Share

Bab 5. Pertemuan Pertama

Author: Phina1901
last update Last Updated: 2023-08-05 16:05:26

Taksi berwarna biru berhenti tepat di depan pagar rumah mewah yang menjulang tinggi. Seorang wanita keluar dari dalam taksi itu, setelah mengucapkan terima kasih pada sopir yang mengemudi.

Perlahan dia melangkah mendekat pada gerbang. Seorang satpam yang tengah berjaga di pos segera bangkit berdiri membukakan gerbang untuknya.

"Bu Maira sudah sembuh?" tanya satpam itu dengan senyum mengembang. Maira mengangguk seraya membalas senyum satpam yang menjaga rumahnya.

"Bapak tidak ada menjemput, Bu?" tanya satpam itu lagi. Maira menggeleng lemah.

"Lagi sibuk katanya, Pak. Makanya saya dijemput taksi," balas Maira sambil terkekeh, dia tidak mau orang-orang di sekitarnya mengetahui kemelut rumah tangganya.

"Saya masuk dulu, ya, Pak." pamitnya seraya melangkah pelan menuju pintu utama.

Maira menghela nafas lega setelah berhasil menjatuhkan pelan bobot tubuhnya di ranjang. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah cukup membuatnya merasa lelah. Maklum, lagi hamil muda. Dia pejamkan kembali netranya untuk menyesapi kenyamanan yang tidak dia dapatkan di rumah sakit. 

Entah berapa lama dia tertidur, Maira terbangun saat perutnya terasa lapar minta diisi. Dia hanya makan sedikit di rumah sakit tadi, dan kini dia sudah lapar kembali.

Bangun perlahan dari ranjang, Maira berniat ke dapur untuk mencari makanan yang bisa dimakan.

Saat langkah kakinya terus melangkah melewati satu demi satu anak tangga. Tak sengaja gendang telinga Meira menangkap sayup-sayup suara orang sedang berbicara. Langkahnya terhenti seketika. Dia tajamkan lagi indera pendengarannya. Dan benar saja, dia mendengar seperti ada orang berbicara di ruang tamu. 

Diayunkan kembali langkahnya sedikit lebih cepat. Siapa gerangan yang telah berani masuk ke dalam rumahnya. Begitu pikir Maira, setahu dia suaminya masih ada di kantor. Biasanya pria itu akan pulang jika jam menunjukkan pukul lima sore.

"Pokoknya aku nggak mau tahu, ya, Mas. Wanita itu harus segera kamu usir dari sini. Aku nggak mau jadi yang kedua, aku mau jadi satu-satunya nyonya Alfin Mahendra." Hati Maira serasa bagai dibakar dalam tungku api yang membara. Suara wanita asing itu sukses membuat emosi Maira naik ke ubun-ubun.

Melangkah lebih cepat ke arah sumber suara. Dan pemandangan tidak mengenakkan terpampang nyata di depan Maira. Sesosok wanita dengan pakaian pas membalut tubuhnya yang sintal sedang merebahkan kepalanya di dada bidang Sang Suami. Netranya memanas menatap suaminya mengelus rambut wanita itu.

"Siapa yang mau menjadi nyonya Alfin Mahendra satu-satunya," sahut Maira dengan suara yang sedikit keras, hal itu sukses membuat kedua insan yang sedang dimabuk asmara di depannya terjingkat. Alfin segera melepaskan tangannya dari tubuh Tania, dan menggeser duduknya, kepalanya menunduk dalam tidak berani menatap istrinya.

Berbeda dengan Alfin yang sedikit gugup menghadapi Maira, Tania malah menatap angkuh seperti menantang. 

"Aku, aku yang akan menjadi nyonya Alfin Mahendra satu-satunya. Dan kamu," ucapannya terjeda, jari telunjuknya menunjuk Maira dengan angkuh, "aku pastikan tidak lama lagi akan terusir dari keluarga Mahendra." Sambung Tania dengan wajah pongah.

Alfin yang duduk di samping Tania, menatap wanita itu seraya menggeleng pelan. Bahaya kalau sampai Maira mengadu pada orang tuanya. Bisa habis dia. Begitu pikir Alfin.

Maira tertawa, membuat Tania mengernyitkan dahinya. Kedua ujung bibir Maira  terangkat menjadi lengkungan senyum. Senyum yang meremehkan. 

"Percaya diri sekali Mbak bicara seperti itu, Mbak sudah pernah bertemu dengan orang tua Mas Alfin?" Maira melontarkan pertanyaan pada Tania. Tetapi ekor matanya melirik pada Alfin yang kian menunduk dalam.

"Bukan hanya pernah bertemu, bahkan keluarga kami sangat akrab. Dan asal kamu tahu, aku ini adalah tunangan Mas Alfin. Aku harap kamu sadar akan posisimu yang hanya sebagai cadangan. Dan kini, aku telah kembali. Jadi mundurlah dari keluarga Mahendra." 

Maira mendelik menatap wanita angkuh itu. Bagai disayat pisau yang tajam, seandainya bisa dilihat mungkin saat ini hatinya sedang berdarah-darah. Sakit mendengar ucapan Tania yang mengatakannya hanya cadangan. Kini tatapannya beralih pada Alfin. 

"Apa benar yang dikatakan wanita itu, Mas," desak Maira, kedua bola matanya memanas, dadanya terlihat naik turun menahan  gemuruh. Alfin perlahan mengangkat kepalanya, memberanikan diri membalas tatapan tajam Maira.

"Biar aku jelaskan dulu, Mai." ucapnya memohon, "sini duduk di samping, Mas," sambung Alfin dengan menepuk sofa di sebelahnya, mempersilakan istrinya untuk duduk di sebelahnya.

Bukannya menurut, Maira justru memilih duduk di sofa single agak jauh dari suaminya. Dia merasa jijik dengan kelakuan sang suami yang seenak hati membelai wanita lain yang bukan istrinya.

"Jadi, apa yang mau kamu jelaskan, Mas? Perlu kah aku menelpon Mama sama Papa untuk ikut menjelaskan semuanya?" Maira melayangkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab Alfin. 

"J–jangan, Mai. Jangan bilang sama Mama, Papa. Mas, bisa jelaskan sendiri."

Dahi Maira berkerut dengan alis naik sebelah. Mata bulatnya memicing. "Kenapa Mas seperti orang ketakutan begitu?" selidik Maira.

Alfin terlihat salah tingkah, sebelah tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eh, nggak, kok, Mai. Lagian apa yang mesti ditakutkan," sahutnya asal. Sementara Tania duduk di sebelah kiri Alfin dengan tangan bersedekap di dada. Dagu lancipnya terangkat menambah kesan sombong di wajahnya.

"Oh, ya sudah, sekarang jelaskan semuanya, apa benar yang dibilang wanita di sampingmu itu? Apa karena wanita ini, kamu memintaku menggugurkan darah dagingmu sendiri?" cecar Maira. Tatapan tajam dia layangkan pada sepasang manusia durjana di depannya.

Tania terlihat mencebikkan bibirnya. "Udah deh, nggak usah banyak drama. Cepetan jelasin sama dia, Mas, siapa aku sebenarnya. Biar dia tahu diri, syukur-syukur kalau mau cepat pergi dari sini," sinis Tania. 

"Sayang, kamu diam dulu, ya. Biar aku yang jelasin sama Maira." tukas Alfin kemudian. Membuat perut Maira mual dan ingin muntah, bahkan dengan sadar Alfin memanggil wanita itu dengan panggilan sayang di depannya. Tidak dapat dipungkiri, sejujurnya ada segumpal daging di dalam dada yang terasa ngilu.

"Mai, sebelumnya kenalkan ini Tania, tunangan ku waktu itu. Dan sekarang dia telah kembali. Jadi tolong izinkan aku untuk menikahi Tania." 

Deg …

Bagai dihantam batu besar, hati Maira hancur seketika. Tubuhnya yang masih ringkih sedikit limbung, untung sofa yang diduduki memiliki sandaran, sehingga dia tidak sampai jatuh.

"Jadi benar karena wanita itu kamu ingin menggugurkan darah dagingmu sendiri, Mas? Di mana hati nuranimu? Bahkan disaat aku harus berjuang mempertahankan calon anak kita, kamu malah memilih menemani wanita itu?" Maira menunjuk Tania. 

Merasa dirinya tidak dihargai oleh Maira. Tania menjadi naik pitam, dengan angkuh wanita dengan pakaian sexy itu menatap tajam Maira. "Singkirkan jarimu itu, tidak sopan! Beraninya kau menunjuk-nunjuk diriku dengan jari kotormu itu!" hardik Tania.

"Kotor, ya, Mbak? Lebih kotor mana dengan diri Mbak, yang dengan sukarela menawarkan tubuh Mbak pada suami orang?" balas Maira telak. Tania semakin melotot, sampai bola matanya seperti akan keluar dari tempatnya. 

"Siapa yang kau sebut suami orang, hah? Mas Alfin calon suamiku, dasar wanita nggak tahu diri!" Tania terus saja meluapkan kekesalannya. Dia tidak terima dikata-katai oleh Maira. Walau sebenarnya dalam hati kecilnya membenarkan perkataan Maira. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui itu.

Dengan santai Maira menjawab, "sayangnya calon suamimu itu suamiku, Mbak! Jadi … siapa di sini yang tidak tahu diri? Aku atau Mbak?"

Wajah Tania semakin memerah, mungkin saat ini emosinya benar-benar naik ke ubun-ubun. 

"Jaga ucapanmu, Mai!" sentak Alfin tiba-tiba, "Tania ini kekasihku, bahkan kami jauh lebih dulu saling mengenal sebelum kehadiranmu, kami pun sudah bertunangan. Jangan sampai aku kembali mendengar kau merendahkan Tania! Ingat itu!" sambungnya. Sekuat hati Maira menahan bulir-bulir bening yang mulai merebak memenuhi kelopak mata bulatnya. Memalingkan muka ke sembarang arah untuk menyembunyikan dukanya sendiri.

"Baiklah," lirih Maira. Dadanya terasa semakin sesak bagai dihimpit dua buah batu yang besar. Perlahan Maira bangkit berdiri, berniat untuk meninggalkan dua manusia tak punya hati itu. 

"Satu lagi, jangan pernah kau mengadu sama Mama, Papa tentang Tania. Atau kedua orang tuamu akan merasakan akibatnya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
maira bilang dong.... asal kamu tau ya Tania, ortunya Alfin ngemis ke aku minta aku mau menikah dg Alfin. lagian knp Maira taku dg ancaman Alfin sih. bodoh amat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 200. Penyesalan Daniel

    Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 199. Pertemuan

    “Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 198. Bertemu Kembali

    Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 197. Perjuangan Adrian

    Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 196. Apakah Sudah Saatnya Berdamai?

    Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 195. Lelah

    Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status