"Pokoknya kalo sampai gak diberesin, gue usir lo dari sini, ya!" ancamku ketika Imel sibuk memilih baju dari lemariku.
"Iya, Miranda. Janji nanti diberesin. Gue cari dulu baju yang sesuai sama muka gue. Baju-baju lo kemahalan semua di badan gue ini."Aku memilih sibuk dengan ponsel dan memesan makanan via ojek online meski kata Imel, tetangga baru itu sudah mem-booking restoran termahal di kota ini untuk dinner bersama dengan seluruh penghuni apartemen.Imel memilih gaun hitam selutut yang kubeli di Bali beberapa bulan lalu. Gaun itu sangat cocok di badan Imel yang pendek. Aku hanya pernah memakai gaun itu sekali karena terlalu pendek di tubuhku.Imel memoles wajahnya di depan cermin besar. Bisa kulihat senyumnya yang lebar itu dari pantulan cermin. Aku geleng-geleng kepala, heran dengan tingkahnya yang tak biasa. Imel yang biasanya heboh mendadak berubah menjadi gadis anggun."Gue nggak nyangka ternyata baju mahal bisa bikin aura gue berkelas banget, Mir. Ternyata selama ini gue cantik, cuma kurang duit aja." Dia masih tak lepas dari cermin di depannya."Semoga sukses, deh, misi lo dapetin tu segar dady!" tegasku saat dia melangkah meninggalkan kamar. Imel sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya menghilang. Entah akan naik apa dia dengan gaun seperti itu, biar jadi urusan dia sendiri.Aku memutuskan untuk turun dan mengambil makanan pesananku ketika driver ojek online telah sampai di lobi.Baru membuka pintu, aku sudah berpapasan dengan tetangga baru yang langsung menyapaku. "Hei ... kamu tinggal di sini?" tanyanya.Aku mengangguk, lantas berjalan menuju lift. Laki-laki berambut pirang yang kata Imel bernama Jo itu ikut masuk ke dalam lift dan kembali bertanya."Nama kamu siapa? Aku Jo.""Mira.""Nama yang cantik, secantik orangnya."Aku sama sekali tak tersipu dengan kalimat basa-basi itu."Kamu kenapa pakai baju seperti ini? Apa kamu tidak tahu kalau malam ini aku mengajak seluruh penghuni apartemen untuk dinner?"Aku mengembuskan napas, lalu memasang senyum palsu semanis mungkin."Sory, saya lagi banyak kerjaan jadi gak bisa ikut.""Kenapa? Apa perlu aku buat jadwal dinner lagi agar kamu bisa ikut?""Gak perlu," kataku selembut mungkin, padahal aslinya aku kesal setengah hidup. Entah kenapa aura laki-laki ini nyebelin banget. Wajahnya itu lho ...."Oh, iya. Apa aku boleh minta nomer hp kamu, Mir?"Tuh, kan. Buaya darat detected!"Biar kalo ada apa-apa gampang ngomongnya." Dia menyerahkan ponsel.Beruntung setelahnya pintu lift terbuka. Aku jadi bisa menghindar dari laki-laki nyebelin itu dan pergi begitu saja.**Setelah membayar makanan kepada driver ojek online, aku buru-buru kembali ke kamar. Langkahku yang semula ringan menjadi terasa berat saat melihat sosok Jo berdiri di depan pintu kamarku. Ngapain dia di sana? Bukankah seharusnya dia dinner dengan seluruh penghuni apartemen?"Permisi," kataku, memintanya sedikit bergeser agar aku bisa menempelkan cardlock. "Aku boleh minta nomer hp kamu, kan?" Aku menarik napas panjang, kemudian meraih ponsel yang dia angsurkan dan mengetik nomor dengan asal di sana. "Udah, kan? Saya masuk dulu." Aku segera masuk tanpa menunggu jawaban dari Jo. Ketika sampai di dalam, aku menggeplak kepalaku sendiri. Kenapa bersikap sejudes tadi? Bagaimana kalau dia tersinggung? Ah, terserahlah. Toh, bermanis-manis dengan seseorang membuatku merasa begitu kelelahan.Aku memutar musik dari ponsel dan memilih untuk asyik dengan duniaku sendiri. Makanan pedas, musik k-pop, dan sendirian adalah self healing terbaik. Aku melanjutkan me time dengan menonton drama korea sambil menunggu kantuk datang.Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi belum ada tanda-tanda Imel akan pulang. Aku segera mematikan ponsel dan menarik selimut untuk tidur.Entah berapa lama aku tertidur, aku mengerjap ketika sayup-sayup mendengar suara ketukan pintu. Kulihat jam di ponsel, pukul 02.30 pagi. Aku bangkit dengan malas dan mengucek mata, memastikan pendengaranku tak keliru. Setelah yakin bahwa ketukan pintu tersebut dari Imel, aku bangkit dengan malas menuju pintu. "Dari mana aja lo?" tanyaku ketika melihat Imel sudah nyengir di depan pintu. Kupikir dia akan pulang ke kesannya sendiri.Gadis yang berjalan dengan sempoyongan itu tiba-tiba membuatku geram karena tak menjawab pertanyaanku dan nyelonong masuk begitu saja."Lo kalo mabok jangan nginep di rumah gue! Pulang!" protesku."Gue gak mabok minuman, Mir. Gue pulang pergi diajak naik mobil orang kaya, tapi di mobilnya pake stela jeruk!"Imel berlari sempoyongan ke kamar mandi dan muntah-muntah. Aku pikir dia mabok alkohol, ternyata mabok pengharum ruangan.**Gara-gara Imel mabok stela jeruk, aku jadi kurang tidur. Semalam dia muntah-muntah dan minta dikerok punggungnya menggunakan balsem dan uang logam. Katanya itu kebiasaan dia di kampung saat sakit. Aku yang amatiran melakukan itu, bukannya membuat Imel sembuh malah bikin runyam karena kebanyakan ngoles balsem. Yang harusnya bisa tidur nyenyak setelah dikerok punggungnya, Imel malah ngomel-ngomel karena punggungnya terasa panas.Untuk mengurangi rasa panas di punggungnya, aku memberi ide agar Imel mandi saja dan dia menurut. Tapi, bukannya mereda, Imel malah terserang flu karena mandi pakai air dingin pagi buta.Efeknya pagi ini Imel tidak bisa ke kampus padahal kami ada kelas pagi. Yaa ... dengan terpaksa aku mengizinkan Imel nginep lagi di apartemenku hari ini karena kondisinya yang kurang prima. Lagi pula karena saran sesatku, Imel jadi tambah buruk kondisinya.Hari ini aku juga harus datang interview ke salah satu perusahaan industri terbesar di Jakarta. Aku bertekad untuk menyelesaikan S2 menggunakan hasil jerih payahku sendiri meski mami kurang setuju. Mami bilang masih sanggup membiayai semua kebutuhanku selama masih kuliah, tapi aku tidak mau terus menerus bergantung kepada orang tua. Aku meraih kunci motor Imel dan memasang headset di telinga, berjalan tergesa-gesa menuju lift saat melihat benda itu sudah hampir tertutup. Kulepaskan headset dari telinga dan sibuk memasukkan benda itu ke dalam ransel.Di dalam lift, aku kembali bertemu dengan Jo. Awalnya aku bersikap biasa saja, tapi karena dia terlalu berisik, aku jadi tidak nyaman dibuatnya."Nomor yang semalam bukan nomormu, ya?"Aku yang ketahuan berbohong hanya bisa nyengir kuda. "Waktu aku telepon yang jawab malah laki-laki tua, katanya tukang sedot WC."Aku meyemburkan tawa karena tak bisa menahannya. Namun, setelahnya aku memilih menutup mulut dan minta maaf sambil menundukkan kepala. Padahal aku hanya ngasal, tapi kenapa bisa pas sama nomor tukang sedot WC, ya?"Maaf, ya, Om. Saya emang kadang random."Laki-laki bertubuh jangkung itu bersedekap dada dan menatapku tajam. Tubuhnya yang semula tegap ke depan seketika miring dan lebih condong kepadaku."Kamu panggil apa? Om?""Emang harusnya gimana, Pak?"Tatapan Jo makin mengintimidasi, padahal kesalahanku tak sefatal itu. Aku hanya bisa menelan ludah dengan berat dan membuang muka. Untung saja pintu lift segera terbuka dan aku bisa segera lari dari hadapannya."Mi, aku butuh mobil."Aku mengirim pesan kepada Mami saat tiba di kantor perusahaan. Jantungku masih berdebar meski sesi interview telah berakhir. Aku tinggal menunggu pesan dari perusahaan untuk mengetahui apakah hasilnya diterima atau tidak.Sudah lama mami ingin membelikan mobil baru, tapi kutolak karena selama ini belum butuh dan memilih naik taksi online. Namun, karena aku memutuskan untuk bekerja, otomatis aku akan membutuhkan kendaraan roda empat itu sekarang. "Nanti mami urus, Kak. Mami masih sibuk."Aku tak menanggapi pesan Mami. Keputusanku untuk tinggal di apartemen awalnya memang tidak disetujui oleh Mami, tapi tinggal di rumah justru membuatku merasa begitu muak. Papi dan mami yang sama-sama sibuk dengan pekerjaannya membuat mereka jarang di rumah. Aku suka sendiri, tapi aku tidak suka sepi. Saat keduanya di rumah, bukan keharmonisan yang terasa, tapi hanya suara-suara membosankan. Mereka saling adu mulut, mendebatkan apa saja.Aku bosan dengan kehidupanku dan memutuska
Aku melompat-lompat kegirangan saat mendapat pesan dari HRD perusahaan. Akhirnya setelah dua hari menunggu keputusan, aku dinyatakan diterima bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Aku segera menelepon Imel dan memberi tahu kabar bahagia ini kepadanya. Bukannya ikut bahagia, Imel malah mengejek."Duit lo mau dikemanain, sih, Mir? Ngapain capek-capek kerja? Lo bukannya tinggal minta aja sama nyokap lo, urusan beres." Imel ngakak."Gabut doang, Mel. Daripada gue tidur mulu di apartemen, mending kerja, kan?""Tukeran jiwa aja kita, Mir. Gue yang capek kerja maunya tidur di rumah doang gak bisa, lo malah gabutnya pengen kerja. Gak habis pikri gue.""Lo bukannya ngedukung malah bikin gue kesel aja, Mel. Dah, ah, kalo gitu gue gak jadi ngajak lo makan di restoran.""E-eh, tunggu, Mir. Ya, kalo tahu bakal ditraktir gue gak bakal ngomel kali. Sharelok!"Aku mendengkus, lalu mematikan panggilan dan mengajak imel bertemu di kafe galaksi. Kafe itu sedang viral di dunia maya s
"Ganteng banget," kata Imel sambil geleng-geleng kepala. "Dih, ganteng dari sebelah mana?""Mata lo minus berapa, sih, Mir?"Aku tak menanggapi dan memilih fokus pada layar ponsel. Namun, tiba-tiba saja Imel berdiri dan berteriak."Kak Jo ... sini gabung sama kita!"Aku sontak menarik tangan Imel dan melotot tajam. Maksudnya apa, coba?Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Jo berjalan dengan santainya menuju meja kami dan langsung duduk berhadapan denganku."Kalian udah lama?" tanya Jo."Udah dari tadi, tapi kalo disuruh nemenin Kak Jo dulu gak papa, kok."Kak Jo? Aku jijik dengan panggilan Imel itu. Dia rabun atau gimana? Bapak-bapak, kok, dipanggil kakak?"Panggil Jo aja biar lebih akrab," kata laki-laki sipit itu. Mungkin dia juga jijik sama panggilan yang Imel berikan."Hai, Mir." Dia tersenyum menatapku. Aku ikut tersenyum sedetik, lalu fokus dengan ponsel lagi."Oh, iya, Jo. Lo dapat nomor Mira dari siapa? Dia penasaran banget sampai nuduh gue yang ngasih nomer dia ke lo."Ak
Aku kalau ketemu sekali dua kali memang masih berusaha seramah mungkin dengan menampilkan senyum palsu yang menawan, tapi kalau terus-terusan, ya gimana, ya? Gak bisa aku tu kalau pura-pura terlalu lama. Mau enggak mau harus menunjukkan sifat aslinya juga."Makan lagi aja, gak papa."Mau selapar apa pun kalau makannya sambil dilihatin begini enggak bakal ketelen. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti makan sekalian."Kenapa? Kok, gak jadi makan?""Udah kenyang."Dia manggut-manggut, lalu menyandarkan punggungnya di kursi."Kamu beda dari cewek-cewek yang aku temui sebelumnya. Biasanya mereka yang deketin aku, tapi kamu enggak. Emangnya aku kurang menarik, ya, di mata kamu?"Please, aku paling enggak suka ditanyain hal begini. Kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan laki-laki model begini?"Bukan gak menarik, tapi emang bukan seleranya aja mungkin," jawabku."Jadi, aku bukan selera kamu?"Aku meringis, "Iya mungkin.""Emang selera kamu yang gimana?"Aku mengatur napas. Melelahkan sekali
"Dia selalu merasa layak dibahagiakan, tanpa peduli apakah orang di sekelilingnya bahagia atau tidak."Jo menjeda sejenak, kemudian kembali bicara."Dia tidak peduli bagaimana prosesnya, tapi dia selalu ingin melihat hasilnya. Bahkan di usia orang tuanya yang sudah tidak lagi muda, dia tetap saja manja. Bukan dia yang berusaha membahagiakan orang tua, tapi orang tua harus selalu berkorban untuk dia."Jo kembali diam saat pramusaji datang mengantarkan pesanan kami."Pacar kamu, ya?" tanyaku.Jo menyeruput kuah sop iga yang masih mengepulkan asap itu sambil tertawa kecil."Kamu sendiri, sudah kenal dengan laki-laki seperti apa sebelumnya?"Aku menggeleng. "Belum pernah."Jo meletakkan sendok yang dipegangnya, kemudian menatapku intens."Really? Why? Apa karena seleramu tinggi?"Aku hanya menarik ujung bibir dan mulai menyuap.Kami makan dalam diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ponsel Jo berbunyi. Dia sedikit menjauh saat menerima telepon yang entah dari siapa. Saat kembali ke meja
"Obat capek gue tuh jalan sama jajan. Selama gue bisa jalan-jalan sambil jajan, artinya gue gak akan capek. Kalo gue pengen jalan sama jajan artinya gue harus punya uang, harus kerja. Kan, gitu konsepnya."Imel masih saja ngoceh meski di mulutnya penuh dengan makanan. Aku kadang heran, kok, ada aja yang diceritain sama dia? Kayak gak pernah kehabisan ide buat ngomong, gitu loh."Lo gak mau pacaran lagi, Mel?" tanyaku. Setelah putus dari pacarnya setahun lalu, aku belum melihat Imel punya teman laki-laki baru."Capek gue, Mir. Ntar kalo dah waktunya juga dateng sendiri. Di umur segini tuh butuhnya cuma uang, uang, uang. Kalo pacar baru gue bisa ngasih uang, ya bisa kali dipikirin lagi."Bener-bener konyol. Aku jadi teringat sesuatu."Mungkin itu yang mami gue pikirin makanya gak pernah punya waktu buat gue ya, Mel. Bagi Mami, uang tuh sumber kebahagiaan.""Ya, bener. Tanpa uang, kita bakal kesurupan.""Mana ada?""Iyalah. Kan, kebanyakan bengong meratapi hidup." Imel ketawa. Sialan!**
Sarapan pagiku kali ini berupa curhatan dari Imel. Dia menelepon sejak jam lima pagi tadi dan ngoceh seperti burung. Seperti biasa aku hanya meletakkan ponsel dan mendengar ocehannya sambil mondar-mandir menyiapkan sarapan."Lo tahu, gak?! Masa bos gue tu mau nikah lagi, mana calon istri keduanya tuh, ya, baweeeel banget! Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngomel. Gak seru banget. Kalo gue jadi istri pertamanya udah gue racun tu calon madu. Sumpah, nyebelin banget orangnya!"Imel memang kadang suka enggak sadar diri. Dia sendiri bawel, tapi kalau ada orang yang bawel ke dia, dia ngereog. Pantas saja dia awet bersahabat denganku karena aku orangnya alim. Uhuk. "Asal lo tahu aja, ya. Masa cuma gara-gara pendapatan kemarin kurang cepek aja tu cewek jam empat pagi udah ngomelin gue. Baru jadi calon istri bos aja udah kayak mak lampir, gak kebayang gue kalo mereka beneran nikah!""Udah, sabar. Gue aja selama ini sabar ngadepin kebawelan lo yang brutal itu," kataku, berusaha menenangkan."Sial
"Gimana? Udah baikan?"Untuk pertama kalinya aku menjawab telepon dari Jo. Mulanya aku sedikit ragu, tapi karena aku merasa harus berterima kasih, aku pun menggeser tombol hijau di layar ponsel. "Udah. BTW, makanannya enak. Makasih, ya.""Kamu suka?""Suka. Apalagi es strawberry-nya."Aku mendengar dia tertawa. "Nanti malam mau makan bareng enggak? Sekalian ngobrol."Aku diam beberapa saat. Biasanya saat suasana hati sedang kacau, aku memilih untuk berdiam diri di kamar hingga berhari-hari. Namun, sepertinya kali ini aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Jo saja. "Boleh. Di mana?""Nanti aku jemput.""Eh, enggak usah. Aku bisa berangkat sendiri.""Aku tahu, tapi emangnya enggak boleh, ya, kalo aku pengen semobil sama kamu?""Bo-leh, sih.""Nah, sip! Nanti aku kabarin lagi, ya. Aku kerja dulu."Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar begini? Argh, sial! Aku kenapa, sih? Padahal jelas-jelas Joshua itu bukan tipeku. Aku bener-bener pemilih waktu deket sama cowok sebelumnya, tapi kenap