Share

Putus Asa

Dengan putus asa Clarissa menyeret kakinya menuju dapur. Tak ada lagi harapan, masa depannya hancur tidak bersisa. Ia yang dari sejak lama sudah merasa sebatang kara, kini tak punya lagi sosok yang akan mendampingi dirinya. Bahkan Tuhan saja, seolah tak mau bersamanya.

Perempuan berambut sepunggung tersebut mengambil sebilah pisau yang terletak di kabinet dapur. Raut wajahnya terkesan datar, dan sorot matanya tampak kosong tak bercahaya.

Setetes cairan bening, jatuh membasahi pipinya, saat ia mulai mengarahkan pisau tersebut tepat ke lehernya. Mungkin, dengan mengakhiri hidupnya, semua masalah dan kesedihan yang tengah dia rasakan akan usai.

Perempuan cantik itu memejamkan matanya, bersiap untuk mati sekarang juga. Namun belum sempat itu terjadi, suara tangisan Sang bayi, menyentak kewarasan seorang Clarissa Andari.

PRAANG

"Ukh..." Pisau di tangannya terjatuh. Bibirnya terkatup rapat menahan suara isakan. Air mata Clarissa menetes semakin deras. Perempuan yang memiliki beberapa lebam di wajahnya tersebut langsung tersadar, jika tindakannya adalah sesuatu yang bodoh.

Clarissa menangis tersedu. Menyesali kebodohannya.

"Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku seperti ini?" Perempuan itu memukul-mukul kepalanya sendiri. Keputusasaannya seolah membutakan dirinya, membuat ia lupa jika masih ada Sang bayi yang jelas membutuhkan sosoknya.

Clarissa kemudian berdiri. Menghampiri anaknya yang menangis semakin kencang, menggendongnya dan memberikan pelukan hangat pada bayi mungil tersebut.

"Maafkan Ibu, sayang! Maafkan Ibu..." Ia menyesal. Ia sudah bertindak gegabah tadi. "Maafkan Ibu," ucap Clarissa di sela isaknya. Ia mengecup pipi dan kening Sang bayi sembari merapalkan kalimat yang sama berulang kali.

Jika ia mati dan menyerah begitu saja, lalu bagaimana dengan nasib anaknya? Siapa yang akan menjaga bayinya? Apa akan ada orang yang bisa menyayangi anaknya sebesar dia? Pasti dia juga akan sangat menderita kelak jika tidak ada keluarga yang mendukungnya? Sasa tidak mau, Sang anak mengalami hal yang menyedihkan sama seperti yang dia rasakan sekarang.

"Maafkan Ibu, karena sudah bertindak bodoh. Maafkan Ibu karena nyaris meninggalkan kamu sendirian... Maafkan Ibu..."

Dan malam itu, dilewati oleh Clarissa dengan tangis dan penyesalan. Dilalui perempuan itu dengan merenung dan berhenti untuk meratapi nasibnya.

Biarkan suaminya yang brengsek itu pergi, mungkin itu memang yang terbaik untuknya agar terhindar dari pria parasit seperti Anggara.

Ia harus mulai menata diri dan hati. Masih ada Sang anak yang jelas membutuhkannya. Masih ada hari esok yang bisa jadi lebih baik dibandingkan hari ini. Ia tidak boleh menyerah ataupun putus asa. Ia tahu dia bisa melalui semuanya seperti yang sudah-sudah. Ini hanya perkara waktu saja.

***

Keesokan paginya, dengan dandanan seadanya dan sambil menggendong anaknya, Sasa berangkat untuk mencari pekerjaan. Perempuan berkemeja putih yang sedikit lusuh itu tak punya pilihan, selain membawa anaknya untuk pergi bersamanya.

Namun karena hal itu pulalah, banyak perusahaan dan restoran tempat dia melamar pekerjaan, menolak CV yang dia berikan.

"Maaf ya, di tempat ini sedang tidak menerima lowongan pekerjaan."

"Sana! Cari tempat kerja lain saja, di sini sudah full!"

"Maaf ya, mending kamu urus saja bayi kamu! Daripada sibuk cari kerja!"

Sasa menghela nafas panjang. Perempuan yang kini duduk di halte bus itu tak tahu lagi harus mengirimkan CV-nya ke mana. Hampir setengah hari dia berkeliling, namun lamarannya selalu saja di tolak.

"Ya Tuhan, kenapa susah sekali mendapatkan pekerjaan jaman sekarang..." Ia bersandar di sandaran bangku, sambil menggunakan CV-nya untuk mengipasi Sang anak. Kakinya cukup pegal, tangan dan punggungnya juga, tapi dia tidak boleh menyerah dengan muda.

"Aku harus cari ke mana lagi? Tidak ada pekerjaan yang bisa sambil membawa bayi—" Ia menatap bayi mungilnya yang tertidur. Anaknya yang masih berusia dua bulan itu baru saja menyusu dan kembali terlelap.

Melihat wajah polos anaknya, entah kenapa air mata Clarissa mendadak berdesakan keluar.

Hatinya berdenyut nyeri, menyaksikan Sang bayi harus dia ajak berkeliling, terkena panas dan debu saat ia mencari pekerjaan. Harusnya bayi mungilnya berada di rumah sekarang ini, tidur dengan nyaman di ranjangnya agar bisa bergerak dengan leluasa. Namun desakan ekonomi membuat keduanya tak bisa berbuat banyak.

Lagi-lagi, hanya kata maaf yang bisa Clarissa sampaikan. Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan sesuatu yang layak bagi anaknya.

Perempuan cantik itu berdiri. Mungkin hari ini ia sudahi saja, niatnya berkeliling mencari pekerjaan. Ia tidak tega pada Sang anak yang harus terus kepanasan. Terlebih matahari sudah semakin meninggi di atas kepala.

***

"Wah-wah-wah... Lihat siapa yang sedang berjalan kaki ini—"

Clarissa yang sedang berjalan lirih menuju tempat tinggalnya, reflek menghentikan langkahnya saat sebuah suara terdengar menegurnya. Ia menatap ke arah sumber suara, dan menemukan sosok Anggara yang sedang tersenyum penuh cemooh di atas mobil sedan mewah milik kekasihnya.

Perempuan berkuncir satu di belakang tengkuk tersebut, melayangkan tatapan tajam ke arah Anggara, sosok yang kini menjadi musuh utama Clarissa.

"Darimana kamu? Panas-panasan begini?" Anggara memindai penampilan Clarissa dari atas sampai bawah. Dan ia sontak tersenyum miring, saat menyadari ke mana tujuan wanita itu. Apalagi setelah melihat CV di tangan kanan Sasa.

"Oh— Kamu baru saja mencari pekerjaan rupanya? Di mana? Apa sudah dapat?" tanya proa 25 tahun yang kini berpakaian lebih modis itu dengan raut meremehkan. "Kamu memang luar biasa, ya! Tidak gampang menyerah oleh keadaan..."

Sasa ingin sekali menampar wajah pria di depannya itu, sosok yang tengah berbahagia di atas penderitaannya. Namun ia berusaha menahan diri, bagaimana pun juga pria itu adalah orang tua dari bayinya.

Jadi, sebelum ia semakin naik pitam perempuan berkulit putih itu lebih memilih untuk pergi meninggalkan Anggara. Tidak mendengar ocehannya yang sangat tidak penting.

"Tunggu!" Tak rela melihat perempuan yang pernah dinikahi itu pergi begitu saja, membuat Anggara langsung menahannya. "Aku belum selesai bicara!"

Clarissa mengabaikannya, menulikan pendengarannya dan menganggap pria itu tidak ada. Namun bukannya menyerah pria berkulit Tan tersebut justru turun dari kendaraan yang ia naiki, lalu berjalan menghampiri Clarissa yang ada tak jauh di depannya.

Dengan sekali sentak, ia menarik pergelangan tangan Clarissa hingga membuat perempuan itu berbalik menatapnya.

"Ada apalagi?" tanya Clarissa dengan geram, "kamu belum puas menghinaku?"

Anggara tak langsung menjawab ia justru semakin merapatkan tubuhnya ke arah Sasa membuat perempuan 23 tahun yang sedang menggendong bayi tersebut mundur ke belakang karena ketakutan. Mendadak, ia merasa was-was dengan tatapan tajam seorang Anggara Wibisono.

Pria bermata musang tersebut merogoh kantung celananya, dan mengeluarkan sesuatu yang sontak membuat kedua bola mata Clarissa melebar sempurna.

"A-apa yang kamu lakukan?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status