"Astaghfirullah," pekiknya, tubuh Bu Sofia limbung dengan tangan memegangi dadanya. Pak Mahendra yang duduk di sampingnya begitu panik dan segera memegangi sang istri."Ma, Mama kenapa?" tanya Pak Mahendra dengan raut cemas."I–ini, nggak mungkin, kan, Pa? Maira anak baik-baik. M–mama nggak percaya Maira melakukan hal serendah itu," ucap Bu Sofia terbata-bata. Pak Mahendra segera meraih kertas foto yang dipegang oleh istrinya. Tangannya tampak gemetar dengan rahang yang mulai mengetat. Netranya memerah menatap tajam pada Tania. "Apa maksud kamu memberikan foto ini? Kamu pikir saya akan percaya begitu saja? Saya bukan orang bodoh Tania!" Pak Mahendra menatap nyalang Tania.Netra Tania melebar mendengar ucapan Pak Mahendra, wanita muda dengan riasan tebal itu, tampak tak gentar oleh gertakan pria paruh baya itu. Bukannya takut wanita itu malah tersenyum meremehkan."Tapi aku punya bukti lain, Om. Tidak hanya foto-foto itu saja. Apa Om mau melihatnya juga?" sangkalnya, kemudian tangan
"Kamu!" ucap seseorang yang tak sengaja di tabrak oleh Maira. Raut wajahnya tampak terkejut."Dokter Rendi!" Maira tak kalah terkejut, bertemu dengan dokter kandungan langganannya di rumah sakit yang lain. "Ah, iya … maafkan saya Dokter, saya nggak sengaja menabrak, nggak lihat tadi," ucap Maira menahan malu, dengan kepala kembali menunduk.Seseorang di depan Maira tampak mengulum senyumnya, "Ah, iya nggak apa-apa. Ini Bu Maira kan? Sedang apa di sini, Bu? Apakah ada keluarga Ibu yang sedang sakit? Atau–," Dokter Rendi tak melanjutkan kalimatnya. Maira dengan cepat segera menyahut."Mantan Ibu mertua saya sedang dirawat di sini, Dok. Makanya saya berada di sini." sahut Maira cepat.Dokter Rendi tampak mengernyitkan dahinya. Gurat keheranan tampak jelas di wajahnya yang tampan."Mantan mertua ya? Memangnya sudah berapa kali Bu Maira menikah?" Sebuah pertanyaan konyol tiba-tiba saja keluar dari mulut dokter itu. Sadar dengan pertanyaannya yang tidak pantas dia segera mengoreksinya."
Maira terlihat salah tingkah ketika Dokter Rendi semakin mendekat berjalan ke arahnya."Dokter Rendi, Dokter sedang apa di sini? Apa Dokter juga sedang mencari rumah kontrakan?" tanya Maira polos. Rendi mengulas senyumnya."Tidak, Bu. Saya yang punya rumah ini," terang Rendi, "Bu Maira sendiri sedang apa di sini?" Maira melebarkan netranya dan menjadi salah tingkah. Rendi terus saja memperhatikannya."Oh, jadi ini rumahnya, Dokter? S–saya mau mengontrak di sini, Dok," ucap Maira gugup dan menundukkan kepalanya.Gurat keterkejutan terlihat jelas pada wajah tampan Rendi. Detik berikutnya dia segera menormalkan kembali ekspresinya. Berbagai spekulasi buruk berkecamuk di dalam benaknya."Bu, Maira mau mengontrak rumah saya? Sama siapa, Bu?" Rendi kembali bertanya untuk memastikan.Maira kembali menunduk dalam, "saya sendiri, Dok."Alis Rendi terlihat naik sebelah, dengan dahi yang berkerut dalam, "hanya sendiri? Suami Ibu kemana?" Maira mendongak menatap dokter berwajah tampan di depann
Brakk ….Maira terjingkat saat tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari arah belakang. Sontak saja dia menoleh, dan tambah terkejut lagi saat netranya melihat ke arah belakang, sebuah pot bunga telah pecah, tanah dan bunganya berhamburan kemana-mana. Menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada satupun orang yang melintas. Sedikit merasa takut, Maira melangkah pelan menuju pot yang sudah pecah berserakan itu. Perasaan gelisah seketika menyusup dalam hati wanita berparas teduh itu. Netranya menatap awas ke sekeliling. "Siapa sih, yang iseng lempar-lempar pot begini? Kurang kerjaan banget!" gumam Maira kesal, Tanganya masih sibuk memunguti pecahan pot yang sudah hancur itu.Maira segera kembali ke dalam rumah setelah selesai membersihkan pecahan pot yang berhamburan itu. Perasaan was-was tengah menyelimuti hatinya, seperti ada orang yang tengah mengawasinya. Dia segera mengunci pintu dari dalam, dan mulai membersihkan area kamar terlebih dahulu agar bisa segera digunakan untuk istirahat.
Pukul 08.00 pagi, di sebuah kamar VIP rumah sakit, Pak Mahendra dengan setia menemani sang istri yang masih tergolek lemah di atas ranjang pasien. Wanita paruh baya yang tak lain adalah Bu Sofia itu masih enggan untuk membuka matanya. "Maira …"Pak Mahendra tersentak saat istrinya menyebutkan satu nama yang sangat dibenci olehnya saat ini. Perlahan jemari tangan istrinya bergerak-gerak, seiring dengan kelopak mata yang mulai bergerak dan terbuka perlahan. Hati pak Mahendra lega seketika. Pria paruh baya itu mengucap syukur berkali-kali kepada Tuhan."Ma, Mama sudah sadar?" ucap Pak Mahendra penuh haru, netranya merebak, bulir bening mulai mendesak untuk keluar dari singgasananya.Sofia memijit pelan pelipisnya, "dimana Maira, Pa?" ujarnya seraya menatap ke sekitarnya.Mahendra menghela nafas panjang, dia menyesalkan kenapa sang istri justru mencari Maira–seseorang yang telah membuatnya jatuh sakit."Papa panggilkan dokter dulu ya, Ma. Mama baru sadar dari koma, jangan memikirkan hal
"Posternya sudah dipasang, Ma. Rendi pamit dulu, ya," ucap Rendi seraya menghampiri sang mama di ruangannya. Sebuah ruangan berukuran cukup besar, yang dibuat khusus untuk mengerjakan desain-desain busana yang tengah dirancang.Rani–Mama Rendi, mendongak dan meletakkan bolpoin yang sedang dia pegang. Seulas senyum manis dia suguhkan untuk putra kesayangannya–Rendi Prayoga."Makasih ya, Sayang." Rani beranjak berdiri dan menghampiri putranya."Mau langsung pulang ke rumah?" tanyanya."Iya, Ma. Kebetulan dapat jadwal praktek siang," balas Rendi.Rani menatap lekat putra kesayangannya, "anak Mama sibuk terus rupanya." Tangan wanita itu terulur mengusap lembut pipi sang putra."Ma … Rendi bukan anak kecil lagi." Rendi merengek sambil melepaskan tangan mamanya dari pipi, namun tak mengurangi rasa hormatnya pada sang mama.Bukan risih atau apa, hanya saja Rendi takut kalau-kalau ada yang tiba-tiba masuk dan melihat adegan itu, bisa hancur harga dirinya karena dianggap anak Mama. Padahal usi
"Papa tenang saja, Tania yakin Alfin tidak akan bisa lepas dari Tania. Secara Tania kan cinta pertamanya, tidak mungkin Alfin melupakanku begitu saja. Terbukti kan? Dia lebih memilih membelaku daripada istri udiknya itu," balas Tania dan disambut tawa oleh papa dan mamanya.Sinta mengangguk antusias, "anak Mama memang hebat!" Wanita paruh baya itu mengacungkan dua jempolnya di depan Tania.***********Satu minggu telah berlalu, saat ini kondisi Bu Sofia sudah lebih baik. Dia juga sudah diizinkan untuk pulang. Namun masih harus kontrol kembali untuk beberapa waktu kedepan.Pagi ini, Pak Mahendra telah bersiap kembali mengurus kantornya yang beberapa hari dia tinggalkan.Hari ini, Pak Mahendra juga berencana untuk memecat ayah Maira dari kantornya. Pak Mahendra benar-benar sudah tidak mau berhubungan dengan keluarga Maira lagi.Begitu juga dengan Alfin, dia juga akan mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama, dia ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Maira lagi. Saat ini Alf
"Sudah cukup! Hentikan!" Gerakan tangan Pak Cahyo terhenti seketika. Dia menoleh ke arah sumber suara, dengan nafas yang masih memburu.Disana Pak Mahendra berdiri menatap tajam Pak Cahyo. Tak ingin melewatkan kesempatan itu, Alfin pun segera melepaskan paksa dirinya dari Pak Cahyo."Jangan pernah sentuh putraku atau kau akan kujebloskan ke dalam penjara! Sekalian saja dengan putrimu itu, aku yakin jika video asusilanya sampai diketahui aparat maka akan mudah untuk menjebloskannya ke penjara. Jika kamu mau, kalian bisa reuni di dalam penjara," ancam Pak Mahendra, seringai jahat terlihat di wajahnya yang mulai dihiasi keriput.Pak Cahyo semakin murka, dengan lantang dia kembali berujar, "itu tidak akan pernah terjadi! Justru sebaliknya aku akan melaporkan kalian atas kasus pencemaran nama baik. Aku akan mencari bukti bahwa putriku tidak bersalah." Tania mulai terlihat tidak nyaman dan gelisah, namun sebisa mungkin dia tetap tenang di depan mereka. Wanita itu memasang ekspresi wajah d