Se connecterSehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah.
"Ayo masuk! anak saya sudah bangun," "Assalamu'alaikum!" Lirihnya. "Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman. "Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung. "Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk. "Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katakan semua ucapan itu salah, tapi ia tak mungkin membuka aib suaminya sendiri. "Alhamdulillah bu." Jawabnya ringkas, tak seberapa lama dua orang ibu-ibu datang membawa anak mereka masing-masing. "Permisi!" "Ya bu, masuk. Ini anak saya hampir selesai lagi make upnya." Tukas Bu Ratna. Ibu-ibu itu mulai saling berpandangan sambil memuji hasil riasan Shiren. “Wah, make-up-nya keren banget, ya! Shiren, kenapa nggak buka jasa make-up aja? Lumayan buat tambahan uang belanja,” celetuk salah satu ibu dengan wajah sumringah. Shiren hanya tersenyum malu, wajahnya sedikit memerah. “Eh, saya belum berani, Bu.” “Nah, tapi kalau butuh, nanti kami pakai jasa Shiren saja, ya!” sahut Ratna sambil mengangguk cepat, disambut anggukan setuju dari ibu-ibu lainnya. Perut Shiren yang mulai sering terasa kram karena kehamilan tak menghentikannya menyelesaikan tugasnya. Setelah beberapa lama, tiga anak itu berdiri sambil tersenyum ceria, wajah mereka tampak cerah dan penuh warna. Mata para orang tua berbinar, wajah lelah Shiren seketika terbayar oleh pujian itu. “Berapa, ya, biayanya, Shiren?” tanya wanita gempal dengan nada ramah. Shiren menggeleng pelan, suaranya lirih tapi tulus, “Seikhlasnya saja, Bu. Saya memang niat membantu.” Mereka saling bertukar pandang, kemudian mengangguk sepakat. Satu per satu mereka berjabat tangan dengan salam tempel yang hangat. “Terima kasih banyak, Ibu-ibu. Saya pamit dulu, ya.” “Iya, sama-sama, Shiren. Terima kasih juga, bagus loh make upnya, kapan-kapan kami panggil lagi jika butuh ya!” Suara mereka mengiringi langkah Shiren keluar, meninggalkan ruang yang hangat penuh rasa syukur. Perjalanan menuju pulang ke rumah, Shiren terus mengucap syukur. Ia tak menyangka bisa mendapatkan uang senilai 200 ribu dari hasil keringatnya. Rencananya uang itu akan ia belikan bedak dan lipstik agar penampilannya lebih cantik dan bisa menarik hati suaminya kembali. Tak berselang lama, ia telah sampai. Rumah masih nampak sepi dari luar, ia membuka handle pintu dan suaminya baru siap mandi. "Pulang juga rupanya, seenaknya pergi tanpa izin suami." Ucap lelaki itu dingin. "Aku sudah berusaha bangunin abang, tapi tidurnya pulas sekali. Tapi aku sudah masakain nasi goreng, bentar aku siapkan dulu." Niko berlalu masuk ke dalam kamar, Shiren tampak sibuk di dapur memanas masakan. "Dapat uang berapa?" Tanya lelaki itu lagi setelah memasang pakaian. "Alhamdulillah 200 bang." "Tambahin buat belanja dapur, jangan beli yang tak penting," senyum Shiren memudar, Niko meraih gelas dan makanannya. "Tapi aku mau beli bedak dan kebutuhan aku lainnya bang." Tatapan Niko tampak dingin. "Buat apa? Kamu itu hanya di rumah saja, tak perlu pakai begituan, takkan menarik juga kok. Lihat badanmu gembrot, penampilanmu kucel. Beda banget sama istri bang Dika, dia wanita karir dan sedang hamil juga tapi masih cantik dan terawat." Hati Shiren kembali teriris. "Sudah cukup kamu bandingkan aku sama wanita lain itu bang." Niko terkejut atas jawaban Shiren. "Kenapa? Sakit hati!" "Tentu, aku begini juga karena sedang hamil anakmu bang. Ingat! dulu ketika gadis aku terawat dan langsing, aku perawatan dan wangi. Jangan salahkan aku sekarang seperti ini, modal berapa kamu kasih?" Tukasnya membuat Niko terdiam. "Jangan terus remehkan aku, tanpamu aku takkan mati bang. Aku muak, perlakuanmu, sikapmu, dan kata-kata pedasmu itu." Shiren meninggalkan Niko dan menuju kamar. Emosinya terasa memuncak, Niko tak lagi berkata, ia tercengang akan ucapan istri sabarnya itu. "Sejak kapan dia bisa melawan?" *** Niko duduk mengesap kopi hitamnya, sembari menghembuskan asap rokok di dalam ruangan tanpa merasa bersalah. Ia tak peduli dengan keadaan sang istri tengah hamil, Shiren yang tampak sibuk di dapur hanya menghela napas kasar dan menggeleng, berulang kali ia memperingatkan suaminya agar tak merokok di dalam rumah. Tapi Niko seolah tak mendengarkannya. "Tok! tok!" ketukan terdengar di depan pintu yang sedikit terbuka. "Masuk," titahnya seolah tahu siapa yang datang, Dika terkejut melihat adiknya sesantai itu menghisap rokok. "Astagfirullah Nik, kamu merokok di sini? Istrimu hamil loh, tak baik buat kandungannya." "Tapi buktinya masih baik-baik saja tuh, ada apa kamu ke sini bang?" Niko membuang punting rokok ke sembarang tempat. "Hari ini kami mau ke dokter kandungan, apa kamu dan Shiren ikut sekalian periksa calon anak kalian?" ajaknya lembut. "Nggak perlu, sudah tahu juga kan apa jenis kelaminnya." Dika ikut duduk. "Tapi bukan hanya periksa jenis kelaminnya saja loh Nik, kamu bukannya sudah lama tak ajak istrimu periksa kandungan? Kasihan, bentar lagi Shiren lahiran loh," Niko menghela napas kasar, Shiren yang mendengar sebenarnya berharap ikut karena ingin tahu perkembangan janinnya. "Nggak usah, buang buang uang. Biar saja tunggu hari dia lahiran, kalian mah enak. Dapat anak laki-laki," "Laki-laki sama perempuan sama saja loh, asal sehat dan sempurna." Niko tetap kekeh tak mau ikut atau mengizinkan istrinya periksa. Pada akhirnya Dika pergi dengan gelengan kepala, Shiren mendekati suaminya. "Apa salahnya kita periksa bang, terakhir ke dokter kan usia kehamilanku lima bulanan," tukas Shiren dengan gugup. "Buang-buang duit, lagian kamu kan sudah periksa ke bidan. Sama saja kan, sudah sana pergi, muak lihat tubuhmu itu." Usir Niko. Ya, Niko dan Dika satu suadara. Dika adalah anak tertua dari dua bersaudara. Keduanya melangsungkan pernikahan di hari yang Sama, Dika menikahi Airin gadis cantik dan seorang pekerja kantoran. Sedangkan Niko menikahi Shiren saat gadis itu bekerja di sebuah toko, Shiren seorang yatim sejak ia masih balita, ibunya meninggalkan dia kepada sang nenek karena hendak ingin menikah kembali. Tetapi, calon ayah tirinya tak menerima kehadiran Shiren dan meminta ibu wanita itu menjauhinya. Karena cinta dan harta, akhirnya ibu Shiren setuju meninggalkan anaknya di desa dan ikut suaminya beserta anak tirinya yang hampur seusia Shiren. Tapi sayangnya, setelah umurnya saat itu dua puluh tahun, sang nenek meninggalkan dunia, rumah peninggalan sang nenek dijual sang ibu untuk tambahan modal usaha suami, Shiren menetap di kota dibekali uang buat kost dan makan selama beberapa bulan hasil penjualan rumah tersebut, karena Niko sang kekasihnya memutuskan buat melamar. Shiren menerima lamaran itu, dengan harapan mempunyai sebuah keluarga. Tapi nasib kurang baik juga menghampirinya, tabiat asli Niko terkuak saat ia hamil. "Bagaimana, apa Niko mau?" Tanya Airin istri Dika, rumah mereka juga bersebelahan. Tetapi rumah Dika lebih mencolok akan kemewahan karena pria itu berhasil dalam mengembangkan usaha toko materialnya. "Tentu saja tidak, dia itu tidak peduli sama calon anaknya. Bagaimana ada sesuatu, mana dia bebas merokok lagi di dalam rumah itu." Airin hanya menganggkat alis tak mau ambil pusing. "Ya sudahlah, ayo berangkat. Itu urusan mereka." Jawabnya acuh. Dari ambang pintu, Niko tampak memperhatikan gerak gerik keduanya. Airin melemparkan senyum ramah, begitu pun sebaliknya. "Cantik sekali bang Dika, andai saja aku juga punya istri secantik itu." Lirihnya. Tubuh Airin yang masih tampak langsing meski mengandung 8 bulanan membuat pesonanya tampak semakin seksi di mata Niko yang tak tahu bersyukur. Hari ini dia libur dari kerjanya, sedangkan Shiren merasakan sakit kontraksi. Ia mengeluh dan memejamkan mata menahan sakit. "Aduh, sakit sekali." Lirihnya mengusap pinggang. "Assalamu'alaikum, Niko!" Rupanya mertua Shiren datang, mobil mereka terparkir di halaman rumah Dika. "Walaikumsalam bu, yah, silahkan masuk!" Niko mencium takzim tangan kedua orang tuanya. "Shiren mana? Ini ibu bawakan soto," Ibu mertua Shiren memang baik dan kalem. Berbeda dengan ayah mertuanya yang asal jeplak kalau ngomong dan suka nyakitin. "Bentar, aku panggil bu." Mereka mengangguk, Gusman merasa kegerahan di sana, dia berpindah ke depan sebuah kipas angin. "Dek, ada ayah dan ibu." Shiren yang sudah tahu kedatangannya mengangguk, perutnya masih sakit. "Cepat, sambut mereka dengan baik. Buatkan minum," Shiren berdiri, mengatur nafas dan melupakan sedikit rasa sakitnya. "Ibu, ayah." Dia pun mencium punggung tangannya dengan takzim. "Sehat kamu nak?" "Alhamdulillah bu, bentar Shiren buatkan minum." Lastri memberikan dua bungkus soto itu kepada Shiren. "Semoga kamu suka ya, sekalian taroh di belakang." Lastri mengulurkan kresek berwarna putih itu. "Alhamdulillah, makasih bu. Sudah lama aku kepengen makan soto." Lastri mengangguk tersenyum. Adapun ayahnya Gusman terlihat menatap sekeliling rumah tersebut, lalu mendekati Niko. "Kok nggak ada perubahan apapun! beda sekali rumahmu dari rumah Dika," ucapnya spontan. Niko seketika berwajah dingin, lalu menghela napas. "Ya maklum, Yah. Liat bang Dika punya usaha maju, istrinya juga bekerja, berapa coba pemasukannya." "Makanya kamu cari yang berpendidikan, wanita pekerja juga, ga kayak isrimu hanya ibu rumah tangga biasa." Celetuk Gusman saat Shiren menata cangkir teh ke atas meja, Lastri memberi kode agar suaminya diam. "Silahkan Yah, bu." "Makasih nak." Jawab Lastri ramah, Gusman nampak dingin. "Sudah sana ke belakang, icip sotonya dulu nak. Keburu dingin." Tukas mertuanya lagi. Shiren mengangguk pelan, ia juga tak enak bergabung saat ada ayah mertuanya. Saat obrolan kembali terjalin antara Gusman dan Niko, tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka semua. "Akhhh...! ibu, bang Niko." Teriak Shiren dari arah dapur.Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya."Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa."Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya."Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal."Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Nik
Dua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya."Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan."Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel.Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut."Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaran
Shiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan. "Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini.Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke d
Sehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah."Ayo masuk! anak saya sudah bangun,""Assalamu'alaikum!" Lirihnya."Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman."Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung."Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk."Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katak
Shiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil."Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu.Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan.Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak."Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang."Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan."Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka."Istri lo maksudnya?""Siapa lagi, sudah tak ad







