Se connecterShiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan.
"Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini. Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke dunia? "Bang, tolong hubungi ibuku. Aku butuh dia," tukasnya pada Niko, terdengar decakan kesal Niko. "Buat apa sih? Ibumu mana peduli, memang ada dia jeguk kamu setelah menikah?" Shiren terdiam, Lastri memberikan kode untuk anaknya menurut. "Sudah, cobalah dulu. Kalau tak biar ibu yang bicara." Niko pun menurut, Lastri meraih handpone putranya, panggilan tersambung. ("Ada apa Niko?") "Hallo besan, ini saya Lastri mertuanya Shiren," terdengar suara lembut di seberang sana seketika. ("Eh bu Lastri, ada apa? Tumben telpon,") "Iya, Shiren mau melahirkan. Sudah di ruangan persalinan, saya harap ibu ke sini ya. Shiren sangat butuh ibunya, kasihan dia." Suara di sana terdengar diam sebentar. ("Oh sudah mau melahirkan? Saya tak tahu dia hamil. Ehmmm iya, saya akan ke sana.") panggilan pun dimatikan, Lastri merasa heran. "Memangnya mertuamu tak tahu Shiren hamil?" Niko menggaruk kepala bingung. "A-aku juga tak tahu bu." Ucapnya gugup. Karena sebenarnya Niko tak pernah menanyakan kabar keluarga Shiren atau mau tahu apapun tentangnya. "Bu Bidan...rasanya kayak mau mengejan!" teriak Shiren tak tahan, bidan dan perawat bersiap-siap. Niko bercucuran keringat melihat perjuangan istrinya melahirkan, Lastri ikut memberikan semangat. Di luar, Dika dan Airin sudah sampai. Mereka menunggu di luar ruangan bersalin dengan kecemasan, apalagi Airin. Sekarang ini kehamilannya sudah menginjak 8 bulanan, tentu takkan lama lagi bukan. "Duh, kok aku penasaran mau lihat ya bang. Apa boleh aku masuk?" Tukasnya bertanya pada Dika. "Jangan dulu sayang, ntar kamu ikutan ngejan. Tunggu sampai bayinya lahir," Airin menurut, setelah terdengar suara tangisan bayi, ia langsung meminta izin untuk masuk. "Alhamdulillah... sehat dan normal!" tukas Lastri dan bidan. Pada saat proses penjahitan, Airin menyaksikannya sendiri, ia merasa ngilu apalagi mulut Shiren disumpal kain. "Shiren, apa sakitnya berasa pas dijahit?" Shiren mengangguk, membuat Airin bertambah ngeri. "Auhh ah, aku tak mau lahiran normal. Sc saja!" Tukasnya meninggalkan ruangan dengan rasa kengerian. "Kenapa sayang?" Dika tambah heran melihat expresi istrinya. "Bang aku besok lahiran sc saja, ngilu banget lihat anu itu dijahit dan kerasa lagi." Dika menggeleng pelan. "Tapi sakitnya hanya sebentar kan? Sc penyembuhannya lama, kamu pilih mana?" Airin memanyunkan bibir. "Pokoknya Secar saja, aku juga tak kuat jika harus kesakitan kontraksi, cari rumah sakit bagus dan obat yang mahal." Titahnya cemberut. Tiga hari berlalu, Shiren juga sudah dibawa pulang ke rumah mertuanya semenjak hari pertama dia pasca lahiran. Lastri menawarkan diri untuk merawat menantu dan cucunya. Keadaan Shiren pun cukup baik, Lastri membantunya dengan sepenuh hati dan jiwa. Niko suaminya tetap tinggal di rumahnya karena beralasan jauh dari tempat ia bekerja. "Kemana sih ibumu? Sudah pulang tapi tak juga menjenguk, seharusnya dia yang merawatmu, bukan istri saya!" tukas Gusman dengan rahang mengeras, suara tangisan bayi perempuan Shiren cukup membuat ia terganggu dan dia tak suka. "Maafkan aku yah, aku janji takkan lama di sini. Sampai aku siap melakukan aktifitas sendiri dan merawat bayiku maka aku akan pulang." "Terserah, awas. Jangan lama-lama, aku pusing dengar suara anak itu menangis," Lastri berlari tergopoh-gopoh sembari membawa belanjaan dari pasar. Dia melihat dari luar expresi suaminya dan yakin itu tanda tak suka dan berbicara seenaknya pada sang menantu. "Ayah, apa yang kamu katakan? Dia itu menantu kita, bayi ini cucumu!" Gusman berdecak kesal. "Alah, aku tuh kasihan sama kamu bu. Setiap waktu mengurus mereka, seharusnya ibu kandung dia merawatnya, ngerti nggak sih!" suara Gusman melunak, memang jika sama istrinya ia tak mau meninggikan suara. Meski ia keras dan terkenal galak, tetapi Gusman selalu memperlakukan istrinya dengan baik. "Astagfirullah Yah, kita ini juga keluarga Shiren, bayi ini cucu kandung kita. Tak sepantasnya kamu bicara seperti itu, lagian mana ibunya? Apa dia pernah datang kemari semenjak Shiren melahirkan?" Shiren terdiam menunduk. Terdengar suara deru mesin mobil masuk ke dalam parkiran rumah itu, meski rumah Gusman dan Lastri tak mewah. Tetapi, rumah itu besar dan bagus pada masanya, apalagi Gusman adalah seorang juragan sawit. "Siapa itu!" gumam Lastri menghampiri keluar, mata Shiren berbinar. Tau jika yang datang adalah ibu kandungnya. "Assalamu'laikum Bu besan!" tukas Karin ibunya Shiren, dia tak sendiri. Ada suaminya juga anak sambungnya juga yang seusia Shiren. "Walaikumsalam, bu Karina?" Wanita cantik dengan dress maron itu mengangguk. "Maaf banget loh baru bisa datang, suami saya habis dari luar kota." Lastri hanya mengangguk kecil, mereka masuk terkecuali suaminya Karina dan anak sambungnya. "Loh Pak, nggak masuk?" tawar Lastri. "Eh iya, Bu, ayo Sisil masuk!" seru Beni sambil menepuk pundak putrinya. Sisil terlihat ragu-ragu, wajahnya datar tanpa senyum saat melangkah masuk, seolah tak ingin menambah beban di suasana itu. "Bu, kenapa baru datang menjenguk aku?" suara Shiren tiba-tiba terdengar lirih, dadanya bergetar menahan sesak yang tak tertahankan. Karina menggaruk-garuk kepalanya, terlihat kebingungan mencari kata-kata. "Ah, baru sempat... ayahmu kan baru pulang dari luar kota," jawabnya terbata, suara terasa dibuat-buat. Padahal, kalau Shiren tahu, Beni, suaminya, sebenarnya tak mengizinkan Karina datang. Karina sendiri sebenarnya tak ingin memaksakan diri, tapi karena pesan-pesan Shiren yang tak berhenti masuk, akhirnya dia datang juga — bukan karena rindu, tapi karena rasa terpaksa. Gusman menyelipkan komentar dengan senyum hangat, "Bu Karina pasti sekalian mau jemput Shiren ya, biar dia ikut ke rumahnya. Anak perempuan memang lebih enak ikut ibunya, supaya nggak sungkan di rumah mertua." Karina tiba-tiba menunduk, wajahnya memerah malu, tak tahu harus berkata apa menghadapi komentar yang tampak begitu mengiris itu. "Eh bukan begitu Pak, saya tak bisa membawa Shiren, kan bapak tahu sendiri saya sering ikut suami bepergian. Kasihan nanti anak saya tak ada yang mengurus," sergahnya dengan ramah diiringi senyuman. "Jadi ibu tak berniat membawaku?" Tanya Shiren, Karina menggeleng. Lastri datang membawa nampan berisi teh dan kudapan ringan. "Seadanya ya bu!" Mereka mengangguk. "Ini buat cucuku, semoga kamu suka!" Karina memberikan satu kantong kresek berisi peralatan bayi. "Terima kasih bu," jawab Shiren lirih, sedangkan Beni sudah memberikan kode untuk mengajak istrinya pulang, padahal Karina belum sama sekali menggendong cucunya. "Maaf sekali bu Lastri, Pak Gusman, saya dan keluarga harus pulang. Ada keperluan mendadak." Lastri dan Gusman saling menatap. "Sebentar sekali bu ke sini, apa sudah lepas rindu sama anak dan cucunya?" Tanya Lastri heran, Karina mengangguk. Shiren terdiam menatap kepergian ibu yang sama sekali tak pernah peduli padanya, hatinya teriris. Kasih sayang yang diberikan Karina belum ia rasakan sama sekali, dari kecil wanita itu sudah meninggalkan dia dan menitipkan kepada sang nenek. "Sabar ya nak! ada ibu yang akan merawatmu," timpal Lastri mengelus bahu menantunya. "Terima kasih bu." Shiren memeluk Lastri dengan tubuh bergetar karna tangis. Hingga ia merasa tenang, Shiren dan Lastri membuka bingkisan yang dibawa Karin, dua pasang baju bayi cukup untuk usia hingga satu tahun dan juga satu bal pampers ukuran kecil. "Alhamdulillah, baju kamu bertambah nak," ujar Shiren penuh syukur, Lastri tersenyum. "Sebenarnya baju debay apa masih ada di rumah nak? Bedong dan lainnya," Tanya Lastri yang sebenarnya penasaran dengan baju cucunya yang hanya satu tas kecil. "Ehmm iya bu, hanya ini. Aku tak punya uang lebih buat beli lagi, bang Niko hanya kasih lima ratus ribu buat perlengkapan bayinya." Lastri tercengang sekaligus terkejut, sungguh miris uang sebanyak itu dapat apa saja. "Ini juga aku belinya via online agar lebih murah," "Ya Allah nak, kenapa kamu tak ngomong. Sunggah terlalu Niko, awas saja dia!" Lastri merasa tak enak pada menantunya. Orang yang mereka bicarakan datang, Lastri tampak marah. "Dari mana saja kamu, baru ke sini liat anak istrimu?" Niko hanya nyengir. "Kerjalah bu, ngapain lagi. Habis kerja capek dan istirahat di rumah," Lastri menghela napas kasar. "Ibu mau bicara!" Niko melihat wajah serius ibunya, saat berjalan melewati Shiren. Ia menatap tajam istrinya, berdalih wanita itu mengatakan sesuatu tentangnya. "Ada apa sih bu?" Lastri memperlihatkan baju cucunya dan perlengkapan lainnya. "Lihat ini, kenapa kamu bisa tak sepeduli ini pada kebutuhan anakmu? Lihat Niko, berapa uang kamu kasih pada istrimu untuk ini semua?" Niko terdiam menunduk, lalu mengangkat kepala. "500 bu." "Niko..Niko...kamu pikir cukup uang itu untuk beli perlengkapan anakmu? Ibu sampai bingung kehabisan yang mau dipakai, padahal yang ada di jemuran tak seberapa banyak, kamu kenapa pelit begini sih?" Suara Lastri meninggi, Gusman datang dari arah belakang rumah. "Sudahlah bu, tak perlu marah-marah gara-gara menantumu itu," Lastri menceritakan apa yang membuatnya marah, Gusman terlihat biasa saja lalu merogoh sakunya mengambil dompet. "Ah itu saja dipermasalahkan, ini uang buat beli keperluan yang kurang." Gusman menyodorkan uang itu pada Lastri. "Kamu! ini bukan karenamu ya saya beri uangnya, tapi biar istri saya tak memarahi anak kami terus gara-gara orang lain." Timpal Gusman kepada Shiren, ucapannya terasa tajam terdengar dan membuat Shiren menunduk sedih. "Ayah, jangan begitu. Dia bukan orang lain, Shiren menantu kita, anak kita juga." Gusman tampak bodoh amat. "Mengapa hidupku begini? Tak ada yang peduli sama aku kecuali ibu mertuaku, bahkan suami dan ibuku sendiri tak peduli. Harus melangkah kemana hidupku sekarang? Rasanya aku ingin pergi saja menjauh dari orang-orang yang sekarang seakan membenciku, menata lembaran baru hidup hanya bersama anakku!" air mata Shiren lolos keluar, ia menunduk menutupi wajahnya yang sedih dan sudah merah.Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya."Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa."Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya."Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal."Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Nik
Dua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya."Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan."Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel.Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut."Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaran
Shiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan. "Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini.Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke d
Sehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah."Ayo masuk! anak saya sudah bangun,""Assalamu'alaikum!" Lirihnya."Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman."Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung."Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk."Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katak
Shiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil."Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu.Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan.Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak."Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang."Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan."Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka."Istri lo maksudnya?""Siapa lagi, sudah tak ad







