"Lihat, Mir, ada bule!"
Sontak saja es krim yang kupegang terlepas dari tangan karena tabokan super Imel. Sahabatku ini memang latah kalau ada cowok ganteng. Tapi, kali ini aku kurang sigap dengan serangan mendadak Imel. Akibatnya es krim yang baru dijilat sekali itu terjun ke trotoar."Ganteng banget, Mir. Kali ini gue yakin banget kalo jodoh gue nanti bakal seganteng itu."Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Imel yang sontak memutar tubuhnya saat bule yang dia maksud memilih untuk duduk tak jauh di belakang kami."Bukan bule itu, Mel. Ngapain coba bule jam segini nongkrong di taman? Cuma rambutnya doang itu yang disemir biar dibilang bule," terangku."Beda kali, Mir. Wajahnya blasteran gitu."Aku enggan menanggapi ocehan Imel. Toh aku tak begitu tertarik dengan bule. Ngomongnya pasti belibet karena kurang lancar berbahasa Indonesia. Aku lebih tertarik sama cowok lokal seperti Jefri Nichol.Imel mulai ngereog. Kadang nyender ke bahuku, kadang berdiri, kadang kayang. Efek sampingnya gak main-main. Aku harus bertindak sebelum dibuat malu sama tingkah Imel. "Ayo, pulang sebelum kejadian!"Aku menarik tangan Imel menuju parkiran. Bukan sekali dua kali Imel melakukan sesuatu di luar prediksi BMKG saat ketemu cowok ganteng. Terakhir ketemu cowok ganteng di parkiran mall, dia langsung lari dan minta nomor w******p cowok itu. Parahnya tuh cowok lagi gandengan sama pacarnya. Malu setengah hidup aku dibuatnya!Kali ini aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Segera kuajak dia pulang menggunakan motor matic kesayangan Imel, meski setiap hari dia ngomel-ngomel. "Lo mah orang kaya tapi pelit! Perhitungan! Bukannya minta mobil ma orang tua, malah nebeng terus sama gue! Harusnya yang nebeng tu gue!"Tuh, kan, dia mulai lagi. Seperti biasa, aku pura-pura tidak dengar dan langsung tancap gas menuju apartemen.Sahabatku memang cerewet bukan main, tapi bukankah katanya seorang introvert sepertiku sangat cocok bersahabat dengan orang ekstrovert seperti Imel?Setibanya di apartemen, aku segera menempelkan cardlock pada kotak sensor dan menekan handle. Imel langsung berlari ke kamar mandi saat pintu terbuka, sementara aku memilih untuk rebahan di sofa."Gue boleh nginep lagi ya, Mir," kata Imel saat keluar dari kamar mandi."Gak!"Imel langsung bersimpuh di dekat lututku."Please! Semalem doang, gue janji. Besok gue pulang, serius!"Imel menangkupkan kedua tangannya.Aku mengibaskan tangan sambil bilang, "terserah lo, deh, Mel!"Gadis itu langsung berjingkrak dan mendaratkan pinggulnya di sofa. Sembari mengotak-atik ponselnya, dia mendesah karena bulan ini orang tuanya tak kirim uang untuk membayar sewa kosnya."Lo, mah, enak jadi anak orang kaya. Tinggal di apartemen mewah, gak pusing mikirin gimana bayar kos, gimana mau makan, gimana mau nongkrong. Semua udah ada yang ngatur, lah, gue?"Aku hanya bisa memutar bola mata dengan malas saat mendengar ocehan Imel. Sudah hal biasa. Dia akan mengucapkan kalimat sakti itu setiap bulan saat dia tak punya uang. Yang kulakukan hanya pura-pura tak mendengar, hingga dia memilih untuk diam."Lo bayarin aja, deh, motor gue, Mir. Sepuluh juta aja."Aku sontak membelalak. "Motor satu-satunya kenapa mau dijual? Ntar lo mau naik apaan?""Ya ntar gue nebeng lo tiap hari." Imel ketawa."Gak mau. Ntar yang ada lo kesusahan tiap mau pulang. Rumah lo, kan, jauh."Imel mendesah lagi. "Iya, sih. Tapi, gajian masih lama. Gue juga udah gak pegang duit lagi. Terus kosan gimana?"Aku berdecak. Kemudian mengeluarkan pecahan uang satu juta dari dompet dan menyerahkan uang itu kepada Imel."Ngutang, ya, ini. Abis gajian gue ambil, bunganya lima puluh persen!""Riba!"Imel menerima sepuluh lembar uang berwarna merah itu dengan mata berbinar. "Lo emang sahabat pengertian. Belum juga minjem, udah dikasih aja. Tengkyu, ya, Mir. Gue janji abis gajian nanti balik."Aku meninggalkan Imel sendirian dan masuk ke kamar. Sebelum mandi, aku bermain ponsel sebentar dan membalas pesan singkat dari mami."Kak, uang bulanan udah mami transfer."Aku membalas dengan ucapan terima kasih, lalu pergi mandi.**Aku terhuyung ketika tiba-tiba saja Imel berlari menujuku dengan begitu histeris. "Mir, lo harus lihat! Lo harus lihat!" Imel menarik tanganku dengan sangat buru-buru. Aku yang baru selesai mandi sontak menepis tangannya dan memilih duduk di sofa."Mir, ada tetangga baru yang tinggal di depan apartemen lo!" ucap Imel."Biarin aja, sih. Kenapa emang?""Lo harus lihat dulu siapa orangnya?!"Imel menarik tanganku, memaksaku berdiri dan mendorong tubuhku agar mau berjalan menuju pintu.Aku membuka pintu tak lebar, untuk memastikan siapa orang yang membuat Imel tiba-tiba ngereog seperti ini. Mataku membulat sempurna saat mengetahui pria berambut pirang yang kami lihat di taman tadi sudah berdiri di depan pintu apartemen yang sempat kosong tiga bulan.Aku segera menutup dan mengunci pintu. Ini bukan pertanda baik! "Kayaknya emang beneran jodoh gue, deh, Mir." Imel berbicara dengan penuh percaya diri."Gila lo! Lo lihat aja tu mukanya udah bapak-bapak, pasti udah punya istri dan anak.""Gak bisa, pokoknya kalo dia udah punya istri, gue harus jadi istri simpanan dia!""Dih! Gak waras lo, Mel! Udah, ah. Capek gue mau tidur."Imel masih senyum-senyum tak jelas seperti orang tidak waras di sofa. Kadang ketawa sambil berguling ke kiri dan ke kanan. Aku mulai takut, asli!"Kayaknya gue bakal lebih sering nginep di sini, deh, Mir."Nah, kan, yang aku takutkan pun akhirnya kejadian. Ya, meski kita sahabatan, gak perlu jugalah sampai sering nginep di sini. Imel itu berisik, aku pusing denger suaranya yang cempreng itu kalau ketemu full dua puluh empat jam."Gue rela jadi babu lo, Mir. Sumpah. Yang penting lo ngizinin gue sering nginep di sini biar bisa mepetin bule pirang itu. Hidup gue bakal sejahtera kalo bisa nikah sama dia."Aku bergidik ngeri mendengar omongan Imel yang makin ke sini makin ke sana. Bisa-bisanya dia punya keinginan sebrutal itu?Sebuah ketukan pintu membuat Imel seketika berdiri dan merapikan rambutnya. Aku menautkan alis ketika Imel berlari dan membuka pintu dengan wajah merah merona.Aku tak begitu penasaran dengan siapa yang datang dan memilih untuk menggulir layar ponsel."Miiiir!" Imel menujuku dengan satu tangan yang memegangi dada."Dia ngajak kenalan!""Hah?" "Dia ngajak kenalan, namanya Joshua! Aaaa ... dia tahu gue hidup, Mir. Dia tahu gue hidup!"Aku masih tak percaya. Untuk apa orang baru itu ngajak kenalan?"Oh, iya. Dia ngajak semua penghuni apartemen ini buat dinner nanti malem, Mir. Katanya untuk merayakan kepindahan dia di apartemen ini."Aku menggeleng dengan cepat. Aku tidak suka melakukan hal-hal tidak penting seperti berkumpul dengan orang-orang asing seperti itu."Lo aja yang berangkat!" suruhku kepada Imel."Lo emang peka banget sama perasaan gue, Mir. Karena lo yang nyuruh, gue siap berangkat!" Imel menggenggam tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi seolah-olah sedang diberi perintah oleh seorang atasan. Terserah. Aku sama sekali tak peduli."Morning, Dear!" "Morning, Miss!"Aku masih mengucek mata saat membuka pintu apartemen. Joshua dan Joseph sudah tampak rapi dengan kemeja dan ... kue di tangan mereka. "Happy birthday, Miss!" Aku menekuk lutut, menjajarkan tinggi badan dengan Joseph sambil tertawa."Tapi, hari ini Miss Mira nggak ulang tahun," kataku."Daddy bohong, ya!" Joseph langsung melotot pada daddy-nya, begitu juga denganku.Sementara laki-laki yang sedang dalam pusat perhatian itu malah tertawa."Prank!' katanya.Aku tertawa ketika melihat Joseph berlari mengejar Joshua. Kubawa dua potong kue tadi ke atas meja dan memotongnya. Kupanggil dua manusia kembar beda usia itu ke meja makan dan menikmati potongan kue red velvet dengan toping buah strawberry diatasnya.Aku selesai lebih dulu dan pergi mandi, berganti baju, dan juga berdandan. Dua laki-laki yang duduk di sofa menungguku itu tampak asyik dan saling bercanda. Setelah siap, aku pun menemui mereka."Are you ready?" tanyaku."Yes, i'am ready!" Joseph ber
"Feeling gue mafia sebenernya tu malah Bastian, deh, Mel.""Sepemikiran!""Tapi, dia cuci tangan. Membuat orang lain terlihat seperti tokoh jahat untuk menutupi kejahatannya.""Sepakat!""Kasihan, ya, Bianca."Kali ini Imel menjawab. "Gak sepakat buat yang ini. Kasihan dari mana? Salah dia sendiri, kok, mau-maunya.'"Dia terpaksa kali, Mel.""Terpaksa karena duitnya.""Bisa jadi.""Lo tahu nggak, Mel? Bianca bilang setelah menikah bakal pindah ke Singapore. Dia bakal tinggal di sana sama Bastian dan Joseph.""Baguslah. Kalo mereka beneran ke Singapore kayaknya gue nggak bakal jadi babunya Bianca lagi.""Kalo bener Bianca keguguran karena ide dari Bastian, gue harus cari cara biar hak asuh Joseph turun ke tangan Joshua secepatnya. Gue takut Joseph kenapa-kenapa.""Kan, udah gue bilang Pak Bastian tu nggak suka anak-anak. Istrinya aja yang punya satu anak langsung diselingkuhin, diceraiin.""Ngeri juga, ya."Aku dan imel menunggu operasi sambil makan kuaci. Mataku sudah hampir terpejam
Aku masih mematung di tempat karena tidak tahu harus berbuat apa. Kalau aku pulang sekarang, Joseph masih harus minum obat satu kali lagi. Aku takut Bianca tak peduli dan Joseph tidak minum obat malam ini. Sebaiknya aku tunggu saja jam minum obatnya kemudian pulang.Aku ikut duduk di sofa, sedikit berjarak dengan Bianca. Namun, bisa kulihat dengan jelas bahwa wajah Bianca pucat dan kelihatan gelisah. Apa yang terjadi dengannya?"Bu, wajah ibu pucat sekali. Apa ibu sakit?" tanyaku.Bianca hanya menggeleng, tapi tangan kirinya memegang perut. Aku membelalak. Jangan-jangan?"Bu, sebaiknya kita pergi ke dokter. Saya takut Bu Bianca kenapa-kenapa."Aku mencoba mendekat, tapi Bianca menepis tanganku. "Tolong ambilkan air hangat dan obat saya di mobil."Aku mengangguk dan bergerak cepat. Bertambah lagi beban di kepalaku. Bukan hanya Joseph, tapi Bianca juga sakit sekarang. Lantas apa yang harus aku lakukan?Bianca merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih menempel diatas perut dan m
Aku masih mengeratkan pelukan sambil menatap pada pintu. Entah apa yang mereka bicarakan diluar, aku sangat penasaran dengan keputusan yang akan mereka ambil. Tak terasa isak tangis Joseph sudah tak terdengar, saat kulihat ternyata dia tertidur di pelukanku. Mungkin dia terlalu lelah karena menangis cukup lama.Aku meraih ponsel dan menelepon Imel, berharap dia tidak sedang dalam perjalanan. Namun, sepertinya Imel memang belum sampai di kosan karena panggilanku tidak dijawab olehnya. Kulihat lagi undangan pernikahan Bastian dan Bianca yang Imel kirim beberapa hari yang lalu, acara akan diselenggarakan tepat satu bulan lagi, pantas saja Bianca tak begitu peduli dengan Joseph dan sibuk pulang-pergi.Apakah ini bisa menjadi bukti di persidangan nanti? Jika Bianca terbukti akan menikah lagi, apakah peluang Joshua mengambil alih hak asuh Joseph akan menjadi lebih banyak?Joshua masuk dengan wajah tegang, sementara Bianca entah kemana. Dia duduk di sofa sambil mengusap wajahnya. Pelan-pelan
Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan
Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan