“Kamu tahu aku dan dia pacaran lima tahun, tetapi seenaknya kamu mengambilnya begitu saja,” ucap Dimas lagi.
“Mas tolong hentikan, banyak orang menonton di sini, tolong jangan teruskan lagi,” ucap Talita mengatupkan kedua telapak tangannya ia memohon dengan wajah sedih, ia tidak mau ada keributan.
“Aku tidak peduli banyak orang yang melihat. Aku mau bilang pada kakak ipar mu ini . Eh , salah suamimu. Di hari aku ingin melamarmu jadi istriku tetapi mantan kakak iparmu ini menikahimu, apa ini adil?” ucap Dimas dengan rahang mengeras dan urat-urat saling bertarikan.
Emir masih bersikap tenang, bahkan dengan tenang memakan makanan yang dipesan, saat semua orang ramai menonton keributan, dengan tenangnya Emir menikmati makanannya dan membiarkan Dimas marah dan meluapkan amarahnya sendiri.
Sementara Talita sudah gemetaran, ia takut di balik sikap diam dan tenang Emir, ada sesuatu yang kemarahan yang terkunci.
Jika terus dibiarkan, akan ada bahaya, ia takut Emir menarik pistol yang di pinggangnya dan mengarahkan ke Dimas.
Terkadang seseorang pendiam dan tidak bicara, justru yang lebih berbahaya. Talita tidak mau ada keributan, ia bertindak sebelum hal buruk terjadi ….
Paaak …!
“Cukup Mas, cukup, aku yang datang untuk menjadi istrinya Mas Emir, dia tidak pernah memintaku jadi istrinya,” ujar Talita dengan deraian air mata.
Tidak ada niat sedikitpun ingin menampar lelaki yang amat dicintai itu. Tetapi, kalau ia tidak melakukannya, ia takut hal buruk akan terjadi.
“Talita …?”
Wajah Dimas tampak kaget dengan apa yang dilakukan Talita padanya.
Dimas menatap sendu pada Talita, ia mengenal Talita sejak masih kuliah sampai menjadi seorang bidan. Namun, baru kali ini ia melihat wanita berwajah cantik itu berbuat kasar.
Dimas meninggalkan restoran dengan perasaan hancur. Talita mengusap pipinya dengan kasar, ia tidak ingin terlihat lemah di depan Emir, sementara lelaki itu tidak sedikitpun merasa terganggu dengan keributan yang terjadi.
Ia masih dengan sikap tenang menghabiskan makanannya. Sementara Talita tiba-tiba kehilangan selera makan, ia membayar makanan mereka berdua dan membiarkan makanan bagiannya masih diatas meja tidak disentuh sama sekali.
Melihat makanan sudah dibayar, Emir menghabiskan air jeruk hangat di gelasnya, lalu ia berdiri dan meninggalkan restoran, tidak menghiraukan tatapan semua orang yang tertuju padanya, ia tenang, bagai jelmaan iblis.
Saat keluar dari restoran ternyata Dimas masih berdiri di halaman restoran, ditenangkan beberapa teman-temannya, sementara Talita dan Emir masuk ke mobil tanpa menoleh sedikitpun pada Dimas.
Dalam mobil Talita benar-benar tidak bisa menahan diri, ia menatap ke arah kaca membiarkan sungai kecil mengalir deras dari pipinya, tangisan tanpa suara, ia sangat sedih dan tidak tega melukai perasaan Dimas, ia menyesal telah menampar Dimas.
Walau ia menangis sampai mengeluarkan darah, Emir tidak menghiraukannya, ia akan bersikap seperti patung diam dan diam.
Karena terlalu lama menangis Talita tertidur dan membawa rasa lapar dan rasa sedih ke dalam tidurnya, membiarkannya menjadi satu membawanya ke alam mimpi, berharap apa yang ia alami semuanya hanya mimpi buruk yang menyedihkan dan Talita berharap saat ia membuka mata semuanya kembali normal.
Talita berharap melihat Hanum mbak yang ia sayangi tersenyum manis kembali padanya dan membelikan beberapa pakaian bermerek untuknya, dan mengajaknya ke salon kecantikan.
Tidak lama kemudian ia masuk ke alam yang amat indah dan damai. Dalam mimpi, ia melihat Dimas melambaikan tangannya padanya dari tempat parkiran motor saat menjemputnya pulang kerja setiap sore, Talita juga melihat dalam mimpinya, ia diperlakukan sangat baik sama keluarga Dimas diperlakukan bagai anak sendiri.
Talita terbangun, mencubit lengannya dan berharap mimpi yang ia alami kenyataan, Namun, saat ia melihat ke samping matanya mengerjap-erjap beberapa kali, menyadari semua yang terjadi padanya hanyalah mimpi, kenyataannya, saat ini hidup pahit.
“Kamu sudah bangun, ayo masuk,” ucap Emir lelaki itu membiarkannya tidur dan menunggu.
“Oh, baiklah.” Talita turun dari mobil.
Hal yang pertama yang ia lakukan ke kamar si kembar, ia hanya ingin memastikan kedua anak kembar itu aman.
Ia menarik nafas lega karena keduanya sudah tidur pulas, dengan jalan mengendap-endap ia keluar dari kamar mereka. Lalu ia masuk ke dalam kamar. Emir sedang berganti pakaian, ia mengeluarkan beberapa pakaian dari lemari.
“Kalau kamu ingin mandi, mandilah duluan, setelah kamu, baru aku,” ujar Emir, ia juga tidak mau berganti pakaian sembarangan kalau ada Talita dalam kamar.
“Baiklah, tapi aku juga mau ambil pakaian dari lemari itu,” ujar Talita, ia berdiri di belakang suaminya, saat Emir berbalik badan wajah mereka berdua saling bertemu.
Mata Talita memutar, ia gugup saat wajah suaminya dan wajahnya jaraknya hanya satu jengkal, bahkan ia bisa merasakan nafas hangat Emir menyentuh kulit wajahnya.
“Mas lewat saja,”ujar Talita mundur.
Bukan hanya ia yang membuat jarak dengan suaminya, Emir juga seolah-olah membatasi diri padanya.
‘Baiklah Mas, itu lebih baik, kamu tidak boleh menyentuhku, aku sangat senang dengan hal itu, setidaknya berikan aku waktu untuk menerimamu menjadi suamiku, karena sejujurnya aku masih belum siap untuk melayani mu sebagai istri’ ucap Talita dalam hati.
“Sudah, kamu masuk saja.” Emir mempersilakan Talita masuk kamar mandi.
Hubungan mereka berdua sangat kaku, bagi Talita mantan kakak ipar menjadi suaminya, hal yang sangat berat. Namun, atas permintaan ibunya ia terpaksa mau.
Dalam rumah keluarga suaminya tidak ada satupun yang menerimanya sebagai keluarga, mereka semua memusuhi nya menyebutnya sebagai benalu, sama seperti Hanum kakak perempuannya.
Talita hanya diam, apapun yang dikatakan ibu mertuanya, ia hanya diam menganggap semua itu bagai angin lalu.
Talita sudah bertekad akan bertahan demi kedua keponakannya yang tidak diterima ayah dan nenek nya.
Kini pikirannya hanya disibukkan dengan ucapan Emir yang menyebut Hanum berselingkuh dan akan mencari tahu penyebab kematian Hanum.
‘Mbak, aku berharap apa yang dikatakan orang-orang ini, hanya fitnah belaka, karena aku tahu, mbak orang yang baik, tidak akan melakukan hal seperti itu’
Talita bermonolog dalam hati, matanya menatap foto mbaknya tergantung di dinding.
Saat ia merebahkan tubuhnya, ia meletakkan satu bantal di tengah sebagai pembatas untuk mereka berdua. Emir juga tidak menghiraukan bantal penghalang tersebut.
Saat ia berbaring tidak terasa air matanya menetes deras, ia melihat telapak tangan yang ia gunakan menampar Dimas tadi sore.
Terlalu lelah menangis dan otaknya terlalu capek memikul masalah, membuatnya terlelap dalam tidur.
Bersambung...
Pernikahan Dila dan DimasPersiapan pernikahan Dila dan Dimas dimulai dengan adat Minang yang kaya tradisi. Tahapan awal, yang disebut Meresek, dilakukan oleh keluarga besar kedua mempelai untuk membicarakan rencana pernikahan. Pada tahap ini, pihak keluarga saling berdiskusi mengenai tanggal, adat yang akan dijalankan, dan persiapan lainnya.Setelah itu, dilanjutkan dengan Menimang dan Batimbang, di mana orang tua memberikan nasihat dan doa restu kepada kedua mempelai. Suasana haru menyelimuti prosesi ini, karena kedua orang tua menyampaikan pesan penuh makna kepada anak-anak mereka yang akan memulai hidup baru.Tahapan berikutnya adalah Mananta Sirih, yaitu prosesi di mana keluarga calon pengantin pria datang menemui ninik mamak (tetua adat) dan keluarga besar calon pengantin wanita untuk menyampaikan maksud baik mereka. Pada prosesi ini, sirih menjadi simbol penghormatan dan persetujuan dari kedua belah pihak.Kemudian, Babako-Babaki menjadi tahap penting dalam adat pernikahan Mina
Beberapa minggu setelah pertemuan keluarga itu, hubungan Dila dan Dimas semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar berjalan-jalan di taman atau menikmati kopi di kafe kecil favorit Dila. Seiring berjalannya waktu, keduanya mulai menemukan kenyamanan satu sama lain.Suatu sore, Dimas dan Dila duduk di tepi danau, menikmati semilir angin yang menyejukkan. Dila menatap Dimas dengan lembut, lalu berkata, " Bang Dimas, aku tahu perjodohan ini mungkin terasa mendadak untukmu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin memaksakan apa pun. Aku hanya ingin kita jujur dengan perasaan masing-masing."Dimas tersenyum dan menggenggam tangan Dila dengan hangat. "Dila, awalnya aku memang ragu, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku merasa lebih nyaman dan percaya bahwa mungkin ini memang jalan yang terbaik. Aku ingin kita menjalaninya dengan hati yang lapang."“Dulu kamu tidak pernah melihatku sebagai wanita, dimatamu hanya ada Talita. Apa kamu yakin bisa melupakannya?”“Se
Talita dan Emir duduk berhadapan dengan Pak Brata di ruang tamu rumahnya yang luas dan elegan. Pria paruh baya itu menatap mereka dengan ekspresi penuh tanya, sementara secangkir teh hangat tersaji di hadapannya."Jadi, ada hal penting yang ingin kalian bicarakan, datang ke rumah saya Emir" tanya Pak Brata sambil menyilangkan tangan di dadanya.Talita tersenyum lembut, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Pak Brata, kami datang dengan niat baik. Kami ingin membicarakan tentang Dila dan Dimas. Kami merasa mereka berdua bisa menjadi pasangan yang cocok, dan kami ingin tahu pendapat Bapak tentang ini."Pak Brata mengangkat alisnya, tampak terkejut. "Dila dan Dimas?" Ia menghela napas pelan lalu tersenyum kecil. "Dila memang sudah lama mengagumi Dimas, dan laki-laki itu sudah menolak menikah dengan Dila. Saya tidak ingin memaksakannya lagi. Dimas sangat tergila-gila padamu Talita.”Emir menimpali dengan suara tenang, "Dimas sudah mulai menerima kenyataan. Kami yakin, jika diberi kesem
Pak Anto baru saja pulang dari perjalanannya ke luar kota ketika ia mendengar suara Dimas yang meninggi dari dalam rumah. Langkahnya terhenti di ambang pintu ruang keluarga, matanya yang tajam menangkap ekspresi penuh emosi dari anak sulungnya."Apa yang sedang terjadi di sini?" suaranya dalam dan berwibawa, memecah ketegangan di ruangan itu.Bu Yani terlonjak, sementara Farida menggigit bibir, gelisah. Dimas menoleh ke arah ayahnya, wajahnya masih dipenuhi kemarahan dan kekecewaan."Ayah, lebih baik Ayah duduk. Aku punya sesuatu yang harus Ayah dengar," kata Dimas dengan suara bergetar.Pak Anto mengerutkan dahi tetapi tetap berjalan menuju kursi dan duduk. Dimas menghela napas panjang sebelum menekan tombol di ponselnya, memutar rekaman suara yang baru saja membuat ibunya pucat pasi.Suara Ibu Irfan dan Bu Yani memenuhi ruangan. Kata-kata itu begitu jelas, begitu nyata, hingga tak ada ruang bagi penyangkalan. Rekaman itu berisi percakapan yang membuktikan bahwa Bu Yani berkomplot u
Dimas duduk termenung di kamar apartemennya. Kata-kata Emir terus terngiang di kepalanya. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya, wanita yang selalu ia hormati dan kasihi, tega melakukan hal-hal keji pada Talita. Namun, sebagai seorang tentara, ia tahu bahwa kebenaran harus diungkap. Ia tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata Emir. Ia harus mencari bukti.“Aku tidak yakin kalau Bunda melakukan seperti yang dituduhkan Emir,” ucap Dimas sembari bergumam. Tanganya sibuk mencari nama aku media sosial Ibunya dan Farida. Ia beberapa kali memasukkan kata kunci di pencarian banyak orang yang memiliki nama yang sama seperti Ibunya.“Yang mana akun Bunda,” ucapnya sesekali mengaruk kepalanya dengan kasar. Beberapa kali mencoba tidak menemukannya, ia memilih menghentikannya ia berniat bertanya pada kerabat yang berteman di media sosial dengan ibundanya. *Besok harinya ia pura-pura berkunjung ke tempat kerjaan adik sepupunya dan ia pura-pura meminjam ponsel ingin mencari teman di media
Setelah pertemuan yang tegang itu, Talita dan Emir mencoba kembali menata hidup mereka, meskipun ada beban yang masih menggantung. Namun, jauh di dalam hati mereka, baik Talita maupun Emir tahu bahwa Dimas belum selesai. Amarah yang membara di dalam diri Dimas belum surut.“Mas, Aku tidak melakukan kesalahan kan?” tanya Talita di saat mereka berdua menjelang tidur.“Tidak, kamu tidak salah Talita. Dimas hanya merasa kecewa, karena kita menikah tanpa memberitahunya.”“Ibu Yani yang tidak ingin melihatku Mas, dia sangat membenciku,” keluh Talita sambil mengusap-usap pipi Emir yang berbaring disampingnya.“Lupakan masala lalu dan mari kita menata masa depan. Kemarahan Dimas mungkin akan hilang seiring berjalannya waktu,” ujar Emir mengecup kening Talita dan meminta wanita itu untuk tidur.“Bagaimana kalau dia marah dan balas dendam Mas?” tanya Talita menghela nafas panjang.“Kita akan hadapi sayang, istirahatlah. Besok kita sudah mulai bekerja, liburan madu kita sudah habis.” Emir mem