Home / Romansa / Pesona Om Bule / Tukang Sedot WC

Share

Tukang Sedot WC

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-11-13 12:43:50

"Pokoknya kalo sampai gak diberesin, gue usir lo dari sini, ya!" ancamku ketika Imel sibuk memilih baju dari lemariku.

"Iya, Miranda. Janji nanti diberesin. Gue cari dulu baju yang sesuai sama muka gue. Baju-baju lo kemahalan semua di badan gue ini."

Aku memilih sibuk dengan ponsel dan memesan makanan via ojek online meski kata Imel, tetangga baru itu sudah mem-booking restoran termahal di kota ini untuk dinner bersama dengan seluruh penghuni apartemen.

Imel memilih gaun hitam selutut yang kubeli di Bali beberapa bulan lalu. Gaun itu sangat cocok di badan Imel yang pendek. Aku hanya pernah memakai gaun itu sekali karena terlalu pendek di tubuhku.

Imel memoles wajahnya di depan cermin besar. Bisa kulihat senyumnya yang lebar itu dari pantulan cermin. Aku geleng-geleng kepala, heran dengan tingkahnya yang tak biasa. Imel yang biasanya heboh mendadak berubah menjadi gadis anggun.

"Gue nggak nyangka ternyata baju mahal bisa bikin aura gue berkelas banget, Mir. Ternyata selama ini gue cantik, cuma kurang duit aja." Dia masih tak lepas dari cermin di depannya.

"Semoga sukses, deh, misi lo dapetin tu segar dady!" tegasku saat dia melangkah meninggalkan kamar. Imel sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya menghilang. Entah akan naik apa dia dengan gaun seperti itu, biar jadi urusan dia sendiri.

Aku memutuskan untuk turun dan mengambil makanan pesananku ketika driver ojek online telah sampai di lobi.

Baru membuka pintu, aku sudah berpapasan dengan tetangga baru yang langsung menyapaku. 

"Hei ... kamu tinggal di sini?" tanyanya.

Aku mengangguk, lantas berjalan menuju lift. Laki-laki berambut pirang yang kata Imel bernama Jo itu ikut masuk ke dalam lift dan kembali bertanya.

"Nama kamu siapa? Aku Jo."

"Mira."

"Nama yang cantik, secantik orangnya."

Aku sama sekali tak tersipu dengan kalimat basa-basi itu.

"Kamu kenapa pakai baju seperti ini? Apa kamu tidak tahu kalau malam ini aku mengajak seluruh penghuni apartemen untuk dinner?"

Aku mengembuskan napas, lalu memasang senyum palsu semanis mungkin.

"Sory, saya lagi banyak kerjaan jadi gak bisa ikut."

"Kenapa? Apa perlu aku buat jadwal dinner lagi agar kamu bisa ikut?"

"Gak perlu," kataku selembut mungkin, padahal aslinya aku kesal setengah hidup. 

Entah kenapa aura laki-laki ini nyebelin banget. Wajahnya itu lho ....

"Oh, iya. Apa aku boleh minta nomer hp kamu, Mir?"

Tuh, kan. Buaya darat detected!

"Biar kalo ada apa-apa gampang ngomongnya." Dia menyerahkan ponsel.

Beruntung setelahnya pintu lift terbuka. Aku jadi bisa menghindar dari laki-laki nyebelin itu dan pergi begitu saja.

**

Setelah membayar makanan kepada driver ojek online, aku buru-buru kembali ke kamar. Langkahku yang semula ringan menjadi terasa berat saat melihat sosok Jo berdiri di depan pintu kamarku. Ngapain dia di sana? Bukankah seharusnya dia dinner dengan seluruh penghuni apartemen?

"Permisi," kataku, memintanya sedikit bergeser agar aku bisa menempelkan cardlock. 

"Aku boleh minta nomer hp kamu, kan?" 

Aku menarik napas panjang, kemudian meraih ponsel yang dia angsurkan dan mengetik nomor dengan asal di sana. 

"Udah, kan? Saya masuk dulu." Aku segera masuk tanpa menunggu jawaban dari Jo. 

Ketika sampai di dalam, aku menggeplak kepalaku sendiri. Kenapa bersikap sejudes tadi? Bagaimana kalau dia tersinggung? Ah, terserahlah. Toh, bermanis-manis dengan seseorang membuatku merasa begitu kelelahan.

Aku memutar musik dari ponsel dan memilih untuk asyik dengan duniaku sendiri. Makanan pedas, musik k-pop, dan sendirian adalah self healing terbaik. Aku melanjutkan me time dengan menonton drama korea sambil menunggu kantuk datang.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi belum ada tanda-tanda Imel akan pulang. Aku segera mematikan ponsel dan menarik selimut untuk tidur.

Entah berapa lama aku tertidur, aku mengerjap ketika sayup-sayup mendengar suara ketukan pintu. Kulihat jam di ponsel, pukul 02.30 pagi. 

Aku bangkit dengan malas dan mengucek mata, memastikan pendengaranku tak keliru. Setelah yakin bahwa ketukan pintu tersebut dari Imel, aku bangkit dengan malas menuju pintu. 

"Dari mana aja lo?" tanyaku ketika melihat Imel sudah nyengir di depan pintu. Kupikir dia akan pulang ke kesannya sendiri.

Gadis yang berjalan dengan sempoyongan itu tiba-tiba membuatku geram karena tak menjawab pertanyaanku dan nyelonong masuk begitu saja.

"Lo kalo mabok jangan nginep di rumah gue! Pulang!" protesku.

"Gue gak mabok minuman, Mir. Gue pulang pergi diajak naik mobil orang kaya, tapi di mobilnya pake stela jeruk!"

Imel berlari sempoyongan ke kamar mandi dan muntah-muntah. Aku pikir dia mabok alkohol, ternyata mabok pengharum ruangan.

**

Gara-gara Imel mabok stela jeruk, aku jadi kurang tidur. Semalam dia muntah-muntah dan minta dikerok punggungnya menggunakan balsem dan uang logam. Katanya itu kebiasaan dia di kampung saat sakit. Aku yang amatiran melakukan itu, bukannya membuat Imel sembuh malah bikin runyam karena kebanyakan ngoles balsem. Yang harusnya bisa tidur nyenyak setelah dikerok punggungnya, Imel malah ngomel-ngomel karena punggungnya terasa panas.

Untuk mengurangi rasa panas di punggungnya, aku memberi ide agar Imel mandi saja dan dia menurut. Tapi, bukannya mereda, Imel malah terserang flu karena mandi pakai air dingin pagi buta.

Efeknya pagi ini Imel tidak bisa ke kampus padahal kami ada kelas pagi. Yaa ... dengan terpaksa aku mengizinkan Imel nginep lagi di apartemenku hari ini karena kondisinya yang kurang prima. Lagi pula karena saran sesatku, Imel jadi tambah buruk kondisinya.

Hari ini aku juga harus datang interview ke salah satu perusahaan industri terbesar di Jakarta. Aku bertekad untuk menyelesaikan S2 menggunakan hasil jerih payahku sendiri meski mami kurang setuju. Mami bilang masih sanggup membiayai semua kebutuhanku selama masih kuliah, tapi aku tidak mau terus menerus bergantung kepada orang tua. 

Aku meraih kunci motor Imel dan memasang headset di telinga, berjalan tergesa-gesa menuju lift saat melihat benda itu sudah hampir tertutup. Kulepaskan headset dari telinga dan sibuk memasukkan benda itu ke dalam ransel.

Di dalam lift, aku kembali bertemu dengan Jo. Awalnya aku bersikap biasa saja, tapi karena dia terlalu berisik, aku jadi tidak nyaman dibuatnya.

"Nomor yang semalam bukan nomormu, ya?"

Aku yang ketahuan berbohong hanya bisa nyengir kuda. 

"Waktu aku telepon yang jawab malah laki-laki tua, katanya tukang sedot WC."

Aku meyemburkan tawa karena tak bisa menahannya. Namun, setelahnya aku memilih menutup mulut dan minta maaf sambil menundukkan kepala. Padahal aku hanya ngasal, tapi kenapa bisa pas sama nomor tukang sedot WC, ya?

"Maaf, ya, Om. Saya emang kadang random."

Laki-laki bertubuh jangkung itu bersedekap dada dan menatapku tajam. Tubuhnya yang semula tegap ke depan seketika miring dan lebih condong kepadaku.

"Kamu panggil apa? Om?"

"Emang harusnya gimana, Pak?"

Tatapan Jo makin mengintimidasi, padahal kesalahanku tak sefatal itu. Aku hanya bisa menelan ludah dengan berat dan membuang muka. Untung saja pintu lift segera terbuka dan aku bisa segera lari dari hadapannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dede Rifky
awas jatuh cinta ya mira
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Om Bule   Part 30

    "Morning, Dear!" "Morning, Miss!"Aku masih mengucek mata saat membuka pintu apartemen. Joshua dan Joseph sudah tampak rapi dengan kemeja dan ... kue di tangan mereka. "Happy birthday, Miss!" Aku menekuk lutut, menjajarkan tinggi badan dengan Joseph sambil tertawa."Tapi, hari ini Miss Mira nggak ulang tahun," kataku."Daddy bohong, ya!" Joseph langsung melotot pada daddy-nya, begitu juga denganku.Sementara laki-laki yang sedang dalam pusat perhatian itu malah tertawa."Prank!' katanya.Aku tertawa ketika melihat Joseph berlari mengejar Joshua. Kubawa dua potong kue tadi ke atas meja dan memotongnya. Kupanggil dua manusia kembar beda usia itu ke meja makan dan menikmati potongan kue red velvet dengan toping buah strawberry diatasnya.Aku selesai lebih dulu dan pergi mandi, berganti baju, dan juga berdandan. Dua laki-laki yang duduk di sofa menungguku itu tampak asyik dan saling bercanda. Setelah siap, aku pun menemui mereka."Are you ready?" tanyaku."Yes, i'am ready!" Joseph ber

  • Pesona Om Bule   Part 29

    "Feeling gue mafia sebenernya tu malah Bastian, deh, Mel.""Sepemikiran!""Tapi, dia cuci tangan. Membuat orang lain terlihat seperti tokoh jahat untuk menutupi kejahatannya.""Sepakat!""Kasihan, ya, Bianca."Kali ini Imel menjawab. "Gak sepakat buat yang ini. Kasihan dari mana? Salah dia sendiri, kok, mau-maunya.'"Dia terpaksa kali, Mel.""Terpaksa karena duitnya.""Bisa jadi.""Lo tahu nggak, Mel? Bianca bilang setelah menikah bakal pindah ke Singapore. Dia bakal tinggal di sana sama Bastian dan Joseph.""Baguslah. Kalo mereka beneran ke Singapore kayaknya gue nggak bakal jadi babunya Bianca lagi.""Kalo bener Bianca keguguran karena ide dari Bastian, gue harus cari cara biar hak asuh Joseph turun ke tangan Joshua secepatnya. Gue takut Joseph kenapa-kenapa.""Kan, udah gue bilang Pak Bastian tu nggak suka anak-anak. Istrinya aja yang punya satu anak langsung diselingkuhin, diceraiin.""Ngeri juga, ya."Aku dan imel menunggu operasi sambil makan kuaci. Mataku sudah hampir terpejam

  • Pesona Om Bule   Part 28

    Aku masih mematung di tempat karena tidak tahu harus berbuat apa. Kalau aku pulang sekarang, Joseph masih harus minum obat satu kali lagi. Aku takut Bianca tak peduli dan Joseph tidak minum obat malam ini. Sebaiknya aku tunggu saja jam minum obatnya kemudian pulang.Aku ikut duduk di sofa, sedikit berjarak dengan Bianca. Namun, bisa kulihat dengan jelas bahwa wajah Bianca pucat dan kelihatan gelisah. Apa yang terjadi dengannya?"Bu, wajah ibu pucat sekali. Apa ibu sakit?" tanyaku.Bianca hanya menggeleng, tapi tangan kirinya memegang perut. Aku membelalak. Jangan-jangan?"Bu, sebaiknya kita pergi ke dokter. Saya takut Bu Bianca kenapa-kenapa."Aku mencoba mendekat, tapi Bianca menepis tanganku. "Tolong ambilkan air hangat dan obat saya di mobil."Aku mengangguk dan bergerak cepat. Bertambah lagi beban di kepalaku. Bukan hanya Joseph, tapi Bianca juga sakit sekarang. Lantas apa yang harus aku lakukan?Bianca merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih menempel diatas perut dan m

  • Pesona Om Bule   Part 27

    Aku masih mengeratkan pelukan sambil menatap pada pintu. Entah apa yang mereka bicarakan diluar, aku sangat penasaran dengan keputusan yang akan mereka ambil. Tak terasa isak tangis Joseph sudah tak terdengar, saat kulihat ternyata dia tertidur di pelukanku. Mungkin dia terlalu lelah karena menangis cukup lama.Aku meraih ponsel dan menelepon Imel, berharap dia tidak sedang dalam perjalanan. Namun, sepertinya Imel memang belum sampai di kosan karena panggilanku tidak dijawab olehnya. Kulihat lagi undangan pernikahan Bastian dan Bianca yang Imel kirim beberapa hari yang lalu, acara akan diselenggarakan tepat satu bulan lagi, pantas saja Bianca tak begitu peduli dengan Joseph dan sibuk pulang-pergi.Apakah ini bisa menjadi bukti di persidangan nanti? Jika Bianca terbukti akan menikah lagi, apakah peluang Joshua mengambil alih hak asuh Joseph akan menjadi lebih banyak?Joshua masuk dengan wajah tegang, sementara Bianca entah kemana. Dia duduk di sofa sambil mengusap wajahnya. Pelan-pelan

  • Pesona Om Bule   Part 26

    Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan

  • Pesona Om Bule   Part 25

    Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status