Saat pagi tiba, Talita membawa si kembar berjemur di lapangan di samping rumah, tetapi apa yang di katakan Emir tadi malam menganggu pikirannya, ia terus saja menatap wajah kedua baby yang sangat mengemaskan itu.
‘Wajah mereka mirip siapa sih? Mirip Mbak juga tidak, apa lagi mirip Mas Emir, rasanya tidak? Talita membelai pipi Hasnah, bayi perempuan itu memiliki wajah yang sama dengan ibunya dan mata yang bulat.
Saat ia duduk berjemur, seorang wanita paru baya menghampirinya.
“Oh, anak yang sangat cantik seperti ibunya, kamu harus sabar iya Neng, mereka akan mendapat ganjaran atas apa yang mereka lakukan, menyebabkan dua bayi malang ini kehilangan ibunya,”
ujar wanita itu dengan wajah tenang dan berkarisma, tidak terlihat seperti ibu tukang gosip.
“Apa maksudnya Bu? apa ibu mengenal kakak saya?” tanya Talita dengan tatapan memburu.
“Kakakmu orang yang sangat cantik dan sangat sabar.”
“Lalu apa maksud Ibu tadi?” tanya Talita dengan tatapan penasaran.
“Bukanya kamu sudah tahu kalau kakakmu mati mereka yang menyebabkan?”
“A-apaaa …? maksud ibu apa?”
“Sudahlah, Allah akan membalas mereka semua dan kakakmu akan selalu melindungi anaknya,” ucap wanita itu lalu pergi meninggalkan Talita.
Karena terkejut dengan apa yang di katakan wanita itu, ia sampai lupa bertanya di mana rumahnya, dan siapa nama ibunya.
“Ya, Allah kabar apa lagi yang saya dengar ini, benarkah mbak ku mati dengan tidak wajar … ? benarkah ada faktor ke sengaja? Aku harus mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi sama Mbak Hanum,” ujar Talita ia bertekad mencari kebenaran tentang mbaknya.
Mendengar hal itu ada keinginan yang kuat untuk tetap bertahan di rumah itu, walau suaminya mengaku kalau anak itu bukan anaknya, tetapi Talita ingin mencari kebenaran di balik kematian mbaknya.
*
Saat malam tiba, Talita melihat ada undangan untuk Emir dalam peserta HUT perayaan Bhayangkara, tetapi Emir tidak menyinggungnya, maupun mengajaknya ikut pergi. Ia memberanikan diri .
“Aku melihat ada undangan di atas meja, boleh aku ikut?,” tanya Talita memberanikan diri, entah dari mana ia mendapat kekuatan untuk menanyakan itu.
“Ikut?”
“Iya, menemani mas Emir.”
“Tidak usah, kamu urus aja anak-anak itu.”
“Tidak Mas, aku harus ikut sebagai istrimu.”
“Aku sudah lama tidak melakukan itu.”
“Iya, tapi saat ini, Mas akan melakukan.”
Dengan sedikit pemaksaan akhirnya Emir setuju membawa Talita ke acara pelantikan pejabat baru di kepolisian. Talita menjadi salah seorang ibu-ibu Bhayangkari yang berseragam warna pink.
Talita tidak ingin malu-maluin ataupun merasa sungkan, ia sudah biasa berinteraksi dengan berbagai sifat manusia selama ia menjadi bidan , jadi walau ini pertama kali untuknya, sebagai seorang istri seorang abdi negara, tetapi, Talita pintar berbaur.
Saat masih berpacaran dengan mantan kekasihnya seorang tentara, ia sering di ajari untuk bersikap pada istri atasan dan bagaimana bersikap anggun saat mendampingi suami saat bertugas, semua yang diajarkan mantan kekasihnya kini ia terapkan saat mendampingi suaminya.
Emir sempat merasa ragu dan ia selalu melirik Talita dari ekor matanya, ia takut wanita cantik itu melakukan sikap yang membuatnya malu. Namun, Talita bisa berbaur dengan baik dan mengobrol akrap pada sesama istri polisi.
Talita sadar, Emir memang jarang bicara, terlihat saat acara ia hanya banyak diam dan duduk menyendiri, saat teman-temannya saling mengobrol akrab, Emir duduk sendirian dengan mata menatap fokus ke depan.
‘Ah, apa memang sifat Mas Emir selama ini seperti itu’ ucap Talita dalam hati, matanya menatap suaminya yang sedang duduk sendirian.
Seorang wanita berkulit putih mendekatinya dan mengajaknya mengobrol.
“Suamimu memang selalu seperti itu, irit bicara dan tidak suka berbaur dengan yang lain.” Talita hanya tersenyum mendengar ucapan wanita di depannya.
“ Baru kali ini ia membawa seorang wanita dalam acara seperti ini, dia sangat berubah sejak kecelakaan dua tahun lalu, dia menjadi sosok yang dingin,” ujar wanita yang terlihat sudah ber-umur.
Talita hanya membalas dengan senyuman, walau hatinya ingin sekali ingin tahu lebih banyak mengenai suaminya.
‘Apa dia tidak membawa kakakku ke tempat seperti ini?” tanya Talita dalam hati, ia tidak menunjukkan sikap penasaran di depan wanita itu.
“Saat satu dua tahun pernikahan, dia selalu bersama kakakmu, mereka memiliki hubungan yang paling romantis dan sering membuat pasangan lain iri karena perhatian Emir pada istrinya pasangan yang sangat serasi cantik dan tampan. Pada saat ke tiga tahun mereka jarang bersama hanya sesekali.
Puncaknya saat Emir mengalami kecelakaan, sejak saat itu, dia hampir tidak pernah mengajak kakakmu, bahkan beredar kabar di kepolisian, dia kerap melakukan kekerasan pada kakakmu,” ujar wanita paruh baya itu, suaminya, atasan Emir.
“Oh baiklah bu, terimakasih sudah berbagi cerita denganku,” ucap Talita.
“Oh, ikut berduka cita atas meninggalnya kakakmu, peluk cium untuk si kembar iya Mbak.”
Talita hanya mengangguk ramah dan selalu tersenyum manis pada setiap orang yang menyapa.
“Apa kita belum pulang?” tanya Talita saat Emir masih duduk, sedangkan yang lain sudah bergegas pulang dan acara sudah selesai.
“Bisa tinggalkan aku sendirian, kamu pulang saja duluan.”
“Mas, kita datang bersama dan pulang juga harus bersama.”
“Ck … sejak kapan kamu bisa mengatur hidupku?’ ujar Emir ketus membuat mata Talita memutar karena terkejut atas ucapan Emir.
“Aku tidak mengatur Mas, semua orang sudah pulang tinggal kita.”
“Lalu apa masalahnya, apa masalahnya jika semua orang meninggalkanku, apa aku harus ikut pergi kalau mereka pergi?”
“Baiklah kalau Mas Emir ingin menunggu tidak apa-apa, mari kita tunggu sebentar lagi,” ujar Talita dengan sabar, ia wanita yang sabar dan ramah.
Hampir sepuluh menit Talita duduk dalam diam, ia bertahan, pada akhirnya , Emir berdiri, matanya menatap dingin
Talita mengikutinya sampai ke parkiran.
Mobil sudah sudah melaju meninggalkan gedung pertemuan, suasana di jalan semakin macet. Namun sedikitpun Emir tidak membuka mulut, ia diam bagai sebuah patung.
Satu hal yang membuat Talita penasaran dengan mantan abang iparnya tersebut, lelaki itu bisa tidak membuka mulut dalam waktu lama, walau ada orang lain di sampingnya.
Talita tampak ikut diam saat Emir diam, ia berpikir mulutnya bisa tumbuh jamur jika lebih lama lagi bersama Emir.
‘Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan Mas Emir, dulu dia tidak seperti ini, kenapa dia sekarang berubah’ ujar Talita dalam hati.
“Kita makan dulu iya Mas, aku lapar bangat”ujar Talita membuka obrolan.
“Baiklah.”
Berhenti di salah satu restoran padang, ia masih berpakaian seragam dan Emir juga masih berpakaian seragam polisi. Tetapi kali ini Talita nyaris pingsan.
Dimas dan beberapa temannya sedang makan di restoran yang sama dengannya.
‘Ya Allah, apa ini?’ Talita tampak beberapa kali berucap dalam hati, berharap Dimas tidak membuat keributan.
Tetapi apa yang ditakutkan wanita cantik itu terjadi juga di saat restoran sedang ramai. Dimas membuat bertambah ramai pula.
Saat Talita memesan menu makan untuk mereka, Dimas mendatangi mejanya dan Emir.
“Enak iya mengambil milik orang lain,” ujar Diman menatap Emir dengan tatapan bringas.
“Apa yang anda maksud?” tanya Emir dengan sikap tenang.
“Mas Dimas tolong jangan membuat keributan di sini Mas,malu,” ucap Talita memohon.
Laki-laki yang berseragam polisi itu menatap tajam pada Emir dan berdecak pinggang. “Kamu mencuri calon istriku Pak Polisi!”
Bersambung ....
Pernikahan Dila dan DimasPersiapan pernikahan Dila dan Dimas dimulai dengan adat Minang yang kaya tradisi. Tahapan awal, yang disebut Meresek, dilakukan oleh keluarga besar kedua mempelai untuk membicarakan rencana pernikahan. Pada tahap ini, pihak keluarga saling berdiskusi mengenai tanggal, adat yang akan dijalankan, dan persiapan lainnya.Setelah itu, dilanjutkan dengan Menimang dan Batimbang, di mana orang tua memberikan nasihat dan doa restu kepada kedua mempelai. Suasana haru menyelimuti prosesi ini, karena kedua orang tua menyampaikan pesan penuh makna kepada anak-anak mereka yang akan memulai hidup baru.Tahapan berikutnya adalah Mananta Sirih, yaitu prosesi di mana keluarga calon pengantin pria datang menemui ninik mamak (tetua adat) dan keluarga besar calon pengantin wanita untuk menyampaikan maksud baik mereka. Pada prosesi ini, sirih menjadi simbol penghormatan dan persetujuan dari kedua belah pihak.Kemudian, Babako-Babaki menjadi tahap penting dalam adat pernikahan Mina
Beberapa minggu setelah pertemuan keluarga itu, hubungan Dila dan Dimas semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar berjalan-jalan di taman atau menikmati kopi di kafe kecil favorit Dila. Seiring berjalannya waktu, keduanya mulai menemukan kenyamanan satu sama lain.Suatu sore, Dimas dan Dila duduk di tepi danau, menikmati semilir angin yang menyejukkan. Dila menatap Dimas dengan lembut, lalu berkata, " Bang Dimas, aku tahu perjodohan ini mungkin terasa mendadak untukmu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin memaksakan apa pun. Aku hanya ingin kita jujur dengan perasaan masing-masing."Dimas tersenyum dan menggenggam tangan Dila dengan hangat. "Dila, awalnya aku memang ragu, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku merasa lebih nyaman dan percaya bahwa mungkin ini memang jalan yang terbaik. Aku ingin kita menjalaninya dengan hati yang lapang."“Dulu kamu tidak pernah melihatku sebagai wanita, dimatamu hanya ada Talita. Apa kamu yakin bisa melupakannya?”“Se
Talita dan Emir duduk berhadapan dengan Pak Brata di ruang tamu rumahnya yang luas dan elegan. Pria paruh baya itu menatap mereka dengan ekspresi penuh tanya, sementara secangkir teh hangat tersaji di hadapannya."Jadi, ada hal penting yang ingin kalian bicarakan, datang ke rumah saya Emir" tanya Pak Brata sambil menyilangkan tangan di dadanya.Talita tersenyum lembut, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Pak Brata, kami datang dengan niat baik. Kami ingin membicarakan tentang Dila dan Dimas. Kami merasa mereka berdua bisa menjadi pasangan yang cocok, dan kami ingin tahu pendapat Bapak tentang ini."Pak Brata mengangkat alisnya, tampak terkejut. "Dila dan Dimas?" Ia menghela napas pelan lalu tersenyum kecil. "Dila memang sudah lama mengagumi Dimas, dan laki-laki itu sudah menolak menikah dengan Dila. Saya tidak ingin memaksakannya lagi. Dimas sangat tergila-gila padamu Talita.”Emir menimpali dengan suara tenang, "Dimas sudah mulai menerima kenyataan. Kami yakin, jika diberi kesem
Pak Anto baru saja pulang dari perjalanannya ke luar kota ketika ia mendengar suara Dimas yang meninggi dari dalam rumah. Langkahnya terhenti di ambang pintu ruang keluarga, matanya yang tajam menangkap ekspresi penuh emosi dari anak sulungnya."Apa yang sedang terjadi di sini?" suaranya dalam dan berwibawa, memecah ketegangan di ruangan itu.Bu Yani terlonjak, sementara Farida menggigit bibir, gelisah. Dimas menoleh ke arah ayahnya, wajahnya masih dipenuhi kemarahan dan kekecewaan."Ayah, lebih baik Ayah duduk. Aku punya sesuatu yang harus Ayah dengar," kata Dimas dengan suara bergetar.Pak Anto mengerutkan dahi tetapi tetap berjalan menuju kursi dan duduk. Dimas menghela napas panjang sebelum menekan tombol di ponselnya, memutar rekaman suara yang baru saja membuat ibunya pucat pasi.Suara Ibu Irfan dan Bu Yani memenuhi ruangan. Kata-kata itu begitu jelas, begitu nyata, hingga tak ada ruang bagi penyangkalan. Rekaman itu berisi percakapan yang membuktikan bahwa Bu Yani berkomplot u
Dimas duduk termenung di kamar apartemennya. Kata-kata Emir terus terngiang di kepalanya. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya, wanita yang selalu ia hormati dan kasihi, tega melakukan hal-hal keji pada Talita. Namun, sebagai seorang tentara, ia tahu bahwa kebenaran harus diungkap. Ia tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata Emir. Ia harus mencari bukti.“Aku tidak yakin kalau Bunda melakukan seperti yang dituduhkan Emir,” ucap Dimas sembari bergumam. Tanganya sibuk mencari nama aku media sosial Ibunya dan Farida. Ia beberapa kali memasukkan kata kunci di pencarian banyak orang yang memiliki nama yang sama seperti Ibunya.“Yang mana akun Bunda,” ucapnya sesekali mengaruk kepalanya dengan kasar. Beberapa kali mencoba tidak menemukannya, ia memilih menghentikannya ia berniat bertanya pada kerabat yang berteman di media sosial dengan ibundanya. *Besok harinya ia pura-pura berkunjung ke tempat kerjaan adik sepupunya dan ia pura-pura meminjam ponsel ingin mencari teman di media
Setelah pertemuan yang tegang itu, Talita dan Emir mencoba kembali menata hidup mereka, meskipun ada beban yang masih menggantung. Namun, jauh di dalam hati mereka, baik Talita maupun Emir tahu bahwa Dimas belum selesai. Amarah yang membara di dalam diri Dimas belum surut.“Mas, Aku tidak melakukan kesalahan kan?” tanya Talita di saat mereka berdua menjelang tidur.“Tidak, kamu tidak salah Talita. Dimas hanya merasa kecewa, karena kita menikah tanpa memberitahunya.”“Ibu Yani yang tidak ingin melihatku Mas, dia sangat membenciku,” keluh Talita sambil mengusap-usap pipi Emir yang berbaring disampingnya.“Lupakan masala lalu dan mari kita menata masa depan. Kemarahan Dimas mungkin akan hilang seiring berjalannya waktu,” ujar Emir mengecup kening Talita dan meminta wanita itu untuk tidur.“Bagaimana kalau dia marah dan balas dendam Mas?” tanya Talita menghela nafas panjang.“Kita akan hadapi sayang, istirahatlah. Besok kita sudah mulai bekerja, liburan madu kita sudah habis.” Emir mem