Tubuh Maira menegang, langkah kakinya terhenti seketika. Hatinya semakin terbakar mendengar lagi dan lagi Alfin mengancamnya. Maira berbalik melayangkan tatapan tajam pada suaminya.
"Jangan pernah bawa-bawa orang tuaku, Mas!" desisnya dengan deru nafas memburu. Lalu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya."Makanya jangan sok-sokan jadi nyonya disini! Tahu diri lah, dari mana kamu berasal. Wanita sepertimu memang tak pantas bersanding dengan seorang Alfin Mahendra." cibir Tania.Maira segera berlalu dan tak menghiraukan lagi apapun yang mereka ucapkan, semua cacian juga hinaan dia simpan rapat di dalam hatinya. Maira bersumpah, suatu saat nanti mereka akan mendapatkan balasan atas perbuatannya saat ini.Mengabaikan dua orang manusia yang telah mengukir luka di hatinya, Maira berusaha untuk tetap berpikir waras, dia tak mau membuat pertumbuhan janin di dalam kandungannya terganggu. Teringat tujuan awalnya tadi, Maira segera melangkah ke dapur dan mengambil makan. Ya, dia butuh makan untuk mencukupi nutrisi janinnya. Hatinya resah menatap makanan di hadapannya, Walau hati menolak karena tidak nafsu, Maira tetap menyuap makanan itu demi jabang bayi dalam kandungannya."Sehat-sehat di dalam perut Mama, ya, Sayang." Maira kembali mengelus perutnya yang masih tampak rata. Kepalanya menunduk, seolah janin dalam rahimnya bisa melihat dan mendengarkannya sedang berbicara.Tanpa Maira sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasinya sedari tadi. Tidak jauh dari tempat Maira duduk, Tania menatap benci pada lawannya itu. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Maira, kilat kebencian memancar kuat dari manik coklat wanita angkuh itu. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Tania tak menyangka, janin Maira masih selamat. Itu artinya misinya untuk menyingkirkan Maira akan semakin sulit.Dengan langkah lebar-lebar Tania segera menghampiri Maira. Tangannya terulur menjambak rambut lawannya dari belakang. Maira tersentak dan hampir terjengkang. Beruntung kedua tangan Maira sigap meraih sisi meja untuk berpegangan."Apa-apaan ini! Lepaskan rambutku! Sakit!" Maira memekik, sebelah tangannya mencoba melepaskan jambakan di rambutnya."Heh, dengarkan aku baik-baik! Kalau kamu mau janinmu itu tetap hidup dan selamat, cepat pergi dari keluarga Mahendra, keluar dari rumah ini! Jangan pernah mengadu pada siapa pun! Termasuk pada Alfin," bisik Tania penuh penekanan. Bibir dengan warna merah menyala itu tampak menyeringai."Apa maksudmu?" Maira bertanya sambil meringis menahan sakit pada kulit kepalanya. Tania belum juga melepaskan tangannya dari rambut Maira."Dasar wanita udik! Kalau kamu mau janinmu selamat maka pergilah dari sini. Atau kalau tidak–," Tania tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba wanita dengan pakaian ngepas di badan itu menjatuhkan tubuhnya sendiri, reflek tangan Maira berusaha memeganginya. Namun tanpa Maira sadari, dari jarak lima meter Alfin tengah berdiri dan menatapnya dengan tajam."Aduhh … sakiiiit!" pekik Tania seraya mengusap tubuh bagian belakangnya dengan begitu dramatis, bahkan wanita itu dengan sangat mudah mengeluarkan air mata."Apa yang telah kau lakukan, Maira?" Suara dingin itu menyentak kesadaran Maira. Ya, dirinya tengah dijebak. Dia telah masuk ke dalam perangkap Tania.Terbata-bata Maira berusaha menjelaskan, "a–aku hanya–,""Diam kau! Masih mau membela diri? Di depanku kau bersikap sangat lembut, tapi di belakangku … ternyata kau sangat kasar, Maira! Bahkan kau tega menyakiti sesama wanita." Alfin menuduh Maira tanpa mau mendengar penjelasan dari istrinya dulu.Maira menggeleng cepat, "tidak, Mas! Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan, Mas!" sanggah Maira. Suaranya bergetar menahan amarah. Mata indahnya tampak kembali merebak. Dadanya naik turun dengan nafas memburu."Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Mai. Kamu mendorong Tania. Dan sekarang kamu mau mengelak?" Alfin membentak Maira. Setetes bulir bening terjatuh di pipi wanita berparas kalem itu. Kepalanya menggeleng pelan, sudah sejauh itu kah pengaruh Tania pada suaminya? Bahkan kini, pria itu tak mau lagi untuk sekedar mendengar penjelasannya. Suaminya itu telah hilang rasa percaya padanya.Sempat Maira melirik pada Tania yang masih terduduk di bawah, wanita itu tersenyum menyeringai menatap Maira. Lawannya sudah masuk dalam perangkapnya."Mas, aku tadi cuma mau mengambil air putih, aku haus tapi, tiba-tiba saja istrimu mendorongku. Dia juga mengancam ku, Mas! Katanya, kalau aku nekat menikah sama kamu, dia bakal–""Stop!" Maira mendelik menatap Tania, "mau ngomong apa lagi kamu, hah? Mau fitnah aku?" Lalu tatapannya beralih pada suaminya, "kamu harus percaya sama aku, Mas. Aku difitnah, Tania jatuh sendiri!" teriak Maira dengan nafas terengah-engah. Dia tidak terima Tania terus memfitnahnya."Nggak, Mas! Dia bohong! Kamu percaya sama aku, kan, Mas?" sanggahTania dengan mimik wajah dibuat memelas. Alfin segera mengulurkan tangan membantu Tania untuk berdiri.Tatapan dingin dan menusuk Alfin layangkan pada Maira. "Ternyata aku sudah salah menilaimu, Mai! Selain kasar kamu juga bermuka dua, udah jelas salah masih saja mengelak. Awas, ya! Sekali lagi aku lihat kamu menyakiti Tania, aku tidak segan-segan untuk mengusirmu dari sini!"Maira menggeleng, "t-tapi, Mas–""Diam!" Alfin kembali membentak, hancur sudah pertahanan Maira. Kehadiran Tania benar-benar telah menghancurkan rumah tangganya. Susah payah Maira membangun perasaan sayang dan cinta pada suaminya, namun kini nampaknya semua sia-sia saja. Rasa cinta itu melebur layaknya debu yang beterbangan diterpa angin.Terisak sendirian tanpa ada yang peduli, dua manusia yang telah mengukir luka di hatinya itu pergi meninggalkannya sendiri, meninggalkan luka yang begitu dalam di hati Maira. Tidak! Dia tidak boleh menyerah, dia harus bertahan demi anak yang tengah dikandungnya.Mengusap lelehan air mata dengan pelan, Maira meneguhkan kembali hatinya yang telah hancur, dia harus bertahan. Dia tak boleh kalah dengan wanita tak punya harga diri itu. Bagaimanapun, kebenaran harus dia menangkan.**********"Kamu nggak papa, kan, Sayang?" Alfin bertanya pada Tania, sorot matanya menyiratkan sebuah kekhawatiran yang begitu besar. Tangan besar pria itu terulur menggosok punggung pujaan hatinya.Tania tersenyum semanis mungkin, "nggak papa, kok, Mas. Cuma pinggang aja yang sedikit sakit." Tania mengeluh seraya menggosok pinggangnya sendiri."Yaudah, aku pijitin mau?" Tawar Alfin.Tania mengulum senyumnya. Ya, ini kesempatan bagus untuk menjerat Alfin lebih jauh. Malu-malu wanita itu mengangguk."Yaudah, ke kamar tamu aja, yuk." Mereka pun gegas melangkah menuju kamar tamu, sebuah ruangan yang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk keluarga yang datang menginap.Alfin terperanjat ketika tiba-tiba saja Tania memeluknya dari belakang, tangan yang tadi akan menutup pintu menjadi urung seketika. H4srat kelelakiannya terpancing, dia berbalik dan membalas mendekap tubuh Tania. Menghirup aroma tubuh yang telah lama dia dambakan. Melupakan Maira yang dua tahun terakhir telah mewarnai hari-harinya.Dari saling mendekap, perlahan dua insan itu mulai hanyut dan saling menc3cap, deburan h4srat yang begitu menghentak membuat Alfin lupa diri. Pria itu membaringkan tubuh Tania di atas ranjang, lalu kembali saling mendekap dan menc3cap. Layaknya pasangan halal yang saling mendamba, mereka benar-benar telah lupa diri.Tanpa mereka sadari, sepasang mata bulat Maira tengah menatap mereka dengan pandangan nanar. Mengintip lewat celah pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Sekuat hati Maira menahan diri untuk tidak limbung. Hancur sudah harapannya, rumah tangganya benar-benar sudah di ujung tanduk. Rasanya dia sudah tidak bisa lagi untuk bertahan lebih lama.Dia menggeleng keras, batinnya terus berperang. Di satu sisi, dia mengatakan harus mundur demi menjaga kewarasannya, namun disisi lain dia juga takut seandainya benar-benar berpisah dengan suaminya, apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya. Tidak tega rasanya untuk berbicara jujur. Maira takut melukai perasaan mereka jika tahu Alfin telah mengkhianati kepercayaan mereka. Kepercayaan seorang Ayah dan Ibu, yang telah menyerahkan putrinya untuk dijaga dan disayangi kepada seorang pria yang bergelar suami.Perlahan Maira melangkah mundur, dia tak sanggup untuk melihat lebih lama aksi suami bersama mantan tunangannya itu. Namun s1al, sebelah kakinya menyenggol pot bunga yang berada di sampingnya.Bruakk ….Tubuh Maira menegang, dengan tangan gemetar, dia kembalikan posisi pot itu sebelum Alfin menyadari keberadaannya yang tengah mengintip aktivitasnya.Bersamaan dengan itu suara derap langkah kaki kian terdengar mendekat. Maira semakin gugup. Dengan cepat dia segera melangkah menjauh dari kamar tamu."Berhenti Maira!"Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak