Share

Bab 6. Fitnah Tania

Tubuh Maira menegang, langkah kakinya terhenti seketika. Hatinya semakin terbakar mendengar lagi dan lagi Alfin mengancamnya. Maira berbalik melayangkan tatapan tajam pada suaminya.

"Jangan pernah bawa-bawa orang tuaku, Mas!" desisnya dengan deru nafas memburu. Lalu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya.

"Makanya jangan sok-sokan jadi nyonya disini! Tahu diri lah, dari mana kamu berasal. Wanita sepertimu memang tak pantas bersanding dengan seorang Alfin Mahendra." cibir Tania.

Maira segera berlalu dan tak menghiraukan lagi apapun yang mereka ucapkan, semua cacian juga hinaan dia simpan rapat di dalam hatinya. Maira bersumpah, suatu saat nanti mereka akan mendapatkan balasan atas perbuatannya saat ini.

Mengabaikan dua orang manusia yang telah mengukir luka di hatinya, Maira berusaha untuk tetap berpikir waras, dia tak mau membuat pertumbuhan janin di dalam kandungannya terganggu. Teringat tujuan awalnya tadi, Maira segera melangkah ke dapur dan mengambil makan. Ya, dia butuh makan untuk mencukupi nutrisi janinnya. Hatinya resah menatap makanan di hadapannya, Walau hati menolak karena tidak nafsu, Maira tetap menyuap makanan itu demi jabang bayi dalam kandungannya.

"Sehat-sehat di dalam perut Mama, ya, Sayang." Maira kembali mengelus perutnya yang masih tampak rata. Kepalanya menunduk, seolah janin dalam rahimnya bisa melihat dan mendengarkannya sedang berbicara.

Tanpa Maira sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasinya sedari tadi. Tidak jauh dari tempat Maira duduk, Tania menatap benci pada lawannya itu. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Maira, kilat kebencian memancar kuat dari manik coklat wanita angkuh itu. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Tania tak menyangka, janin Maira masih selamat. Itu artinya misinya untuk menyingkirkan Maira akan semakin sulit.

Dengan langkah lebar-lebar Tania segera menghampiri Maira. Tangannya terulur menjambak rambut lawannya dari belakang. Maira tersentak dan hampir terjengkang. Beruntung kedua tangan Maira sigap meraih sisi meja untuk berpegangan.

"Apa-apaan ini! Lepaskan rambutku! Sakit!" Maira memekik, sebelah tangannya mencoba melepaskan jambakan di rambutnya.

"Heh, dengarkan aku baik-baik! Kalau kamu mau janinmu itu tetap hidup dan selamat, cepat pergi dari keluarga Mahendra, keluar dari rumah ini! Jangan pernah mengadu pada siapa pun! Termasuk pada Alfin," bisik Tania penuh penekanan. Bibir dengan warna merah menyala itu tampak menyeringai.

"Apa maksudmu?" Maira bertanya sambil meringis menahan sakit pada kulit kepalanya. Tania belum juga melepaskan tangannya dari rambut Maira.

"Dasar wanita udik! Kalau kamu mau janinmu selamat maka pergilah dari sini. Atau kalau tidak–," Tania tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba wanita dengan pakaian ngepas di badan itu menjatuhkan tubuhnya sendiri, reflek tangan Maira berusaha memeganginya. Namun tanpa Maira sadari, dari jarak lima meter Alfin tengah berdiri dan menatapnya dengan tajam.

"Aduhh … sakiiiit!" pekik Tania seraya mengusap tubuh bagian belakangnya dengan begitu dramatis, bahkan wanita itu dengan sangat mudah mengeluarkan air mata.

"Apa yang telah kau lakukan, Maira?" Suara dingin itu menyentak kesadaran Maira. Ya, dirinya tengah dijebak. Dia telah masuk ke dalam perangkap Tania.

Terbata-bata Maira berusaha menjelaskan, "a–aku hanya–,"

"Diam kau! Masih mau membela diri? Di depanku kau bersikap sangat lembut, tapi di belakangku … ternyata kau sangat kasar, Maira! Bahkan kau tega menyakiti sesama wanita." Alfin menuduh Maira tanpa mau mendengar penjelasan dari istrinya dulu.

Maira menggeleng cepat, "tidak, Mas! Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan, Mas!" sanggah Maira. Suaranya bergetar menahan amarah. Mata indahnya tampak kembali merebak. Dadanya naik turun dengan nafas memburu.

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Mai. Kamu mendorong Tania. Dan sekarang kamu mau mengelak?" Alfin membentak Maira. Setetes bulir bening terjatuh di pipi wanita berparas kalem itu. Kepalanya menggeleng pelan, sudah sejauh itu kah pengaruh Tania pada suaminya? Bahkan kini, pria itu tak mau lagi untuk sekedar mendengar penjelasannya. Suaminya itu telah hilang rasa percaya padanya.

Sempat Maira melirik pada Tania yang masih terduduk di bawah, wanita itu tersenyum menyeringai menatap Maira. Lawannya sudah masuk dalam perangkapnya.

"Mas, aku tadi cuma mau mengambil air putih, aku haus tapi, tiba-tiba saja istrimu mendorongku. Dia juga mengancam ku, Mas! Katanya, kalau aku nekat menikah sama kamu, dia bakal–"

"Stop!" Maira mendelik menatap Tania, "mau ngomong apa lagi kamu, hah? Mau fitnah aku?" Lalu tatapannya beralih pada suaminya, "kamu harus percaya sama aku, Mas. Aku difitnah, Tania jatuh sendiri!" teriak Maira dengan nafas terengah-engah. Dia tidak terima Tania terus memfitnahnya.

"Nggak, Mas! Dia bohong! Kamu percaya sama aku, kan, Mas?" sanggahTania dengan mimik wajah dibuat memelas. Alfin segera mengulurkan tangan membantu Tania untuk berdiri.

Tatapan dingin dan menusuk Alfin layangkan pada Maira. "Ternyata aku sudah salah menilaimu, Mai! Selain kasar kamu juga bermuka dua, udah jelas salah masih saja mengelak. Awas, ya! Sekali lagi aku lihat kamu menyakiti Tania, aku tidak segan-segan untuk mengusirmu dari sini!"

Maira menggeleng, "t-tapi, Mas–"

"Diam!" Alfin kembali membentak, hancur sudah pertahanan Maira. Kehadiran Tania benar-benar telah menghancurkan rumah tangganya. Susah payah Maira membangun perasaan sayang dan cinta pada suaminya, namun kini nampaknya semua sia-sia saja. Rasa cinta itu melebur layaknya debu yang beterbangan diterpa angin.

Terisak sendirian tanpa ada yang peduli, dua manusia yang telah mengukir luka di hatinya itu pergi meninggalkannya sendiri, meninggalkan luka yang begitu dalam di hati Maira. Tidak! Dia tidak boleh menyerah, dia harus bertahan demi anak yang tengah dikandungnya.

Mengusap lelehan air mata dengan pelan, Maira meneguhkan kembali hatinya yang telah hancur, dia harus bertahan. Dia tak boleh kalah dengan wanita tak punya harga diri itu. Bagaimanapun, kebenaran harus dia menangkan.

**********

"Kamu nggak papa, kan, Sayang?" Alfin bertanya pada Tania, sorot matanya menyiratkan sebuah kekhawatiran yang begitu besar. Tangan besar pria itu terulur menggosok punggung pujaan hatinya.

Tania tersenyum semanis mungkin, "nggak papa, kok, Mas. Cuma pinggang aja yang sedikit sakit." Tania mengeluh seraya menggosok pinggangnya sendiri.

"Yaudah, aku pijitin mau?" Tawar Alfin.

Tania mengulum senyumnya. Ya, ini kesempatan bagus untuk menjerat Alfin lebih jauh. Malu-malu wanita itu mengangguk.

"Yaudah, ke kamar tamu aja, yuk." Mereka pun gegas melangkah menuju kamar tamu, sebuah ruangan yang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk keluarga yang datang menginap.

Alfin terperanjat ketika tiba-tiba saja Tania memeluknya dari belakang, tangan yang tadi akan menutup pintu menjadi urung seketika. H4srat kelelakiannya terpancing, dia berbalik dan membalas mendekap tubuh Tania. Menghirup aroma tubuh yang telah lama dia dambakan. Melupakan Maira yang dua tahun terakhir telah mewarnai hari-harinya.

Dari saling mendekap, perlahan dua insan itu mulai hanyut dan saling menc3cap, deburan h4srat yang begitu menghentak membuat Alfin lupa diri. Pria itu membaringkan tubuh Tania di atas ranjang, lalu kembali saling mendekap dan menc3cap. Layaknya pasangan halal yang saling mendamba, mereka benar-benar telah lupa diri.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata bulat Maira tengah menatap mereka dengan pandangan nanar. Mengintip lewat celah pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Sekuat hati Maira menahan diri untuk tidak limbung. Hancur sudah harapannya, rumah tangganya benar-benar sudah di ujung tanduk. Rasanya dia sudah tidak bisa lagi untuk bertahan lebih lama.

Dia menggeleng keras, batinnya terus berperang. Di satu sisi, dia mengatakan harus mundur demi menjaga kewarasannya, namun disisi lain dia juga takut seandainya benar-benar berpisah dengan suaminya, apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya. Tidak tega rasanya untuk berbicara jujur. Maira takut melukai perasaan mereka jika tahu Alfin telah mengkhianati kepercayaan mereka. Kepercayaan seorang Ayah dan Ibu, yang telah menyerahkan putrinya untuk dijaga dan disayangi kepada seorang pria yang bergelar suami.

Perlahan Maira melangkah mundur, dia tak sanggup untuk melihat lebih lama aksi suami bersama mantan tunangannya itu. Namun s1al, sebelah kakinya menyenggol pot bunga yang berada di sampingnya.

Bruakk ….

Tubuh Maira menegang, dengan tangan gemetar, dia kembalikan posisi pot itu sebelum Alfin menyadari keberadaannya yang tengah mengintip aktivitasnya.

Bersamaan dengan itu suara derap langkah kaki kian terdengar mendekat. Maira semakin gugup. Dengan cepat dia segera melangkah menjauh dari kamar tamu.

"Berhenti Maira!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yudha Yaniari
Kesel bgt 18 eps PU dizolimin mulu. Pinter dikit kek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status