Talita terbangun saat suara tangisan keras dari kedua bayi kembar, mereka berdua menangis kencang seolah-olah habis di cubit.
Iaberlari ke kamar, alangkah kagetnya dirinya saat melihat Ibu mertuanya dan kakak perempuan Emir.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Talita dengan suara meninggi. Mata bulat itu tampak membesar segede jengkol, karena kaget dengan apa yang ia lihat saat itu.
“Itu bukan urusanmu, kamu diam saja,” ujar ipar perempuannya dan terus memegang gunting.
“Mbak jangan begitu, hentikan!” teriak Talita marah.
“Kenapa …? kamu takut kalau kakakmu main gila dengan lelaki lain?” ujar ibu mertua Talita, ia wanita yang egois dan mudah dipengaruhi orang lain.
“Ibu jangan menuduh seperti itu, Ibu keluar dari sini, biarkan mereka tidur, apa yang kalian lakukan pada kedua bayi malang ini, apapun yang terjadi antara kalian dan mbak ku, mereka tidak tahu apa-apa dan tidak sepantasnya kalian bersikap seperti pada mereka,” ujar Talita dengan suara bergetar, dengan sikap memasang tubuhnya untuk melindungi kedua kembar itu, menghalangi ibu mertua dan iparnya mendekati mereka berdua.
Talita langsung menggendong salah satu si kembar. Mendengar keributan Desi perawat si kembar berlari ke kamar, ia juga menggendong Hasnah, bayi perempuan itu masih menangis kelengar seakan habis di cubit.
Emir tampak berdiri di depan pintu, ia hanya melihat sebentar dan pergi, ia seolah-olah tidak mau peduli apapun yang terjadi pada bayi malang itu.
‘Tega bangat sih kamu Mas Emir, ini kah yang kamu lakukan pada anak Mbak Hanum, wanita yang sangat mencintaimu selama ini, bahkan ia rela melepaskan pekerjaannya sebagai perawat demi bisa menjadi istrimu.
Lalu apa ini?’ lagi-lagi air mata Talita menganak sungai, melihat kedua keponakan nya.
“Aku ingin menunjukkan padamu kalau kakakmu berselingkuh dengan lelaki lain, dan anak yang dilahirkan itu bukan anak dari Emir, paham kamu!”
“Tidak, ibu tidak boleh melakukan hal itu, kasihan mereka berdua,” ucap Talita tidak bisa menghentikan air matanya.
“Kami hanya ingin menggunting rambut mereka berdua untuk tes DNA,” ujar ipar Talita.
“Ya Allah tega bangat sih kamu mbak, nanti kamu akan menikah dan punya anak, bagaimana perasaan kamu saat anak kamu diperlakukan seperti ini?”
ujar Talita dengan suara bergetar, dengan kedua tangan memeluk baby Hasan , ia bertindak seperti seorang ibu untuk melindungi mereka.
“Udah deh, hidupku bukan urusanmu,”
ucap wanita berambut blonde itu dengan wajah bengis dan sikap mengintimidasi.
Wanita itu kakak perempuan Emir, tetapi walau sudah berumur hampir kepala tiga, ia enggan untuk membina rumah tangga.
Talita menolak keras kalau ibu mertuanya menggunting rambut kedua baby twins, ia terus saja menggendong dan menjauhkan keduanya dari wanita tua berkerudung hitam itu.
Mereka berdua keluar dari kamar si kembar dengan mulut memaki dan memarahi Talita.
“Kenapa mereka mau melakukan itu Bu?” tanya Desi penasaran.
“Saya tidak tahu, saya takut saat saya kerja nanti, kalau mereka melakukan itu lagi tolong jaga mereka berdua, jangan sampai mereka mendekat, rekam apapun yang mereka lakukan jika ada yang mencurigakan ingin mereka lakukan pada si kembar,” ujar Talita, dengan wajah lelah dan wajahnya masih muka bantal karena belum membasuh wajahnya.
“Baik Bu,” ujar Desi merasa takut.
Talita turun, melihat Emir di meja makan tiba-tiba ia merasa sangat benci pada lelaki itu, ia tidak serapan setelah pamit ia berangkat kerja tanpa serapan.
Talita berjalan dari komplek rumahnya sampai ke jalan, niatnya ingin mencari taxi di depan jalan. Namun, apa yang dialami di rumahnya membuatnya menangis sepanjang jalan dan duduk di salah satu halte bus.
‘Ibu … apa yang sebenarnya terjadi, inikah tujuanmu memaksaku untuk menikah dengan Emir …?
Mbak Hanum, katakan apa yang harus aku lakukan dan apa yang sudah kamu lakukan, mbak , kini aku bagai hidup dalam neraka’ ujar Talita, sesekali ia mengusap butiran air yang mengalir dari pipinya.
Ia tidak menghiraukan tatapan orang padanya, ia tidak naik taxi, maupun naik angkutan umum, ia sangat berat hati meninggalkan kedua bayi malang itu bersama orang-orang jahat yang tidak menerima kehadiran mereka berdua di dunia ini.
Kini Talita duduk sendiri masih menangis sedih dengan bahu terisak-isak.
“Kamu tidak apa-apa, Sa?” Dimas, berdiri di depannya.
Talita mendongak, melihat lelaki tampan bertubuh tegap itu ingin rasanya ia memeluk mantan kekasihnya untuk meluapkan kesedihan hatinya.
Saat situasi saat ini, ia butuh bahu untuk bersandar. Namun, status yang ia sandang saat ini sudah jadi istri Emir, membuatnya semakin menangis.
“Mas, kenapa kesini, tolong pergi,” usir Talita menunduk.
“Kamu kenapa Sa?”
“Tidak apa-apa Mas, tolong pergi, aku mohon sebelum orang lain melihatmu, ini tidak benar, karena aku sudah jadi istri orang lain.”
“Tapi, katakan padaku kenapa kamu menangis?”
“Mas, dalam rumah tangga pasti ada masalah, tapi aku bisa mengatasinya sendiri, tolong tinggalkan aku.”
“Tidak, katakan padaku semuanya.”
“Mas, jangan seperti ini.”
Tidak ingin Emir dan keluarganya melihatnya bersama lelaki lain. Talita berdiri dan menghentikan taxi .
“Maaf Mas, aku harus pergi, aku tidak ingin menambah masalah, tolong jangan ganggu aku lagi.”
Wajah Talita sangat sendu dan matanya sembab, ia meninggalkan Dimas yang masih berdiri menatapnya pergi.
Ternyata dari jauh Emir melihat Dimas datang dan melihat kedua mantan kekasih itu saling mengobrol.
Melihat Talita menangis sedih, Dimas mengepal tangannya ia tidak terima wanita yang amat dicintai ia lihat menangis.
Padahal selama mereka menjalin hubungan selama lima tahun, Dimas tidak pernah membuat wanita cantik itu menangis.
Cintanya yang besar pada Talita membuatnya gelap mata.
Ia mendatangi kantor Emir datang ke markas polisi membuat keributan sama saja mencari masalah untuk diri sendiri.
Ia mendatangi ruangan Emir dan memberi lelaki berwajah dingin itu bogem mentah. Emir tidak mau diam, ia membalas memukul, wajah keduanya babak belur, takut mereka berdua saling menarik pistol masing -masing, para rekan polisi memisahkan keduanya.
Polisi, menahan Dimas dengan tuduhan menyerang petugas, karena terlalu mencintai Talita, ia harus merasakan dinginnya dinding penjara.
Saat sore tiba Emir pulang dengan wajah babak belur, karena Dimas menghajar dengan pukulan bertubi-tubi.
“Ada apa Mas?” tanya Talita .
“Dihajar kekasihmu.”
“Haaa …? a-a-apa yang terjadi” tanya Talita gugup.
“Kamu masih bertanya apa yang terjadi? Karena kamu datang ke rumah ini, apa kamu tidak tahu, setelah kamu datang ke rumah ini, banyak masalah yang terjadi, kamu pembawa masalah,” ujar Emir marah.
Talita diam, ia takut saat ia membuka mulut menjawab ucapan Emir lelaki itu akan semakin murka, ia memutuskan tidur di kamar si kembar.
Bersambung...
Pernikahan Dila dan DimasPersiapan pernikahan Dila dan Dimas dimulai dengan adat Minang yang kaya tradisi. Tahapan awal, yang disebut Meresek, dilakukan oleh keluarga besar kedua mempelai untuk membicarakan rencana pernikahan. Pada tahap ini, pihak keluarga saling berdiskusi mengenai tanggal, adat yang akan dijalankan, dan persiapan lainnya.Setelah itu, dilanjutkan dengan Menimang dan Batimbang, di mana orang tua memberikan nasihat dan doa restu kepada kedua mempelai. Suasana haru menyelimuti prosesi ini, karena kedua orang tua menyampaikan pesan penuh makna kepada anak-anak mereka yang akan memulai hidup baru.Tahapan berikutnya adalah Mananta Sirih, yaitu prosesi di mana keluarga calon pengantin pria datang menemui ninik mamak (tetua adat) dan keluarga besar calon pengantin wanita untuk menyampaikan maksud baik mereka. Pada prosesi ini, sirih menjadi simbol penghormatan dan persetujuan dari kedua belah pihak.Kemudian, Babako-Babaki menjadi tahap penting dalam adat pernikahan Mina
Beberapa minggu setelah pertemuan keluarga itu, hubungan Dila dan Dimas semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar berjalan-jalan di taman atau menikmati kopi di kafe kecil favorit Dila. Seiring berjalannya waktu, keduanya mulai menemukan kenyamanan satu sama lain.Suatu sore, Dimas dan Dila duduk di tepi danau, menikmati semilir angin yang menyejukkan. Dila menatap Dimas dengan lembut, lalu berkata, " Bang Dimas, aku tahu perjodohan ini mungkin terasa mendadak untukmu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin memaksakan apa pun. Aku hanya ingin kita jujur dengan perasaan masing-masing."Dimas tersenyum dan menggenggam tangan Dila dengan hangat. "Dila, awalnya aku memang ragu, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku merasa lebih nyaman dan percaya bahwa mungkin ini memang jalan yang terbaik. Aku ingin kita menjalaninya dengan hati yang lapang."“Dulu kamu tidak pernah melihatku sebagai wanita, dimatamu hanya ada Talita. Apa kamu yakin bisa melupakannya?”“Se
Talita dan Emir duduk berhadapan dengan Pak Brata di ruang tamu rumahnya yang luas dan elegan. Pria paruh baya itu menatap mereka dengan ekspresi penuh tanya, sementara secangkir teh hangat tersaji di hadapannya."Jadi, ada hal penting yang ingin kalian bicarakan, datang ke rumah saya Emir" tanya Pak Brata sambil menyilangkan tangan di dadanya.Talita tersenyum lembut, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Pak Brata, kami datang dengan niat baik. Kami ingin membicarakan tentang Dila dan Dimas. Kami merasa mereka berdua bisa menjadi pasangan yang cocok, dan kami ingin tahu pendapat Bapak tentang ini."Pak Brata mengangkat alisnya, tampak terkejut. "Dila dan Dimas?" Ia menghela napas pelan lalu tersenyum kecil. "Dila memang sudah lama mengagumi Dimas, dan laki-laki itu sudah menolak menikah dengan Dila. Saya tidak ingin memaksakannya lagi. Dimas sangat tergila-gila padamu Talita.”Emir menimpali dengan suara tenang, "Dimas sudah mulai menerima kenyataan. Kami yakin, jika diberi kesem
Pak Anto baru saja pulang dari perjalanannya ke luar kota ketika ia mendengar suara Dimas yang meninggi dari dalam rumah. Langkahnya terhenti di ambang pintu ruang keluarga, matanya yang tajam menangkap ekspresi penuh emosi dari anak sulungnya."Apa yang sedang terjadi di sini?" suaranya dalam dan berwibawa, memecah ketegangan di ruangan itu.Bu Yani terlonjak, sementara Farida menggigit bibir, gelisah. Dimas menoleh ke arah ayahnya, wajahnya masih dipenuhi kemarahan dan kekecewaan."Ayah, lebih baik Ayah duduk. Aku punya sesuatu yang harus Ayah dengar," kata Dimas dengan suara bergetar.Pak Anto mengerutkan dahi tetapi tetap berjalan menuju kursi dan duduk. Dimas menghela napas panjang sebelum menekan tombol di ponselnya, memutar rekaman suara yang baru saja membuat ibunya pucat pasi.Suara Ibu Irfan dan Bu Yani memenuhi ruangan. Kata-kata itu begitu jelas, begitu nyata, hingga tak ada ruang bagi penyangkalan. Rekaman itu berisi percakapan yang membuktikan bahwa Bu Yani berkomplot u
Dimas duduk termenung di kamar apartemennya. Kata-kata Emir terus terngiang di kepalanya. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya, wanita yang selalu ia hormati dan kasihi, tega melakukan hal-hal keji pada Talita. Namun, sebagai seorang tentara, ia tahu bahwa kebenaran harus diungkap. Ia tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata Emir. Ia harus mencari bukti.“Aku tidak yakin kalau Bunda melakukan seperti yang dituduhkan Emir,” ucap Dimas sembari bergumam. Tanganya sibuk mencari nama aku media sosial Ibunya dan Farida. Ia beberapa kali memasukkan kata kunci di pencarian banyak orang yang memiliki nama yang sama seperti Ibunya.“Yang mana akun Bunda,” ucapnya sesekali mengaruk kepalanya dengan kasar. Beberapa kali mencoba tidak menemukannya, ia memilih menghentikannya ia berniat bertanya pada kerabat yang berteman di media sosial dengan ibundanya. *Besok harinya ia pura-pura berkunjung ke tempat kerjaan adik sepupunya dan ia pura-pura meminjam ponsel ingin mencari teman di media
Setelah pertemuan yang tegang itu, Talita dan Emir mencoba kembali menata hidup mereka, meskipun ada beban yang masih menggantung. Namun, jauh di dalam hati mereka, baik Talita maupun Emir tahu bahwa Dimas belum selesai. Amarah yang membara di dalam diri Dimas belum surut.“Mas, Aku tidak melakukan kesalahan kan?” tanya Talita di saat mereka berdua menjelang tidur.“Tidak, kamu tidak salah Talita. Dimas hanya merasa kecewa, karena kita menikah tanpa memberitahunya.”“Ibu Yani yang tidak ingin melihatku Mas, dia sangat membenciku,” keluh Talita sambil mengusap-usap pipi Emir yang berbaring disampingnya.“Lupakan masala lalu dan mari kita menata masa depan. Kemarahan Dimas mungkin akan hilang seiring berjalannya waktu,” ujar Emir mengecup kening Talita dan meminta wanita itu untuk tidur.“Bagaimana kalau dia marah dan balas dendam Mas?” tanya Talita menghela nafas panjang.“Kita akan hadapi sayang, istirahatlah. Besok kita sudah mulai bekerja, liburan madu kita sudah habis.” Emir mem