira. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui itu.

Dengan santai Maira menjawab, "sayangnya calon suamimu itu suamiku, Mbak! Jadi … siapa di sini yang tidak tahu diri? Aku atau Mbak?"

Wajah Tania semakin memerah, mungkin saat ini emosinya benar-benar naik ke ubun-ubun. 

"Jaga ucapanmu, Mai!" sentak Alfin tiba-tiba, "Tania ini kekasihku, bahkan kami jauh lebih dulu saling mengenal sebelum kehadiranmu, kami pun sudah bertunangan. Jangan sampai aku kembali mendengar kau merendahkan Tania! Ingat itu!" sambungnya. Sekuat hati Maira menahan bulir-bulir bening yang mulai merebak memenuhi kelopak mata bulatnya. Memalingkan muka ke sembarang arah untuk menyembunyikan dukanya sendiri.

"Baiklah," lirih Maira. Dadanya terasa semakin sesak bagai dihimpit dua buah batu yang besar. Perlahan Maira bangkit berdiri, berniat untuk meninggalkan dua manusia tak punya hati itu. 

"Satu lagi, jangan pernah kau mengadu sama Mama, Papa tentang Tania. Atau kedua orang tuamu akan merasakan akibatnya."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
maira bilang dong.... asal kamu tau ya Tania, ortunya Alfin ngemis ke aku minta aku mau menikah dg Alfin. lagian knp Maira taku dg ancaman Alfin sih. bodoh amat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status